10

133 17 0
                                    

Ketika Saka memasuki gedung sekolah, suara langkah kakinya yang tenang hampir tenggelam di antara keramaian siswa. Seperti biasa, tatapan-tatapan mengarah padanya. Beberapa murid berbisik, tapi Saka tidak peduli. 

"Eh, itu Ice Prince," terdengar seorang siswi berbisik kepada temannya. 

"Dia tampan banget, tapi nggak ada yang berani deketin. Serem soalnya," balas yang lain sambil mencuri pandang. 

Saka terus berjalan tanpa ekspresi, seolah semua komentar itu tidak pernah ada. Alka, yang berjalan di sampingnya, justru menanggapi dengan senyum santai. 

"Lo sadar nggak, Sak? Lo kayak selebriti di sini. Gue yakin setengah sekolah ini pasti pengen jadi lo," kata Alka sambil memasukkan tangannya ke saku celana. 

"Basi," jawab Saka singkat tanpa menoleh. 

Alka tertawa kecil. "Serius, lo nggak pernah ngerasa terganggu, ya? Kalau gue jadi lo, udah gue bikin daftar penggemar terus bikin meet-and-greet biar duit ngalir." 

"Lo aja yang lakukan," balas Saka dingin sambil melangkah menuju kelasnya. 

Saat tiba di depan pintu kelas, suara gaduh terdengar dari dalam. Beberapa murid terlihat berkumpul di dekat jendela, sementara yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. 

"Eh, Alka!" panggil seorang siswa dari ujung ruangan. 

Alka melambai santai sebelum meletakkan tasnya di meja. "Bro, gue bawa Ice Prince masuk, lo mau foto bareng?" candanya sambil menunjuk Saka. 

Saka hanya melirik Alka sekilas sebelum duduk di kursinya. Teman-teman sekelas mereka tertawa kecil, meski tidak ada yang benar-benar berani mengajak Saka berbicara. 

"Ada PR Matematika, nggak, sih?" tanya Alka sambil membuka tasnya. 

"Lo baru inget?" seorang teman sekelas membalas. 

"Ya, namanya juga gue. Hidup ini kan santai aja, bro." 

Saka mengeluarkan buku pelajarannya tanpa menghiraukan percakapan mereka. Tapi suasana kelas berubah ketika suara langkah keras terdengar dari luar. Seorang siswa dari kelas sebelah tiba-tiba muncul di depan pintu. 

"Eh, lo semua udah denger belum? Tadi Clarisa nangis di taman belakang!" 

Kelas langsung riuh. Beberapa siswa penasaran, sementara yang lain hanya menghela napas. 

"Clarisa lagi? Nangis lagi?" komentar seorang siswi dengan nada datar. 

"Katanya gara-gara Alenio. Mereka kayaknya ribut lagi pagi ini," sambung yang lain. 

Mata Alka langsung melirik Saka. "Sak, gue yakin drama pagi ini bakal seru. Lo nggak tertarik nonton?" 

Saka tidak menjawab. Dia hanya menutup bukunya perlahan dan menatap jendela dengan tatapan kosong. 

"Lo tau nggak, Sak?" Alka mulai berbicara lagi. "Kadang gue mikir, orang kayak Clarisa tuh kayak serial TV. Banyak plot twist, tapi ujung-ujungnya semua orang tahu itu cuma drama." 

Saka tetap diam. Tapi di sudut hatinya, dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan Clarisa. Meski tidak peduli, instingnya berkata bahwa drama seperti ini pasti akan berdampak lebih besar suatu saat nanti. 

Bel pelajaran berbunyi, dan semua siswa kembali ke tempat duduk masing-masing. Guru masuk ke kelas, memulai pelajaran seperti biasa. 

Tapi pikiran Saka mengembara. Ia terusik oleh suara-suara dari ingatan pemilik tubuh aslinya. Kehidupan pemilik raga ini terlalu penuh luka, seolah menjadi cerminan dari dirinya sendiri. 

Saat jam istirahat tiba, Alka menarik lengan Saka. 

"Sak, kantin, yuk! Lo kan nggak pernah makan bareng gue. Masa iya gue harus traktir biar lo mau?" 

"Lo makan aja sendiri," balas Saka tanpa melihat Alka. 

"Lo tuh dingin banget, tahu nggak? Gue kadang mikir, kalau gue nggak ngomong sama lo, mungkin lo bakal jadi patung di sini," keluh Alka sambil menggeleng. "Ayolah, sekali ini aja. Gue nggak bakal ngajak lo ngobrol aneh-aneh." 

Saka akhirnya menyerah dan mengikuti Alka ke kantin. Tapi ketika mereka tiba di sana, suasana sudah ramai dengan bisik-bisik. Clarisa terlihat duduk di meja tengah, dikelilingi beberapa siswa yang tampak menghiburnya. 

"Dia nangis lagi, ya?" tanya Alka sambil mengunyah gorengannya. 

Saka hanya diam. Tatapannya tertuju pada Clarisa, yang sesekali melirik ke arah Geng Zargio yang duduk tak jauh dari sana. 

"Eh, lo tahu nggak, Sak? Gue curiga ada sesuatu antara Clarisa sama Zargio. Mungkin dia sengaja bikin drama biar diperhatiin mereka," bisik Alka. 

Saka tidak menanggapi. Ia lebih fokus pada ekspresi Clarisa yang tampak penuh kepura-puraan. 

"Clarisa itu licik," tiba-tiba terdengar suara seorang siswi yang duduk di meja sebelah mereka. 

Alka menoleh. "Eh, lo serius? Apa maksudnya?" 

Siswi itu mendekat sedikit. "Gue pernah liat dia fitnah Alenio waktu itu. Dia nangis-nangis sambil bilang Alenio ngebully dia, padahal gue tahu Alen nggak ngelakuin apa-apa." 

Alka mengangguk pelan. "Gue udah curiga dari awal. Cewek kayak gitu nggak bisa dipercaya. Tapi ya anehnya, banyak yang percaya sama dia." 

Saka menyelesaikan makanannya dalam diam. Ia tidak punya waktu untuk drama seperti itu. Tapi di dalam hati, ia mulai merasakan sedikit empati untuk Alenio—pemuda yang sering menjadi korban kepalsuan Clarisa. 

Ketika bel berbunyi, Saka dan Alka kembali ke kelas. Tapi di tengah perjalanan, mereka melihat Alenio sedang berdiri di koridor, dikelilingi beberapa siswa. 

"Lo pikir gue bakal minta maaf? Gue nggak salah apa-apa!" Alenio berbicara dengan nada tinggi. 

Clarisa berdiri tidak jauh dari sana, dengan wajah yang tampak memelas. 

"Alen, lo nggak usah nyolot gitu. Clarisa udah nangis, lo tahu kan?" ujar seorang siswa dari Geng Zargio. 

"Dan lo percaya omongannya tanpa bukti?" balas Alenio dengan tajam. 

Saka menghentikan langkahnya. Ia memperhatikan Alenio yang tampak marah, tapi tetap tegar di hadapan semua orang. 

"Clarisa cuma aktris. Kalian semua ditipu," kata Alenio sebelum melangkah pergi. 

Saka menatap punggung Alenio yang menjauh, lalu menghela napas pelan. Entah kenapa, ia merasa Alenio dan dirinya punya kesamaan—keduanya hidup dalam bayang-bayang luka dan kesalahpahaman. 

"Sak, lo serius nggak mau bantu Alen?" bisik Alka pelan. 

"Bukan urusan gue," jawab Saka singkat. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini belum berakhir. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang