Malam itu terasa sangat sunyi, hanya suara langkah kaki Saka yang terdengar di sepanjang jalan yang sepi. Langit yang gelap tampak dihiasi oleh bulan purnama yang bersinar terang, memberikan sedikit penerangan di jalan yang sepi. Saka berjalan dengan langkah tenang, mengenakan jaket tebal yang ia kenakan untuk melawan hawa malam yang mulai menusuk kulit. Matanya yang tajam sesekali melirik ke sekitar, meski sepertinya tidak ada hal yang menarik perhatian. Keheningan malam seperti mengundang pikirannya untuk melayang ke masa lalu.
Buku-buku yang ia baca selalu menjadi pelarian dari realita yang sering terasa membosankan. Sejak kecil, ia telah terbiasa mencari ketenangan dalam dunia fiksi, dan sekarang, meskipun hidupnya jauh dari sempurna, buku tetap menjadi teman setia yang tak pernah mengkhianati. Hanya buku yang bisa membuatnya merasa terhubung dengan dunia luar, meski ia memilih untuk menjauh dari semuanya.
Setelah beberapa menit berjalan, Saka sampai di toko buku kecil yang terletak di sudut jalan. Pencahayaan di dalam toko memancarkan nuansa hangat yang kontras dengan udara malam yang dingin. Pintu kaca toko buku itu terbuka, dan Saka melangkah masuk dengan langkah mantap.
Di dalam, aroma kertas dan tinta yang khas langsung menyambut hidungnya. Saka menyusuri rak-rak buku yang tersusun rapi. Ia tahu apa yang dicari, buku baru yang bisa membawanya ke dalam dunia yang berbeda. Mata Saka menyapu rak-rak yang penuh dengan judul-judul buku, beberapa di antaranya sudah ia baca, beberapa lainnya menarik perhatian.
Saat matanya berhenti di sebuah buku dengan sampul yang cukup menarik, ia meraih buku tersebut. Judulnya *"Di Balik Pintu yang Tertutup"*. Tanpa ragu, Saka memutuskan untuk membelinya. Buku itu memiliki nuansa misterius yang membuatnya tertarik.
Di saat yang bersamaan, langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Saka menoleh dan melihat Alen yang masuk ke dalam toko buku, tampaknya baru saja keluar dari latihan malam. Alen tersenyum tipis begitu melihat Saka.
"Saka," sapa Alen sambil melambaikan tangan. "Lagi nyari buku ya?"
Saka mengangguk pelan. "Iya, buku baru. Yang lama udah habis."
Alen mendekat, melihat buku yang sedang dipegang Saka. "Misterius banget ya, judulnya. Lo suka baca buku-buku kayak gini?" tanya Alen sambil tersenyum.
"Kadang. Tergantung mood," jawab Saka singkat, tetapi kali ini ada sedikit senyum tipis di wajahnya, meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
Alen menatapnya sejenak, mencoba membaca ekspresi Saka yang selalu datar. "Lo emang aneh, Saka. Selalu nggak pernah keliatan terpengaruh sama apapun. Tapi ya, gue rasa, itu juga yang bikin lo keren," kata Alen dengan nada santai.
Saka tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya melirik Alen sejenak, lalu kembali memandang buku yang ada di tangannya. "Lo mau beli buku juga?" tanya Saka.
"Enggak, gue cuma lewat aja," jawab Alen. "Tapi, kalau lo mau, gue temenin sampai selesai beli buku. Nggak masalah sih."
Saka terdiam sejenak. Biasanya, ia lebih suka sendiri saat berbelanja, tapi entah kenapa kali ini ia tidak menolak. "Oke," jawabnya pelan.
Mereka berdua kemudian berjalan bersama, menelusuri rak-rak buku di toko kecil itu. Alen sesekali mengangkat beberapa buku dan menunjukkan kepada Saka, meskipun Saka hanya memberi respons minimal. Walaupun begitu, Alen tetap merasa senang berada di dekat Saka. Keheningan mereka berdua terasa nyaman, seolah kata-kata bukanlah sesuatu yang dibutuhkan.
Setelah beberapa menit, Saka selesai memilih buku yang ia inginkan dan mereka berjalan menuju kasir. Saka membayar buku yang baru saja dibelinya, sementara Alen berdiri di sampingnya, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Saka, gue... gue senang bisa temenin lo malam ini," kata Alen tiba-tiba, suara lembut yang sedikit ragu. "Lo tahu nggak sih, kadang gue merasa... kita tuh nggak perlu banyak bicara buat merasa dekat."
Saka menatap Alen, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemanan biasa. Mungkin ini adalah salah satu hal yang disebut persahabatan sejati—sesuatu yang tidak dibangun dengan kata-kata, tetapi dengan pemahaman dan ketulusan.
"Terima kasih, Alen," jawab Saka dengan suara pelan, namun ada kehangatan yang tercermin di mata mereka. "Gue juga senang."
Mereka berdua keluar dari toko buku dan melangkah menuju jalan yang sama. Udara malam semakin terasa dingin, tetapi di dalam hati Saka, ada rasa hangat yang perlahan tumbuh. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi setidaknya untuk saat ini, ia merasa sedikit lebih hidup.
Hari-hari yang terasa berat dan sunyi kini mulai tampak sedikit lebih ringan, berkat kehadiran Alen yang selalu ada, meskipun hanya dalam keheningan. Dalam dunia yang penuh dengan konflik dan kebingungan, persahabatan mereka adalah sebuah pelabuhan yang memberikan kedamaian, meski hanya sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Terlantar
Teen FictionSaka Rajendra Aksara hanyalah seorang remaja yang berusaha lari dari bayang-bayang kelam hidupnya. Ketika laut yang dalam memanggilnya untuk mengakhiri segalanya, ia mendapati dirinya terbangun di tubuh orang lain-seorang pemuda dengan nama yang sam...