18

95 10 0
                                    

Hari semakin larut ketika Saka duduk di meja belajarnya. Tatapannya tertuju pada buku yang terbuka, tapi pikirannya melayang ke berbagai kejadian hari ini. Ia masih memikirkan Alenio, teman yang baru dikenalnya, tapi sudah terlalu sering menjadi korban fitnah dan perlakuan buruk. 

Alka, yang duduk di tempat tidurnya di kamar mereka—karena sedang belajar bersama di rumah Saka—menghela napas panjang. "Saka, lo tau nggak? Gue heran banget sama Alen. Dia tuh baik banget, tapi kenapa selalu ada aja orang yang ngejahatin dia?" 

Saka menutup bukunya perlahan. "Gue juga nggak tau. Tapi dari cara dia ngomong dan bertingkah, gue rasa dia nyimpen banyak hal." 

Alka mengangguk setuju. "Iya, sih. Gue pernah dengar rumor kalau Alen itu... kayak nggak dianggap sama keluarganya sendiri." 

Mata Saka menyipit mendengar itu. "Maksud lo?" 

"Jadi, katanya dia anak bungsu dari keluarga kaya. Tapi sejak kecil, dia selalu diabaikan. Kakak-kakaknya lebih dianggap, sementara dia cuma... ya, dibiarkan sendiri. Kalau nggak salah, keluarganya bahkan udah lama nggak tinggal bareng dia." 

Ada rasa tidak nyaman di hati Saka mendengar cerita itu. Bagaimana mungkin seorang anak bisa diabaikan begitu saja oleh keluarganya? Sebuah gambaran samar tentang masa lalunya sendiri terlintas di benaknya. 

"Gue nggak suka ngomongin orang, tapi mungkin itu alasan kenapa Alen suka diem dan kayak nggak punya tempat buat cerita," lanjut Alka. 

Saka hanya mengangguk pelan. "Kalau gitu, gue harus cari tahu lebih banyak tentang dia." 

***

Keesokan harinya di sekolah, suasana terasa berbeda. Clarisa yang kemarin pingsan kini sudah kembali, dengan wajah ceria seperti tidak terjadi apa-apa. Ia bahkan sengaja berjalan melewati meja Alenio sambil tersenyum manis, seolah tidak ada konflik di antara mereka. 

"Alen!" serunya dengan nada yang dibuat-buat. "Makasih, ya, kemarin kamu udah bantuin aku." 

Alen mengangkat wajahnya dengan ekspresi bingung. "Hah? Bantuin apa?" 

Clarisa tersenyum lagi. "Ya, kamu kan yang bikin aku pingsan. Jadi, berkat itu, aku akhirnya sadar kalau aku harus lebih kuat menghadapi semuanya." 

Beberapa siswa yang mendengar itu mulai berbisik-bisik, sementara Saka yang duduk tidak jauh dari sana hanya menatap Clarisa dengan dingin. 

"Dia benar-benar ahli manipulasi," gumam Saka pelan, cukup untuk didengar Alka. 

Alka mendengus. "Ya, lo liat sendiri, kan? Drama queen banget." 

Clarisa tampak menikmati perhatian yang ia dapatkan, tapi Saka tidak bisa menahan diri lagi. Ia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Alenio, menghentikan Clarisa yang masih berbicara. 

"Cukup," kata Saka dengan suara tegas, membuat semua orang terdiam. 

Clarisa menoleh dengan ekspresi terkejut. "Cukup apa maksudnya?" 

Saka menatapnya tajam. "Berhenti cari perhatian dengan fitnah. Gue udah muak lihat permainan lo." 

Kerumunan siswa mulai ribut, tapi Clarisa mencoba bertahan dengan memasang wajah polos. "Aku nggak ngerti maksud kamu, Saka." 

Saka hanya menghela napas panjang. "Gue ngerti lebih banyak dari yang lo kira. Jadi, kalau lo terus bikin masalah, gue nggak akan tinggal diam." 

Setelah mengatakan itu, Saka menarik Alenio keluar dari kelas, meninggalkan Clarisa yang berdiri mematung dengan wajah pucat. 

***

Di luar kelas, Alenio tampak gelisah. "Saka, lo nggak perlu ngelakuin itu. Lo bakal kena masalah gara-gara gue." 

Saka menoleh dengan ekspresi serius. "Gue nggak peduli. Yang penting lo nggak terus jadi korban." 

Alenio terdiam, lalu menunduk pelan. "Kenapa lo peduli sama gue? Gue bahkan bukan siapa-siapa." 

Saka memandangi Alenio dengan tatapan yang lebih lembut. "Lo nggak perlu jadi siapa-siapa buat gue peduli. Gue cuma nggak suka lihat orang yang salah diperlakukan kayak lo." 

Alenio menatap Saka, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar tulus ingin membantunya. Tapi dalam hatinya, ada rasa takut yang terus menghantui. Bagaimana jika Saka tahu tentang masa lalunya yang kelam? 

***

Sore itu, setelah pulang sekolah, Saka memutuskan untuk mengajak Alenio ke kafe tempatnya bekerja. Awalnya, Alenio menolak, tapi Saka berhasil meyakinkannya. 

"Kafe ini tenang. Lo bisa makan sesuatu yang enak dan lupa sejenak tentang semua masalah lo," kata Saka sambil memesan dua cangkir kopi. 

Alenio duduk di pojok kafe, merasa sedikit canggung berada di tempat baru. Tapi kehadiran Saka membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. 

"Saka," panggil Alenio pelan. 

"Hmm?" 

"Makasih, ya. Gue nggak tau gimana caranya balas kebaikan lo." 

Saka menggeleng. "Lo nggak perlu balas apa-apa. Yang penting lo nggak nyerah." 

Alenio tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada orang yang benar-benar mendukungnya, tanpa pamrih atau niat buruk. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang