19

94 13 0
                                    

Saka melihat ke arah Alenio yang duduk dengan wajah lebih tenang daripada biasanya. Saka merasa lega melihatnya, meski ia tahu bahwa tidak mudah untuk Alenio menerima dukungan seperti ini. Di balik sikap dinginnya, Saka tahu bahwa Alenio membutuhkan teman yang bisa memahami dan menerima dirinya apa adanya, tanpa menilai masa lalunya yang kelam.

"Lo tahu, kan, gue bukan orang yang bisa banyak ngomong soal masalah orang lain," kata Saka sambil menyeruput kopinya. "Tapi, lo harus tahu, kadang orang yang paling diem, yang kelihatan paling kuat, justru yang paling banyak bawa beban."

Alenio memandangnya dengan sedikit kebingungan. "Beban? Gue nggak ngerti."

Saka menghela napas. "Lo pernah denger soal masalah keluarga lo, kan? Gue nggak tahu apa yang terjadi antara lo sama orang tua lo, tapi gue bisa nebak itu nggak gampang buat lo. Gue pernah merasakannya."

Alenio terdiam, matanya memandang ke meja, seolah-olah berpikir keras. "Maksud lo, lo juga punya masalah kayak gitu?" tanyanya pelan.

Saka mengangguk, tapi tak langsung menjawab. Dia sendiri merasa canggung, berbicara tentang masa lalunya yang suram. "Iya, sesuatu yang lo nggak bisa lari dari. Tapi itu nggak berarti lo harus benci dunia ini, kan? Lo bisa tetap hidup meskipun lo udah terluka."

Alenio menunduk. Ada sesuatu yang dalam di balik kata-kata Saka yang membuatnya merenung. "Tapi gue udah nggak punya tempat untuk kembali. Keluarga gue nggak peduli lagi sama gue," kata Alenio, suaranya penuh penyesalan. "Mereka bahkan nggak tahu gue masih hidup atau nggak."

Mendengar itu, Saka merasa hati kecilnya tercekat. Ia tahu betul bagaimana rasanya merasa ditinggalkan dan tak dihargai. Dia merasa ada ikatan emosional yang kuat dengan Alenio, meskipun mereka baru saja berteman.

"Lo nggak sendirian, Alen. Gue tahu rasanya jadi kayak gitu. Dan mungkin gue nggak bisa ngebantu lo sepenuhnya, tapi gue nggak akan ninggalin lo. Lo nggak sendirian," kata Saka dengan tegas, meskipun dalam hatinya ada perasaan campur aduk.

Alenio menatapnya, dan untuk pertama kalinya, senyum tipis muncul di wajahnya. "Makasih, Saka. Gue nggak tahu harus bilang apa."

"Sama-sama," jawab Saka, sambil menyentuh bahu Alenio dengan ringan, mencoba memberi kenyamanan dalam bentuk yang sederhana. "Kita semua butuh seseorang buat saling dukung. Gak peduli apa latar belakangnya. Lo nggak perlu sembunyiin diri lo lagi."

Alenio hanya mengangguk, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar kata-kata Saka. Meski beban di hatinya masih berat, dia mulai merasa bahwa ada harapan untuknya, bahkan jika hanya sedikit.

Mereka berdua duduk di kafe itu untuk beberapa waktu lagi, menikmati kebersamaan mereka yang sederhana. Meskipun hanya dengan secangkir kopi, Saka merasa lebih dekat dengan Alenio daripada sebelumnya.

Saat mereka bersiap untuk pulang, Saka melihat wajah Alenio sedikit lebih cerah. Terkadang, sebuah percakapan sederhana dan sedikit perhatian bisa membuat perbedaan besar dalam hidup seseorang.

"Saka, nanti lo harus ajarin gue cara bertarung lagi," kata Alenio tiba-tiba, membuat Saka menoleh.

Saka terkejut. "Hah? Bertarung? Lo serius?"

"Iya," jawab Alenio dengan serius. "Gue nggak bisa terus-terusan lari dari masalah. Gue pengen belajar... lebih kuat."

Saka tersenyum, merasa bangga. "Lo tahu, Alen, kalau lo bisa bangkit dari semua ini, lo bakal jadi lebih kuat dari yang lo kira. Gue bakal ajarin lo."

Alenio hanya tersenyum, sebuah senyuman yang jarang muncul di wajahnya. "Terima kasih, Saka."

Di malam yang semakin gelap, mereka berdua berjalan keluar dari kafe dengan langkah yang lebih ringan. Walaupun jalan hidup mereka masing-masing masih penuh tantangan, malam itu mereka tahu bahwa mereka tidak lagi sendirian.

Dan, mungkin, dengan sedikit dukungan dan persahabatan, mereka akan menemukan kekuatan untuk menghadapi apa yang datang di depan mereka.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang