20

110 11 0
                                    

Keesokan harinya, Saka bangun lebih awal, menyiapkan sarapan seadanya, dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Meski hari sebelumnya penuh dengan banyak hal yang terjadi, terutama percakapan dengan Alen, Saka merasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai merasa lebih baik, seolah-olah seiring berjalannya waktu, ia mulai menerima kenyataan bahwa tidak semua hal harus dipikul seorang diri.

Saka berjalan ke arah sekolah, langkahnya terasa lebih mantap meskipun dunia masih terasa penuh dengan teka-teki yang belum terpecahkan. Seiring langkahnya, ia tiba-tiba teringat percakapan dengan Alen tentang pelajaran bertarung. Meski perasaan canggung masih ada, Saka merasa bahwa mengajari Alen untuk bertarung adalah salah satu cara untuk membantu sahabatnya itu menemukan kekuatan dalam dirinya. Mungkin, seperti dirinya, Alen juga butuh cara untuk membebaskan dirinya dari belenggu masa lalu.

Di sekolah, suasana sudah mulai ramai dengan para murid yang bersiap untuk pelajaran pertama. Saka menyapa beberapa temannya, meskipun ia lebih memilih untuk tetap berjalan sendiri. Tak jauh dari situ, ia melihat Alen yang sedang berdiri di dekat pintu kelas, tampak sedikit canggung, seolah tidak tahu harus berbuat apa.

Saka tersenyum kecil dan melambaikan tangan ke arah Alen. "Eh, lo siap untuk hari ini?" tanya Saka sambil melangkah mendekat.

Alen mengangguk dengan ekspresi datar, meskipun ada sedikit kegugupan di matanya. "Iya, gue siap. Lo tahu kan, gue harus lebih keras lagi."

Saka mendekat, menepuk bahu Alen dengan ringan. "Lo gak sendiri, gue bakal bantu lo. Tapi ingat, lo gak bisa langsung jadi ahli. Lo harus mulai dari dasar."

Alen tersenyum, meskipun senyum itu terkesan malu-malu. "Gue nggak masalah, gue cuma nggak mau jadi beban lagi."

"Lo gak akan jadi beban," jawab Saka dengan tegas. "Lo cuma butuh waktu. Semua orang butuh waktu."

Saat mereka berjalan masuk ke kelas, Saka merasa sedikit lebih tenang. Hari ini terasa berbeda. Meskipun kelas itu penuh dengan ketegangan dan suasana yang tidak selalu menyenangkan, ada sesuatu yang lebih ringan di hatinya.

Pelajaran dimulai dengan suasana yang biasa. Namun, Saka tak bisa menghindari pandangannya yang jatuh ke arah Clarisa yang duduk di bangku belakang. Gadis itu sedang berbicara dengan teman-temannya dengan nada suara yang tinggi dan ceria, seolah-olah tidak ada beban dalam hidupnya. Namun, Saka tahu benar bahwa di balik senyumnya yang manis, Clarisa menyimpan banyak hal yang tidak terlihat oleh orang lain.

"Lo lihat Clarisa?" tanya Alen, yang duduk di sebelah Saka dengan wajah penasaran.

Saka menatap Clarisa sejenak sebelum menjawab, "Iya, kenapa?"

Alen menatap gadis itu dengan tatapan tajam. "Dia nggak sebaik yang terlihat. Gue bisa merasakannya."

Saka tersenyum tipis, merasa sedikit lega bahwa Alen bisa membaca orang sebaik itu. "Gue nggak tahu banyak tentang dia, tapi lo benar. Orang seperti itu biasanya punya agenda sendiri."

Di saat yang bersamaan, Clarisa menoleh ke arah mereka, dan senyumnya yang manis seolah menembus jarak. Saka membalas dengan pandangan yang datar, sementara Alen tidak memberikan ekspresi apapun.

Sama seperti yang Saka rasakan, Alen juga merasakan kehadiran Clarisa yang kadang-kadang mengganggu, tetapi dia memilih untuk tetap fokus pada pelajaran.

Selama pelajaran berlangsung, Saka tidak bisa sepenuhnya fokus pada apa yang diajarkan. Pikirannya melayang, mengingat percakapan dengan Alen, serta perasaan campur aduk yang terus menghantui dirinya. Terkadang, masa lalu itu seperti bayangan gelap yang selalu mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menghancurkan.

Saat bel sekolah berbunyi, Saka melangkah keluar kelas dengan langkah cepat, mencoba menghindari keramaian dan kembali ke tempat yang lebih sunyi. Alen, yang tahu kebiasaan Saka, mengikuti tanpa banyak bicara.

"Saka," panggil Alen setelah beberapa saat berjalan bersama.

Saka menoleh. "Apa?"

"Sama seperti lo, gue nggak mau lari dari masalah gue lagi," kata Alen, suara pelan tapi penuh ketegasan. "Mungkin ini waktunya untuk berhenti ngubur semuanya, kan?"

Saka berhenti sejenak, memandang Alen dengan penuh perhatian. "Lo yakin?"

Alen mengangguk. "Yakin. Gue nggak bisa terus kayak gini, nggak bisa terus-terusan melarikan diri dari kenyataan."

Saka tersenyum sedikit, mengangguk. "Gue senang lo berpikir gitu, Alen."

Saat itu, Saka merasa ada sebuah kehangatan yang menyelimuti hati kecilnya. Mungkin, dengan saling mendukung, mereka bisa melangkah maju bersama, meskipun dunia ini penuh dengan kepahitan dan kenangan yang tak mudah dilupakan.

"Yuk, kita latihan lagi nanti sore," kata Saka dengan semangat. "Gue bakal bantu lo belajar."

Alen menatap Saka dengan tatapan penuh terima kasih. "Lo nggak bakal ninggalin gue, kan?"

Saka mengangkat alis. "Ngapain gue ninggalin lo? Gue nggak seperti itu."

Mereka melangkah bersama menuju tempat latihan, dengan harapan baru yang tumbuh perlahan di antara mereka. Walaupun perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan rintangan, satu hal yang pasti—mereka tidak lagi sendirian dalam menghadapi segala cobaan hidup.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang