9

116 18 0
                                    

Keesokan paginya, Saka bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur, cahayanya menembus celah-celah tirai jendela kamarnya. Suasana pagi terasa tenang, hanya ditemani suara burung yang berkicau di kejauhan. 

Saka menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempat tidur. Kebiasaan pagi itu tetap ia lakukan dengan cara yang efisien—semuanya serba cepat dan tanpa basa-basi. Setelah membersihkan diri, ia membuka lemari kecil di sudut kamar dan mengambil seragam sekolahnya yang sudah rapi tergantung. 

Saat mengenakan dasi, tatapannya terhenti di cermin. Ia melihat refleksi wajah yang kini menjadi miliknya. Dingin, pucat, tanpa emosi. Hanya matanya yang kadang terasa menyiratkan kesedihan yang sulit dijelaskan. 

"Arkasa High School," gumamnya pelan sambil merapikan dasi. 

Ketika selesai, Saka berjalan ke dapur. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk sarapan. Ia hanya menyeduh segelas kopi instan dan mengambil roti tawar yang sudah mulai mengeras. Setelah menyantapnya dengan cepat, ia langsung mengambil tas dan keluar rumah. 

Di luar, Alka sudah menunggu dengan sepeda motor tua miliknya. Saka memandangnya sebentar, sedikit heran. 

"Lo pagi-pagi udah nongkrong di sini. Kenapa?" tanya Saka datar. 

Alka tersenyum lebar sambil mengelus helm di tangannya. "Karena lo nggak punya kendaraan, dan gue merasa jadi pahlawan pagi ini." 

Saka menghela napas. "Lo nggak perlu repot." 

"Tapi gue mau. Lagian, gue nggak yakin lo bakal mau jalan kaki sejauh itu." Alka menyerahkan helm pada Saka. "Naik, buruan. Gue nggak mau telat." 

Tanpa banyak protes, Saka menerima helm itu dan naik ke motor Alka. Selama perjalanan, Alka terus berbicara, menceritakan berbagai hal yang sebenarnya tidak terlalu penting. 

"Eh, lo tau nggak? Tadi malam gue mimpi aneh banget. Gue mimpi dikejar-kejar ayam raksasa. Terus gue lari ke tengah hutan, dan tiba-tiba ada rumah kecil yang isinya cuma lemari es. Lo ngerti maksud mimpi gue nggak?" 

Saka hanya mendengus pelan. "Lo kebanyakan makan sebelum tidur, Alka." 

Alka tertawa keras. "Bisa jadi sih. Eh, tapi serius deh, gue kadang mikir lo tuh kayak manusia es yang nggak pernah kebawa emosi. Lo pernah marah nggak, Sak?" 

"Ngapain nanya hal nggak penting?" balas Saka dengan nada datar. 

"Ya gue cuma penasaran. Lo tahu nggak, gue pernah ditegur guru karena ketawa di kelas gara-gara inget cerita lo yang bilang hidup itu kayak nunggu bel sekolah. Simple tapi dalem, bro!" 

Saka diam, memilih untuk tidak menanggapi. Bagi dia, percakapan dengan Alka kadang melelahkan, tapi di sisi lain, kehadiran Alka juga memberinya sedikit rasa normal dalam hidup barunya. 

Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan gerbang Arkasa High School. Sekolah bergengsi itu berdiri megah, dengan pintu gerbang besar yang dihiasi logo sekolah yang melambangkan prestise dan kebanggaan. 

"Selamat datang di kerajaan anak-anak sok elit," celetuk Alka sambil melepas helmnya. 

Saka tidak merespons, hanya turun dari motor dan menatap gedung sekolah di depannya. Di tengah hiruk-pikuk siswa yang berlalu-lalang, ia kembali merasakan tatapan-tatapan yang diarahkan padanya. 

"Lo sadar nggak, Sak? Lo tuh kayak magnet perhatian di sini," kata Alka sambil menepuk bahu Saka. 

"Diam," balas Saka singkat sebelum melangkah menuju gedung sekolah. 

Hari baru dimulai, dan seperti biasa, Saka bersiap menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di Arkasa High School, termasuk drama yang selalu muncul di setiap sudutnya. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang