4

174 18 0
                                    

Di sudut kantin yang ramai, Geng Antares memperhatikan dengan seksama kejadian yang baru saja terjadi. Jarvian Axellen, sang ketua geng, duduk dengan sikap dingin, matanya tertuju pada Saka yang sedang duduk bersama Alen. Senyumnya yang datar tak menunjukkan ekspresi yang jelas, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.

"Eh, lihat deh. Itu si Ice Prince, kan?" ujar Bintang Harselino, wakil geng Antares, sambil menunjuk ke arah meja tempat Saka dan Alen duduk. Wajah Bintang menunjukkan rasa penasaran yang mendalam. "Kayaknya sih, mereka lagi ngobrol, ya? Tapi kenapa si Saka bisa duduk sama si Alen? Bukannya itu aneh banget?"

Rizky Putra Arelda, salah satu anggota inti geng Antares, menyeringai sinis. "Gue rasa itu cuma karena si Saka lagi coba ngelindungin Alen dari guncangan besar. Lo tahu kan, gimana sikap geng Zargio ke dia? Mereka nggak pernah berhenti gangguin si Alen."

Vanio Zenifer yang duduk di sebelah Rizky, menanggapi dengan nada serius. "Tapi lihat deh, Alen kayaknya agak nyaman dengan Saka. Padahal biasanya dia nggak suka deket-deket orang. Keliatannya beda banget kalau dibandingin sama Clarisa."

Bagaskara Maulana, anggota inti lainnya, mengangguk perlahan. "Memang sih, biasanya Ice Prince itu dikenal nggak peduli sama orang lain. Tapi ngeliat Saka mau duduk sama Alen, bisa jadi dia mulai peduli. Gue penasaran apa yang bakal terjadi."

Jarvian, yang sejak awal hanya diam menyaksikan, akhirnya membuka mulut dengan nada rendah namun tajam. "Kalian semua nggak ngerti, ya? Saka itu bukan tipe yang gampang kena pengaruh orang. Dia pasti punya alasan sendiri kenapa mau bantu Alen. Mungkin dia punya cara lain untuk ngatasi masalah ini."

Bintang tertawa kecil. "Jarvian, lo serius? Ice Prince itu bukan tipe orang yang mau ribut. Coba deh lo pikir, dia itu dingin banget. Tapi, lo bener juga, sih. Ada sesuatu yang beda hari ini."

"Lo nggak ngerti, Bintang," jawab Jarvian dengan nada lebih serius. "Si Saka... dia bukan orang yang gampang terbawa arus. Gue rasa dia cuma nggak suka ngeliat orang lain jadi korban, terutama kalau itu orang yang nggak pantas buat dibuli. Ini mungkin pertama kalinya kita lihat dia peduli sama orang lain."

Bintang mengangkat bahu. "Gue masih nggak yakin. Tapi yang jelas, ini bisa jadi masalah besar. Kalau sampai si Clarisa tau soal ini, dia pasti nggak tinggal diam. Nggak ada yang bisa ngalahin drama dari si Ice Prince kalau udah nyangkut dalam urusan ini."

Sementara itu, Alka yang duduk di samping Saka, mulai merasakan perubahan yang nyata dalam suasana hati temannya. Dia bisa melihat betapa sulitnya bagi Saka untuk berinteraksi dengan orang lain, namun dia juga bisa melihat sedikit sisi lain dari Saka yang jarang ia tunjukkan—sisi yang peduli.

"Saka, lo nggak mau ngomong lebih banyak? Lo bisa bantu Alen lebih banyak dari yang lo kira," kata Alka dengan nada pelan, namun penuh harapan.

Saka menghela napas panjang, matanya tetap tertuju pada Alen yang masih merasa cemas. "Kadang, cuman duduk dan diam itu lebih baik. Alen butuh waktu untuk tenang. Kita nggak selalu harus ngomong untuk bantu orang, Alka."

Namun, meskipun Saka berbicara dengan tenang, hatinya sedikit terguncang. Ada perasaan yang terus mengganggu dalam dirinya. Apa yang sebenarnya dia cari? Apa yang sebenarnya membuatnya bergerak untuk melindungi Alen? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiran Saka, sementara dia berusaha menenangkan temannya itu.

Sementara itu, Geng Antares yang masih memperhatikan dari kejauhan, mulai berpikir lebih jauh. Ada sesuatu yang berubah dari diri Saka—sesuatu yang mungkin bisa mereka manfaatkan untuk keuntungan mereka sendiri, atau malah bisa menjadi ancaman bagi mereka.

Jarvian menatap ke arah Saka dengan tatapan penuh perhitungan. "Kita harus waspada. Kalau Saka mulai peduli sama orang lain, itu bisa bikin kekacauan besar di sekolah ini."

Vanio Zenifer menambahkan dengan senyum miring. "Ya, entahlah. Tapi sepertinya ini bakal seru banget. Ice Prince nggak pernah ngehadepin sesuatu kayak gini sebelumnya."

Sementara itu, Saka masih duduk dengan Alen, merasa sedikit lebih ringan di hati meskipun dunia di sekitarnya masih penuh dengan kerumitan dan kebohongan. Di dalam dirinya, ia mulai merasakan dorongan untuk melindungi orang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, dan itu, meskipun kecil, memberinya sedikit rasa harapan di dunia yang seringkali terasa begitu gelap.

Namun, tak ada yang tahu bagaimana perasaan Saka akan berkembang ke depannya, atau apakah dia akan mampu menghadapi badai yang sedang mengancam di sekelilingnya. Yang pasti, hari itu, di kantin Arkasa, sebuah perubahan kecil sedang terjadi—sebuah langkah yang tak terduga, namun penting, untuk seseorang yang selalu terjebak dalam dunia yang dingin dan penuh rahasia.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang