Keesokan harinya, Saka berjalan dengan langkah cepat menuju sekolah, membawa tiga wadah bekal yang ia buat tadi subuh. Salad sederhana yang terdiri dari sayur-sayuran dan sedikit dressing itu sudah ia siapkan dengan teliti. Satu wadah untuk dirinya sendiri, sementara dua lainnya untuk diberikan kepada Alka dan Alenio.
Sampai di depan gerbang sekolah, Saka berhenti sejenak untuk merapikan bekalnya. “Gue bawa makanan nih, buat lo berdua,” kata Saka sambil menoleh ke arah Alka dan Alenio yang sedang berbicara di depan.
Alka yang melihat Saka mendekat langsung nyengir, “Wah, serius lo? Bawa bekal buat gue?” tanya Alka dengan nada sedikit terkejut tapi senang.
“Ya iyalah, gue bawa buat lo sama Alen,” jawab Saka sambil mengangkat satu wadah di tangannya. "Tuh, gue buat salad pagi-pagi, jangan bilang nggak suka ya."
Alenio yang saat itu mendengarnya langsung melirik, “Eh, salad? Gila, Saka, lo ngapain banget sih? Tapi yaudah deh, gue terima,” katanya sambil tersenyum miring.
Saka menyerahkan satu wadah ke Alka dan satu lagi ke Alenio, “Gue sih nggak peduli lo suka atau enggak, yang penting kan udah gue kasih. Jangan dimakan kalau lo nggak lapar.”
Alka langsung buka wadahnya dan mencicipi sedikit. "Hmm, enak juga. Nggak nyangka lo bisa masak salad segini enaknya, Saka."
“Gue cuma nggak mau ribet, makanya salad doang. Gampang juga,” jawab Saka dengan ekspresi datar, meskipun dalam hati sedikit bangga karena berhasil buat sesuatu yang bisa diterima.
Alenio yang memandang salad itu sejenak, mengangkat bahu. “Yaudah lah, lebih baik makan salad daripada nggak makan sama sekali,” katanya, kemudian mengambil sendok dan mulai makan.
Saka cuma mengangguk santai, lalu mengambil bekalnya dan mulai berjalan menuju kelas. “Lo makan aja, yang penting jangan ngeluh,” ucapnya sambil melangkah pergi.
Alka yang masih menikmati saladnya memanggil, “Eh, Saka! Lo gak mau makan?”
Saka cuma melambaikan tangan tanpa menoleh. “Gue udah makan tadi pagi, gak usah khawatir,” jawabnya tanpa berhenti berjalan.
Sesampainya di kelas, suasana agak riuh karena banyak teman-teman yang mulai datang. Saka masuk ke bangkunya yang terletak di pojok, sementara Alka dan Alenio duduk tak jauh dari meja Saka. Saat itulah Saka mulai merasa ada yang berbeda. Meski dirinya selalu terlihat dingin dan tanpa ekspresi, ada sesuatu dalam hatinya yang mulai terasa sedikit lebih ringan.
***
Saka memutuskan untuk berjalan ke taman belakang sekolah. Ia butuh sedikit waktu untuk menenangkan pikirannya. Langkah kakinya terasa berat, seolah beban yang ia bawa semakin menambah rasa lelah dalam tubuhnya. Di luar, cuaca mendung, mendukung perasaan kosong yang ia rasakan saat ini. Langit gelap, dengan awan tebal yang seolah mengancam akan turun hujan. Angin yang berhembus pelan semakin menambah kesan sepi di taman belakang sekolah itu.
Sesampainya di bangku taman, Saka duduk dengan punggung membusung. Ia menarik napas panjang, merasakan udara yang segar namun tetap terasa berat. Hatinya yang mendung tak jauh berbeda dengan suasana di luar. Pikirannya terus berputar, tentang masa lalu yang tak pernah bisa ia lepaskan, tentang rasa sakit yang terus menghantuinya, dan tentang bagaimana dirinya yang seakan terjebak dalam tubuh yang bukan miliknya lagi.
Mendengar suara langkah kaki, Saka mengangkat kepalanya dan melihat Alka yang sedang berjalan ke arahnya. Alka selalu datang ketika Saka sedang tidak ingin berbicara dengan orang lain, entah kenapa. Mungkin karena Alka tahu, ada banyak hal yang tidak ingin Saka ungkapkan, dan ia tetap ada, meskipun hanya dalam diam.
“Lo kenapa, Saka?” tanya Alka, berdiri di depan bangku dengan ekspresi yang sedikit cemas. “Lo keliatan kayak lagi bawa beban berat banget.”
Saka menghela napas pelan, menatap langit yang semakin gelap. “Gue cuma... nggak tahu harus gimana lagi,” jawabnya, suara hampir terdengar serak. "Kadang gue ngerasa kayak gue nggak punya tujuan. Bahkan gue sendiri nggak ngerti kenapa gue masih ada di sini."
Alka duduk di sebelahnya, tanpa bicara, hanya menunggu Saka untuk melanjutkan. Mungkin dia sudah terbiasa dengan keheningan yang tiba-tiba datang dari Saka.
Saka melanjutkan, “Terkadang gue ngerasa kayak orang yang hidup tapi mati. Semua yang gue lakukan cuma rutinitas. Gue nggak punya alasan buat senyum atau bahagia lagi.”
Alka memandang Saka dengan tatapan serius, lebih dalam dari biasanya. “Tapi, Saka, lo masih punya orang-orang yang peduli sama lo kan? Gue, Alen, kita semua... kita ada buat lo. Jangan anggap diri lo sendirian, karena gue tahu lo nggak sendiri.”
Saka terdiam, matanya menatap tanah, mencoba mencerna kata-kata Alka. Meskipun suaranya tetap datar, ada sesuatu yang sedikit hangat di hati Saka. Itu bukan karena Saka merasa semua akan baik-baik saja, tapi karena ada seseorang yang benar-benar peduli, yang ada di sampingnya meskipun dia sering menunjukkan sisi gelapnya.
“Lo... lo nggak bakal ngerti,” kata Saka pelan. “Tapi terima kasih, Alka.”
Alka tersenyum tipis, meski masih ada keprihatinan di wajahnya. “Gue nggak butuh lo bilang apa-apa, Saka. Cuma... jangan pernah ngerasa sendiri. Gue ngerti banget kalo lo lagi ngerasain beratnya hidup, tapi hidup gak selalu tentang jatuh. Kadang lo butuh waktu buat bangkit, walau susah banget.”
Saka mengangguk pelan, masih menatap langit yang mendung. “Gue cuma bingung, Alka. Gue enggak tahu kalau gue masih bisa bertahan atau nggak.”
Alka hanya diam, membiarkan Saka mengungkapkan perasaannya. Sesaat, suasana hening menyelimuti mereka berdua. Angin berhembus lembut, membuat dedaunan bergoyang. Langit yang semakin gelap menciptakan rasa sepi yang kental, tapi entah kenapa, Saka merasa sedikit lebih tenang.
“Ayo, Saka,” kata Alka tiba-tiba, berdiri dan merentangkan tangannya. “Lo nggak boleh terlalu larut dalam pikiran lo sendiri. Lo masih punya kesempatan buat ngerubah hidup lo. Jangan terus-terusan tenggelam di dalam kegelapan.”
Saka menatap tangan Alka, ragu. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk bangkit dan mengikutinya. “Lo emang aneh, Alka. Tapi... terima kasih.”
Mereka berdua berjalan kembali ke arah sekolah, meninggalkan taman yang mendung. Namun, ada sesuatu dalam diri Saka yang mulai sedikit lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalunya masih menghantui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Terlantar
Подростковая литератураSaka Rajendra Aksara hanyalah seorang remaja yang berusaha lari dari bayang-bayang kelam hidupnya. Ketika laut yang dalam memanggilnya untuk mengakhiri segalanya, ia mendapati dirinya terbangun di tubuh orang lain-seorang pemuda dengan nama yang sam...