14

106 14 0
                                    

Saka berjalan pelan meninggalkan kerumunan, pikirannya sedikit berkabut oleh apa yang baru saja terjadi. Narendra, Clarisa, Jarvian—semua itu hanya drama yang tak penting baginya. Namun, di sudut pikirannya, ia tahu bahwa situasi ini tidak akan berhenti sampai di sini. 

Saat ia memasuki kelas, Alka sudah duduk di bangkunya dengan wajah penuh rasa penasaran. 

"Lo beneran nggak takut sama Narendra?" tanya Alka, nadanya penuh rasa kagum bercampur bingung. 

Saka hanya menatapnya datar. "Kenapa harus takut?" 

"Eh, ya nggak tahu, sih. Tapi dia tuh, Sak, gila kalau udah marah. Sekali waktu gue lihat dia ngelabrak anak kelas 10 cuma karena tersenggol di kantin. Anak itu nggak berani sekolah seminggu, loh," jelas Alka sambil bergidik. 

Saka mendengus pelan, lalu duduk di kursinya. "Bukan urusan gue." 

Alka menghela napas panjang, mencoba mencari topik lain untuk diobrolkan. "Eh, lo bisa berantem, ya? Cara lo ngomong tadi kayak orang yang nggak takut kalo diserang." 

Saka menoleh dengan ekspresi datar, tapi matanya sedikit gelap saat menjawab. "Gue pernah latihan taekwondo sama karate, sebelum..." 

Ia terdiam sejenak, seakan mencoba menahan sesuatu. 

"Sebelum apa?" tanya Alka, mencondongkan tubuhnya penasaran. 

Saka hanya menatap keluar jendela. "Sebelum gue nggak bisa jalan lagi." 

Alka tertegun, mulutnya sedikit terbuka seolah ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya ia menutupnya kembali. 

"Lo serius?" tanyanya akhirnya, suaranya pelan. 

"Lo pikir gue bercanda?" balas Saka tanpa menoleh. 

"Terus... sekarang? Kok lo bisa jalan lagi?" 

"Lo mau tahu banyak, ya?" potong Saka dingin. Ia berbalik menatap Alka dengan tajam. "Denger, ada hal-hal yang nggak perlu lo tahu. Fokus aja sama urusan lo sendiri." 

Alka menelan ludah, merasa suasana menjadi canggung. "Eh, oke... Maaf kalau gue terlalu kepo." 

Saka tidak menjawab. Ia kembali menatap jendela, pikirannya melayang ke masa lalu. 

***

Dulu, ketika ia masih berada di tubuhnya yang lama, Saka adalah pemuda penuh semangat. Taekwondo dan karate adalah pelariannya dari dunia yang penuh tekanan. Ia selalu merasa hidup setiap kali kakinya menghentak matras, setiap pukulan dan tendangan memberikan perasaan kendali atas hidupnya. 

Namun, insiden itu menghancurkan segalanya. 

Sebuah kecelakaan—entah karena takdir atau kebetulan yang kejam—membuatnya kehilangan kemampuan berjalan. Kakinya lumpuh total. Latihan yang ia cintai menjadi kenangan pahit, dan ia terjebak di dalam tubuh yang tidak lagi mampu mengekspresikan dirinya. 

Saka menarik napas dalam, mencoba mengusir ingatan itu. Tapi rasa sakitnya tetap ada, menghantui seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar pergi. 

"Kenapa gue harus ingat ini lagi sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. 

***

Saat jam istirahat, suasana di kantin terasa lebih tenang dibandingkan biasanya. Mungkin karena kejadian pagi tadi yang melibatkan Narendra, Clarisa, dan Saka. Semua orang tampak sibuk membicarakannya, tapi tidak ada yang cukup berani mendekati Saka untuk menanyakan langsung. 

Alenio mendekati meja Saka dan Alka dengan langkah ragu. "Uh, boleh gue duduk di sini?" tanyanya pelan. 

Alka langsung mengangguk. "Tentu aja, duduk sini, Len!" 

Namun, Saka hanya melirik sekilas tanpa berkata apa-apa. 

Alenio tampak canggung, tapi ia tetap duduk di kursi yang kosong. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Saka... Gue nggak tahu apa yang lo alami, tapi gue mau bilang terima kasih lagi. Lo nggak cuma bantu gue, tapi juga bikin gue sadar kalau gue harus mulai melawan." 

Saka menoleh sedikit, alisnya terangkat. "Melawan gimana?" 

"Mulai ngomong. Mulai berdiri untuk diri gue sendiri. Gue capek dijadiin sasaran," jawab Alenio dengan nada mantap. 

Saka mengangguk kecil. "Bagus. Tapi ngomong doang nggak cukup. Lo harus siap untuk apapun yang bakal datang." 

Alenio terdiam, menatap Saka dengan rasa hormat yang mulai tumbuh. Di matanya, Saka bukan sekadar Ice Prince yang dingin dan tanpa ekspresi. Ada kedalaman di balik sikapnya yang keras, sesuatu yang Alenio ingin pahami lebih jauh. 

Alka memecah keheningan dengan candanya. "Eh, gue suka banget lihat Len jadi begini. Biasanya dia cuma diem dan nggak berani ngomong banyak." 

Alenio tersipu, tapi ia tersenyum kecil. "Ya, gue masih belajar." 

"Baguslah. Kalau lo butuh partner buat latihan ngomong, gue siap!" Alka tertawa sambil memukul meja. 

Untuk pertama kalinya, Saka mengeluarkan suara kecil yang hampir menyerupai tawa. Hal itu membuat Alka dan Alenio menatapnya kaget. 

"Saka... Lo ketawa?" tanya Alka dengan nada tidak percaya. 

"Enggak," jawab Saka cepat, ekspresinya kembali datar. "Itu cuma napas." 

Alka dan Alenio saling pandang sebelum tertawa bersama. 

Di tengah suasana yang hangat itu, Saka merasakan sesuatu yang baru. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendirian. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang