30

74 8 0
                                    

Saka duduk di meja belajarnya, menatap ke luar jendela yang basah oleh hujan. Pikiran-pikirannya melayang jauh ke masa lalu, menyusuri lorong-lorong ingatan yang samar. Suasana di luar, yang gelap dan mencekam, mencerminkan perasaannya yang penuh kekosongan. Sejak ia berada di tubuh ini, semua kenangan tentang keluarga yang dulu—tentang kedua orang tuanya—muncul kembali, walau kabur dan sulit untuk dipahami sepenuhnya.

Ingatan tentang Erliana, ibu kandungnya yang dulu sangat ia cintai, datang silih berganti. Liana—seorang wanita yang lembut namun tegas—pernah menjadi sosok yang penuh kasih sayang dalam hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Ketika usia Saka yang asli menginjak 13 tahun, rumah tangga Liana dan Vineo mulai retak. Pertengkaran demi pertengkaran semakin sering terjadi, sampai-sampai barang-barang mewah di rumah mereka hancur lebur akibat amarah yang tak terkendali.

Saka yang asli tidak pernah tahu apa penyebab utama dari keretakan tersebut. Dia hanya ingat bagaimana kedua orang tuanya dulu sering terlihat bahagia. Liana dan Vineo saling mencintai, setidaknya itu yang Saka lihat di masa kecilnya. Namun, semuanya berubah saat cinta itu pecah menjadi kekesalan dan kebencian yang tak terucapkan. Keadaan semakin buruk, dan akhirnya keduanya memutuskan untuk bercerai, meninggalkan Saka yang masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Hari-hari setelah perceraian itu adalah hari-hari yang penuh kesepian dan kebingungan bagi Saka yang asli. Kedua orang tuanya melanjutkan hidup mereka masing-masing, tetapi Saka tidak pernah tahu di mana mereka berada. Liana menikah lagi dengan seorang pria, begitu juga Vineo. Mereka membangun kehidupan baru tanpa pernah kembali ke Saka yang masih sangat membutuhkan mereka.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Saka yang asli mengandalkan uang tabungan yang ia kumpulkan sejak kelas 3 SD. Sayangnya, tabungan itu habis ketika ia duduk di kelas 8 SMP, meninggalkan Saka yang harus berjuang lebih keras lagi. Untungnya, ada seorang tetangga yang baik hati yang mau menolongnya, memberikan tempat tinggal dan sedikit uang untuk bertahan hidup.

Namun, meskipun sudah ada bantuan dari tetangga itu, rasa kehilangan yang mendalam tetap menghantui. Saka yang asli tidak tahu harus kemana lagi. Ibu dan ayahnya sudah tidak ada, dan dia hanya bisa berjalan tanpa arah yang jelas. Semua kenangan indah bersama mereka terasa semakin jauh, seolah tertutup kabut tebal yang tidak bisa ia tembus.

"Gue bener-bener nggak ngerti deh," gumam Saka pelan, menatap langit yang gelap. "Kenapa semua ini bisa terjadi?"

Rasa marah dan sakit hati menyelimuti perasaannya. Seolah-olah ia terjebak dalam tubuh orang lain, yang meskipun memiliki kehidupan yang cukup baik di luar, tetap saja merasa kosong di dalam.

**

Beberapa hari setelah pertemuan dengan pemuda yang mengaku mengenal ibunya, Saka mulai semakin sering berpikir tentang masa lalunya. Setiap kali dia berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, entah itu Alka, Alenio, atau bahkan Farel, perasaan itu terus menghantuinya. Kenapa dia tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi? Kenapa rasa kesepian dan sakit hati itu tidak pernah hilang, meskipun tubuh yang ia tempati sekarang tampak normal dan baik-baik saja?

"Mungkin gue harus lebih bisa menerima keadaan," pikir Saka, meskipun hatinya menolak. Perasaan terjebak semakin terasa berat, seperti ada sesuatu yang terus-menerus menariknya kembali ke masa lalu. Kenangan tentang perceraian orang tuanya, tentang hidup yang sepi tanpa mereka, masih terukir jelas di dalam hatinya.

Hari itu, setelah pelajaran selesai, Saka memutuskan untuk pergi ke kafe lebih awal. Hujan yang masih turun deras di luar membuat suasana menjadi sepi. Kafe itu tampak lebih tenang dari biasanya, dan Saka merasa sedikit lebih nyaman di sana. Pekerjaan yang biasa ia lakukan di kafe itu memberinya kesempatan untuk melupakan sementara waktu tentang kehidupan yang rumit ini.

Namun, saat ia mulai mengatur meja dan menyiapkan pesanan untuk pelanggan, pikirannya kembali melayang ke ingatan-ingatan lama yang penuh dengan kesedihan. Perlahan, Saka mulai sadar bahwa meskipun dia tidak bisa mengubah masa lalu, dia harus mencoba untuk memperbaiki dirinya sendiri. Mungkin, dengan menerima kenyataan, dia bisa menemukan kedamaian.

Farel yang datang ke kafe itu lagi membuat Saka terkejut. Tapi kali ini, dia berusaha untuk tetap profesional, meskipun hatinya masih terombang-ambing.

"Lo lagi di sini? Gila, nih orang emang nggak bisa jauh dari gue," Saka bergumam dalam hati, meskipun dia tahu itu hanya perasaan sementara.

Farel tersenyum tipis saat melihat Saka datang menghampiri meja. "Lo nggak banyak bicara ya? Gue jadi makin penasaran sama lo."

Saka menatap Farel dengan tatapan datar, berusaha menyembunyikan perasaan yang mulai timbul. "Nggak ada yang perlu lo penasaranin. Gue cuma kerja."

Farel mengangguk, tidak merasa terganggu oleh sikap dingin Saka. "Gue cuma mikir, lo pasti punya cerita yang menarik, kan?"

Saka memiringkan kepala, menatap Farel dengan serius."Lo gak perlu tahu cerita gue. Gue nggak ada waktu buat itu."

Namun, di dalam hatinya, ada rasa ingin tahu yang muncul. Farel sepertinya tahu lebih banyak dari yang Saka pikirkan. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih besar, yang berhubungan dengan masa lalu dan kenyataan yang sedang ia jalani. Saka merasa bahwa entah bagaimana, masa lalu itu masih belum selesai. Dan Farel mungkin memiliki kunci untuk membuka pintu yang selama ini tertutup rapat di dalam dirinya.

**

Di malam hari, Saka kembali ke rumah kosnya, duduk di meja belajar, dan menulis dalam buku catatannya. Tapi kali ini, dia tidak menulis tentang masa lalu atau rasa sakit yang selama ini dia simpan. Sebaliknya, ia mulai menulis tentang harapan, tentang apa yang ingin dia capai di masa depan.

Dia menulis perlahan, menyusun kata demi kata, mencoba untuk merangkai kisah baru yang bisa memberinya kekuatan. Mungkin ini saatnya untuk melangkah maju, meskipun perasaan berat itu masih ada.

"Aku bisa. Aku harus bisa," Saka menulis dalam buku catatannya, merasa sedikit lebih kuat.

Entah bagaimana, ia merasa bahwa jalan yang ia pilih akan membawa perubahan. Perubahan yang mungkin tidak mudah, tetapi setidaknya dia tahu sekarang bahwa ia harus berjuang untuk masa depannya sendiri.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang