12

97 13 0
                                    

Bel berbunyi, menandakan waktu istirahat tiba. Saka mengangkat tubuhnya dari kursi, mengikuti siswa lain yang mulai keluar dari kelas menuju kantin. Di belakangnya, Alka berseru, "Sak, tunggu gue dong! Mau beli makanan bareng nggak?"

Saka melirik sekilas. "Gue nggak lapar," jawabnya dingin, lalu berjalan pergi.

Namun, langkahnya berhenti ketika ia melihat Alenio di ujung koridor. Alenio tampak sedang menunduk, membawa nampan yang berisi makanan. Tapi ada sesuatu yang aneh-sekumpulan siswa, yang salah satunya adalah Clarisa, berdiri tidak jauh darinya, memperhatikan dengan senyum mengejek.

"Jadi, lo masih punya nyali buat makan di sini, Alen?" suara Clarisa terdengar jelas, cukup untuk menarik perhatian siswa lain di sekitar mereka.

Saka memperhatikan dari kejauhan, wajahnya tetap datar. Alka yang menyusul dari belakang ikut berhenti di sampingnya.

"Lihat, drama lagi," gumam Alka sambil menyilangkan tangan. "Gue nggak ngerti kenapa Clarisa nggak capek-capeknya gangguin orang."

Saka tidak menjawab. Matanya masih tertuju pada Alenio, yang tetap diam meski Clarisa terus melontarkan kata-kata tajam.

"Lo nggak ada pembelaan? Wah, kasihan banget hidup lo. Sendirian, nggak punya teman, semua orang benci sama lo," Clarisa menambahkan, dengan nada manja yang membuat beberapa siswa tertawa.

Alenio mendongak, menatap Clarisa dengan mata tajam. "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin. Yang penting gue tahu siapa diri gue."

Jawaban itu membuat Clarisa terdiam sesaat, tapi kemudian ia tertawa sinis. "Oh, berani juga, ya? Tapi sayang, kata-kata lo nggak bakal ngubah apa pun."

Alenio hendak melangkah pergi, tapi salah satu teman Clarisa dengan sengaja menjulurkan kakinya, membuat Alenio tersandung. Nampannya terjatuh, makanan berserakan di lantai.

Tawa pecah di antara siswa-siswa yang menonton. Clarisa berpura-pura terkejut. "Astaga, maaf banget, Alen! Teman gue nggak sengaja. Lo nggak apa-apa, kan?"

Saka mengepalkan tangannya. Ia benci melihat situasi seperti ini-ketika seseorang dipermalukan tanpa alasan. Tanpa pikir panjang, ia melangkah maju.

"Lo mau apa, Sak?" Alka bertanya, terkejut melihat gerakannya.

Saka tidak menjawab. Ia berjalan mendekati Alenio yang sedang memungut kembali nampannya.

Clarisa dan teman-temannya langsung memperhatikan kedatangan Saka. "Oh, lihat, si Ice Prince datang. Mau ikut campur, ya?" Clarisa berkata dengan nada sinis, tapi ada sedikit ketakutan di matanya.

Saka tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Clarisa tajam, membuat gadis itu mundur selangkah.

"Berhenti ganggu dia," kata Saka dengan suara dingin.

Clarisa tertawa gugup. "Ganggu? Maksud lo apa? Gue nggak ngapa-ngapain kok."

"Lo tahu apa yang gue maksud," balas Saka tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

Suasana di koridor langsung berubah tegang. Murid-murid yang tadinya tertawa sekarang mulai berbisik-bisik, memperhatikan interaksi ini.

Clarisa mencoba mempertahankan sikapnya. "Gue cuma bercanda sama dia. Nggak perlu serius, kan?"

Saka melangkah mendekat, membuat Clarisa semakin gugup. "Bercanda atau nggak, kalau lo terus ganggu dia, gue nggak bakal tinggal diam."

Ancaman itu membuat Clarisa kehilangan kata-kata. Ia mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berkata, "Oke, oke. Gue pergi. Nggak ada gunanya ngomong sama lo."

Ia menarik teman-temannya pergi, meninggalkan Alenio dan Saka di tengah koridor.

Alka yang melihat dari jauh hanya bisa terkikik. "Wah, Ice Prince kita bikin Clarisa gemetar. Ini baru hiburan!"

Alenio berdiri, menatap Saka dengan mata penuh kebingungan. "Kenapa lo nolongin gue?"

Saka mengangkat bahu. "Gue cuma nggak suka lihat orang kayak dia ngerendahin orang lain."

"Terima kasih," Alenio berkata pelan. Meski nadanya sederhana, ada rasa syukur yang tulus di matanya.

Saka tidak menjawab. Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Alenio di sana.

***

Saat pelajaran terakhir selesai, Saka sedang membereskan bukunya ketika Alka, seperti biasa, mulai berbicara.

"Sak, lo tahu nggak, gue baru dapet gosip menarik."

Saka tidak menjawab, tapi Alka tetap melanjutkan.

"Clarisa katanya bakal ngelaporin lo ke guru BK gara-gara tadi. Katanya lo bikin dia malu di depan umum. Bayangin, dia mau bikin lo kelihatan salah!"

"Dia boleh coba," jawab Saka singkat.

Alka tertawa. "Lo emang beda, bro. Gue nggak ngerti gimana lo bisa tetap santai. Tapi serius, lo harus hati-hati sama Clarisa. Dia licik banget."

Saka hanya mengangguk kecil sebelum berjalan keluar kelas, meninggalkan Alka yang masih tertawa kecil di belakangnya.

Di sepanjang perjalanan pulang, Saka merasa pikirannya sedikit lebih ringan. Meski ia tidak tahu kenapa, membantu Alenio tadi memberinya rasa lega-seolah ia telah membantu dirinya sendiri.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang