8

121 18 0
                                    

Perut Saka mulai berbunyi, memaksanya bergerak ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Kulkas kecil di sudut dapur itu berdengung pelan, dan ketika Saka membukanya, ia menghela napas panjang. 

Di sana hanya ada bahan-bahan yang sangat minim: satu ikat bayam yang sudah mulai layu, dua butir telur, dan sedikit bawang putih. Pandangannya menatap kosong ke dalam kulkas. 

“Jadi, pemilik raga ini sampai segini sederhana hidupnya,” gumamnya pelan. Ada rasa heran yang bercampur dengan rasa iba. Bagaimana seseorang bisa bertahan dengan persediaan sesedikit ini? 

Saka berdiri sejenak, mencoba memutar otak untuk mengolah bahan-bahan yang ada. Oseng bayam dengan telur rebus, pikirnya. Bukan menu mewah, tapi setidaknya cukup untuk mengganjal perut. 

Ia mulai bekerja di dapur. Dengan gerakan yang teratur, ia mencuci bayam, memotong-motong bawang putih, lalu merebus telur dalam panci kecil. Suara air mendidih dan aroma bawang yang mulai ditumis memenuhi ruang dapur yang sunyi. 

Namun, di tengah-tengah memasak, Saka berhenti sejenak. Ia menatap kompor dengan tatapan kosong. Pikiran tentang kehidupan lamanya—sebelum ia berpindah ke tubuh ini—kembali menghantui. Di kehidupannya yang dulu, ia tidak pernah harus mengurus hal-hal sederhana seperti ini. Makanannya selalu tersedia, dihidangkan oleh orang lain. Tapi sekarang, ia berdiri sendirian, memasak makanan seadanya. 

“Hidup ini memang penuh ironi,” katanya sambil melanjutkan menumis bayam. 

Setelah beberapa menit, makanan sederhana itu akhirnya siap. Saka menuangkan oseng bayam ke piring, lalu mengupas telur rebus dan meletakkannya di samping. Dengan piring di tangan, ia duduk di meja makan kecil yang hanya cukup untuk dua orang. 

Ia mulai makan dalam diam, tetapi rasa makanan itu jauh dari enak. Rasanya hambar, tapi entah mengapa, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya. Mungkin karena ia tahu bahwa ia sedang belajar bertahan—belajar untuk hidup dalam tubuh baru ini, dengan semua kesederhanaan dan luka yang dimilikinya. 

Di tengah suapannya, pikirannya kembali melayang. Pemilik tubuh ini... apa dia benar-benar sebatang kara? Pikirannya terus berkutat pada kenangan-kenangan yang tersisa dari pemilik raga sebelumnya. Ingatan tentang seorang anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, terlupakan di antara kehidupan baru mereka. 

Saka menggenggam sendoknya erat. Ada rasa marah yang tiba-tiba muncul, bukan hanya kepada orang tua pemilik tubuh ini, tetapi juga pada dirinya sendiri. Ia merasa seperti pengecut karena telah menyerah pada kehidupannya sebelumnya. 

“Setidaknya dia bertahan,” gumam Saka lirih, memikirkan pemilik tubuh asli ini. 

Suara ketukan di pintu mendadak memecah keheningan. Saka mendongak dengan alis berkerut. Jarang ada orang yang datang ke rumah kecil ini. Ia meletakkan sendoknya dan berjalan perlahan menuju pintu, membuka sedikit untuk melihat siapa yang datang. 

Di luar berdiri Alka, dengan senyuman khasnya. 

“Saka! Gue bawa makanan!” katanya sambil mengangkat kantong plastik berisi kotak makanan. 

Saka memandangnya tanpa ekspresi. “Lo ngapain ke sini?” 

“Lo nggak usah sok dingin. Gue tahu lo pasti masak yang seadanya, kan?” Alka masuk begitu saja tanpa menunggu undangan. “Lo harus coba ini. Restoran dekat rumah gue baru buka cabang, dan mereka punya menu spesial.” 

Saka menutup pintu dengan enggan, mengikuti Alka ke meja makan. 

Alka mengeluarkan kotak-kotak makanan dari plastik dan membuka tutupnya dengan antusias. “Lihat nih, nasi goreng ayam, mie goreng spesial, sama sup jagung. Gue sengaja bawain semuanya buat lo!” 

Saka hanya mengangguk kecil, lalu duduk kembali di tempatnya. Alka menyodorkan kotak makanan itu ke arahnya, tapi Saka tidak langsung mengambilnya. 

“Gue udah masak,” kata Saka pelan. 

Alka melirik piring berisi oseng bayam dan telur rebus itu, lalu menatap Saka dengan tatapan penuh simpati bercampur geli. “Lo beneran makan itu?” 

Saka mengangguk tanpa menanggapi lelucon Alka. 

“Ya ampun, Saka. Lo tuh kayak karakter anime yang lagi dalam masa-masa sulit,” canda Alka sambil menyuapkan mie goreng ke mulutnya sendiri. 

Saka tidak menjawab, tapi ada sedikit ketenangan yang ia rasakan dari kehadiran Alka. Meskipun ia sering menganggap Alka berisik, keberadaannya malam itu membuat rumah yang biasanya sepi terasa sedikit lebih hidup. 

“Eh, Saka,” Alka berbicara di sela-sela makannya, “Lo sadar nggak? Gue udah kayak karakter supporting yang selalu ada buat lo.” 

“Kalo lo karakter supporting, jangan terlalu banyak ngomong,” jawab Saka datar. 

Alka tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Akhirnya lo mulai ngerti bercanda. Gue bangga, Sak!” 

Malam itu, meskipun sederhana, ada sesuatu yang berbeda. Dalam kesunyian rumah kecil itu, untuk pertama kalinya Saka merasakan bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang