16

112 16 0
                                    

Keesokan paginya, Saka terbangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari yang menerobos tirai jendela menyilaukan matanya, membuatnya mengerjap pelan. Setelah membersihkan diri, ia segera mengenakan seragam sekolah dan menyeduh secangkir kopi untuk memulai hari. 

Di perjalanan menuju sekolah, ia bertemu dengan Alka yang sudah berdiri di ujung jalan. Wajah Alka yang cerah kontras dengan ekspresi datar Saka. 

"Eh, pagi-pagi lo udah kelihatan, Saka. Lo nggak kesiangan, kan?" sapa Alka sambil menyengir. 

Saka menggeleng pelan. "Gue nggak pernah telat." 

"Ya, ya, gue tahu. Lo kan selalu tepat waktu. Tapi tahu nggak, gue punya berita seru buat lo!" Alka melompat kecil, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru. 

Saka hanya menaikkan alisnya. "Apa lagi sekarang?" 

"Alen cerita ke gue kalau dia bakal ikut kompetisi pidato mewakili sekolah minggu depan!" 

Saka berhenti sejenak, mencoba mencerna informasi itu. "Dia? Alen? Kompetisi pidato? Kayaknya nggak cocok." 

Alka tertawa keras. "Gue juga awalnya mikir gitu, tapi ternyata dia jago kalau soal ngomong. Lo mesti lihat sendiri nanti." 

"Kalau gitu kenapa lo yang heboh?" Saka menatap Alka dengan tatapan datar, tapi sedikit kesal terlihat di matanya. 

"Karena gue bangga sama temen kita! Lo ini nggak pernah ngerti perasaan orang lain, ya?" balas Alka sambil pura-pura cemberut. 

Saka mendesah. "Gue ngerti, tapi gue nggak harus ikut heboh juga." 

***

Setibanya di sekolah, suasana sudah ramai seperti biasa. Clarisa terlihat berjalan dengan beberapa siswi lain, memamerkan senyum manisnya yang pura-pura. Alenio, yang baru saja tiba di gerbang sekolah, melirik sekilas ke arah Clarisa sebelum segera menghindar ke kelasnya. 

Saka melihat itu dari kejauhan. Meski ia tidak begitu peduli dengan urusan orang lain, ada sesuatu tentang Alenio yang membuatnya sedikit khawatir. 

Saat jam istirahat, Alka menarik Saka ke kantin dengan semangat berlebihan seperti biasa. "Ayo, lo harus makan lebih banyak. Gue nggak ngerti kenapa lo masih hidup dengan pola makan lo yang buruk itu." 

Saka hanya mengikuti tanpa protes. Namun, sesampainya di kantin, mereka menemukan suasana yang agak tidak biasa. Beberapa siswa terlihat berkumpul, berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah satu meja tertentu. 

Di sana, Alenio duduk sendiri dengan tatapan kosong, sementara Clarisa berdiri tidak jauh darinya dengan mata berkaca-kaca. 

"Ini apaan lagi?" gumam Saka sambil menatap pemandangan itu dengan datar. 

Alka, yang lebih cepat tanggap, segera melangkah mendekat. "Hei, ada apa di sini?" tanyanya sambil menatap Clarisa. 

Clarisa menoleh, dan matanya langsung dipenuhi air mata. "Alka... Alen tadi ngomong kasar ke aku. Dia bilang aku suka cari perhatian. Padahal aku nggak ngapa-ngapain!" 

Beberapa siswa yang mendengar langsung mulai berbisik. 

"Alen ngomong gitu? Serius?" 

"Nggak nyangka dia bisa segitu kejamnya..." 

Tapi Saka, yang memperhatikan dari kejauhan, tahu ada sesuatu yang aneh. Wajah Alenio yang terlihat tenang tidak menunjukkan tanda-tanda amarah. Justru, ia terlihat seperti seseorang yang sudah terbiasa disalahkan. 

Saka menghampiri meja Alenio, mengabaikan tatapan para siswa lain. "Alen, ini bener?" tanyanya singkat. 

Alenio menggeleng pelan. "Nggak, gue nggak bilang apa-apa ke dia." 

Clarisa, yang mendengar itu, segera memotong. "Kamu mau bohong, Alen? Aku dengar sendiri apa yang kamu bilang!" 

Saka menatap Clarisa dengan dingin. "Lo dengar sendiri, atau lo yang ngomong di kepala lo sendiri?" 

Semua orang langsung hening. Tatapan tajam Saka seperti menusuk ke arah Clarisa, membuatnya terdiam sesaat. 

"A-apa maksud kamu, Saka?" Clarisa mencoba mempertahankan suaranya yang manis, tapi jelas terlihat gugup. 

"Maksud gue, lo selalu muncul di situasi kayak gini. Lo selalu nangis, tapi nggak ada yang benar-benar ngerti kenapa lo nangis. Sekarang gue tanya, siapa yang denger selain lo?" 

Clarisa terdiam. Beberapa siswa mulai bertukar pandang, seolah mempertimbangkan kebenaran kata-kata Saka. 

"Saka, lo nggak perlu ikut campur..." gumam Alenio, suaranya nyaris tak terdengar. 

Tapi Saka menggeleng. "Kalau lo terus diem, orang kayak dia bakal terus nginjek lo." 

Clarisa yang merasa terpojok mulai menangis lebih keras. "Kamu jahat, Saka! Kenapa kamu malah bela dia, padahal aku nggak salah apa-apa?" 

Saka menatapnya datar. "Kalau lo nggak salah, lo nggak perlu nangis buat minta simpati." 

***

Setelah situasi mereda, Saka dan Alka duduk bersama Alenio di bangku taman sekolah. 

"Kenapa lo nggak lawan balik, Alen?" tanya Saka, suaranya masih datar tapi sedikit lebih lunak. 

"Percuma," jawab Alenio pelan. "Gue udah kebiasa disalahin. Orang nggak bakal percaya sama gue, apalagi kalau Clarisa udah nangis." 

Alka, yang biasanya ceria, terlihat serius untuk pertama kalinya. "Tapi lo nggak sendirian, Alen. Gue sama Saka ada di sini. Kalau ada yang nyentuh lo lagi, kita yang bakal lawan mereka." 

Alenio menatap mereka, matanya sedikit berkaca-kaca. "Makasih..." 

Saka hanya mengangguk kecil. Meski ia tidak pandai menyampaikan perasaan, tindakannya sudah cukup menunjukkan bahwa ia peduli. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang