6

172 15 0
                                    

Kantin Arkasa semakin dipenuhi suara-suara bisik yang mulai saling bertautan, memberi ruang bagi gosip-gosip yang terus berkembang. Clarisa yang gagal menarik perhatian Saka dengan cara yang biasa, kini mulai memanipulasi situasi dengan cara lain. Tapi, tidak ada yang tahu bahwa Saka sudah terlalu lelah untuk peduli tentang orang-orang seperti itu. Yang lebih mengganggunya adalah dirinya sendiri—perasaan yang mulai merasuki jiwa yang sudah lama ia coba tangkal.

Saka melemparkan tatapan kosong ke luar jendela kantin, matanya menembus dunia yang seakan tak berujung. Setiap detik yang berlalu hanya semakin memperburuk ketidakpastian yang ada di dalam hatinya. Dia merasa seperti berjalan di tepi jurang, menatap kebebasan yang justru terasa semakin jauh. Keputusan yang dia buat—untuk peduli pada Alen, untuk sedikit membuka diri—mulai terasa seperti sebuah beban berat yang semakin menggerogoti dirinya.

“Lo nggak apa-apa, Saka?” Alen yang duduk di seberangnya mencoba membuka percakapan, suaranya kali ini terdengar lebih hati-hati.

Saka hanya mengangguk pelan, mencoba untuk tidak terlalu terbawa perasaan. “Ya, gue baik-baik aja.”

Tapi, Alen tahu lebih baik. Walaupun Saka tidak menunjukkan tanda-tanda secara fisik, ada yang berbeda dalam cara dia berbicara. Suara Saka kali ini terdengar lebih berat, lebih tertekan. Alen merasakan bahwa ada sesuatu yang tak biasa, dan meskipun dia ingin menawarkan bantuan, dia tahu Saka bukan tipe orang yang mudah menerima simpati atau perhatian.

“Saka…” Alen mulai, lebih lembut, “Lo tahu kan, kalau ada orang yang peduli sama lo, kan?”

Saka menoleh, untuk pertama kalinya hari itu, matanya tidak sekeras sebelumnya. “Gue nggak butuh itu. Semua orang pada akhirnya bakal pergi kok.”

Alen terdiam, menelan kata-kata yang ingin dia ucapkan. Ada sebuah luka dalam diri Saka yang dalam sekali, bahkan lebih dalam daripada yang bisa dia bayangkan. Semua yang Saka katakan menggambarkan kebekuan yang bertahan terlalu lama. Namun, apa yang Alen tidak tahu adalah, luka Saka jauh lebih rumit daripada yang bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sementara itu, di meja lain, Geng Antares masih memerhatikan kejadian itu dengan diam. Jarvian yang sejak tadi mematung, akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah Bintang. “Gue rasa, Saka bukan cuma ‘Ice Prince’ yang dingin. Dia lebih dari itu. Ada sesuatu yang lebih gelap yang tersembunyi dalam dirinya.”

Bintang menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Saka dengan sedikit rasa curiga. “Lo maksud apa, Jarvian? Apa lo tahu sesuatu?”

Jarvian mengangguk, ekspresinya serius. “Gue nggak tahu pasti, tapi ada perasaan aneh setiap kali gue ngeliat Saka. Dia bukan cuma tampak dingin, tapi dia kayak orang yang mencoba lari dari sesuatu yang nggak bisa dia lupakan.”

Rizky, yang duduk di sebelah mereka, ikut bergabung dalam percakapan. “Kalian benar. Gue rasa ada yang nggak beres. Lo lihat aja, dia mulai bergaul lebih dekat sama Alen. Itu nggak biasa buat Saka.”

Bintang mengerutkan kening. “Tunggu dulu, lo ngomong soal Alen, kan? Kalau Alen yang dimaksud itu—itu bisa jadi masalah.”

“Gue tahu. Gue rasa kita harus lebih hati-hati,” jawab Jarvian, matanya menyipit saat melihat Saka dan Alen kembali berbicara. “Kalau Saka mulai membuka diri, siapa yang tahu apa yang bisa dia lakukan? Dia bukan tipe orang yang mudah dikendalikan.”

Pada saat yang sama, Clarisa yang tengah berbicara dengan teman-temannya di meja lain mendengarkan percakapan mereka. Senyum liciknya semakin berkembang. “Mereka mulai peduli sama Saka, ya? Lucu. Tapi gue tahu, dia nggak bakal pernah benar-benar diterima di sini. Dia hanya akan jadi orang yang terlantar lagi.”

Namun, meskipun Clarisa merasa bangga dengan permainan liciknya, ada satu hal yang ia tidak tahu—Saka bukanlah orang yang mudah dijatuhkan oleh orang-orang seperti dia. Saka, meski terlihat tertutup dan acuh tak acuh, sebenarnya memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa dipahami oleh orang seperti Clarisa. Hanya saja, itu adalah kekuatan yang terlalu lama terpendam.

Kembali di meja Saka dan Alen, ada rasa hampa yang terasa semakin menyakitkan. Alen, yang berusaha memahami Saka lebih dalam, merasa kebingungannya semakin meningkat. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi dengan Saka—sesuatu yang bahkan lebih gelap daripada yang bisa dia lihat.

"Saka," Alen mencoba sekali lagi, suaranya kali ini penuh harap, "Gue cuma pengen lo tahu, kalau gue ada buat lo. Lo nggak sendirian."

Saka menatapnya dengan pandangan yang agak terkejut, sebelum akhirnya menundukkan kepala lagi. "Lo nggak ngerti, Alen. Lo nggak tahu betapa beratnya semua ini."

Alen mendekat sedikit, mencoba memberikan kenyamanan meski hanya dengan kehadirannya. "Tapi gue mau ngerti. Gue ingin lo tahu, lo nggak harus menanggung semuanya sendirian."

Mendengar itu, hati Saka mulai bergetar, meskipun ia tak bisa menunjukkannya. Kata-kata Alen mengingatkannya pada dirinya yang dulu—sebelum dia merasa dunia ini tak lagi ada tempat untuknya. Sebelum ia berakhir di tempat yang kelam, melupakan bahwa masih ada orang-orang yang peduli.

Tapi Saka hanya bisa menghela napas dalam diam, karena dia tahu satu hal—meskipun ada orang yang peduli padanya, dia tak pernah bisa melupakan masa lalu yang telah lama menggoreskan luka yang sangat dalam.

Saat itu, ada sedikit perubahan di dalam diri Saka. Seperti ada kekuatan yang mulai mengalir kembali. Namun, kekuatan itu datang dengan harga yang tak bisa dia bayar. Apa yang harus dia pilih? Menyerah pada rasa sakit yang tak terhindarkan, atau berjuang meski harus menghadapi bayang-bayang masa lalu yang menantinya di setiap langkah?

Alen menatap Saka sekali lagi, tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang—dan mungkin, Saka tidak akan pernah benar-benar terbuka. Tetapi, Alen sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia akan terus ada di sana, apapun yang terjadi.

Karena tidak ada yang lebih penting selain menunjukkan kepada Saka bahwa dia tidak akan pernah lagi terlantar sendirian.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang