11

114 14 0
                                    

Sepanjang sisa hari itu, pikiran Saka terus terganggu oleh apa yang terjadi di koridor tadi. Sosok Alenio yang tegar meski dikelilingi oleh fitnah mengingatkannya pada masa lalu dirinya sendiri—hidup dalam pengabaian dan luka, namun tetap berusaha bertahan. 

Ketika jam pelajaran selesai, Saka sedang membereskan bukunya saat Alka, seperti biasa, memulai percakapan. 

"Sak, lo beneran nggak mau campur tangan sama drama tadi?" tanya Alka sambil menyandarkan diri di meja Saka. 

"Nggak ada alasan buat gue ikut campur," jawab Saka tanpa menoleh. 

"Kadang gue nggak ngerti sama lo. Lo kayak nggak peduli sama dunia ini, tapi gue tahu ada sesuatu di kepala lo. Ngaku aja deh, lo simpati sama Alen, kan?" 

Saka berhenti sejenak. Alka benar, tapi ia tidak ingin mengakuinya. "Hidup orang lain bukan urusan gue," katanya dingin sebelum memasukkan buku terakhir ke dalam tasnya. 

Alka tertawa kecil. "Oke, Tuan Es. Tapi kalau lo berubah pikiran, gue ada di belakang lo buat nonton drama ini." 

Saka tidak menjawab. Ia hanya berjalan keluar kelas, dengan Alka mengikuti di belakangnya. 

***

Saat tiba di pintu gerbang sekolah, suasana terlihat cukup ramai. Beberapa siswa berkumpul di dekat halte bus, sementara yang lain berjalan santai ke arah parkiran. Tapi perhatian Saka tertuju pada seorang siswa yang berdiri sendirian di dekat pagar—Alenio. 

Saka tidak tahu kenapa ia memperhatikan Alenio. Namun, ada sesuatu dalam tatapan mata Alenio yang membuatnya berhenti sejenak. 

"Lihat siapa itu," bisik Alka sambil menyikut Saka. "Kayaknya dia masih kepikiran soal drama tadi. Lo nggak pengen ngomong sama dia?" 

"Ngapain?" jawab Saka tanpa minat. 

"Terserah lo, sih. Tapi menurut gue, Alenio bisa jadi kunci buat ngebongkar semua kepalsuan Clarisa," ujar Alka sambil memasukkan tangannya ke saku. "Lo tahu sendiri, kan? Clarisa itu ratu drama." 

Saka tidak menjawab, tapi langkahnya perlahan mendekat ke arah Alenio. Alka mengangkat alis, terkejut, tapi tidak mengatakan apa-apa. 

Alenio yang tampaknya tenggelam dalam pikirannya terkejut ketika Saka berdiri di depannya. 

"Ada apa?" tanya Alenio, suaranya datar namun terdengar lelah. 

Saka menatapnya dengan tajam. "Lo nggak perlu peduliin apa yang orang lain bilang." 

Alenio mengerutkan kening, bingung. "Maksud lo?" 

"Lo tahu siapa diri lo. Jangan biarin omongan mereka ngerusak lo," kata Saka dengan nada dingin, tapi ada ketulusan yang tersirat. 

Alenio terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Lo orang pertama yang ngomong kayak gitu ke gue. Gue kira lo nggak peduli sama sekali." 

Saka mengangkat bahu. "Gue nggak peduli. Gue cuma ngomong apa yang harusnya lo tahu." 

"Terima kasih, meskipun lo bilang nggak peduli," jawab Alenio pelan. 

Alka yang menyaksikan dari jauh hanya bisa tertawa kecil sambil menggeleng. "Gue nggak percaya. Ice Prince kita ternyata punya sisi manusiawi juga," katanya pada dirinya sendiri. 

***

Dalam perjalanan pulang, Saka terus memikirkan Alenio. Ada rasa familiar yang aneh, seolah mereka berbagi luka yang sama. Namun, Saka tidak tahu bagaimana harus menanganinya. 

Setibanya di rumah, Saka membuka pintu dan disambut oleh keheningan. Rumah minimalis itu terasa semakin sunyi, seperti mencerminkan jiwanya yang kosong. Ia meletakkan tasnya di meja, lalu berjalan ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. 

Satu-satunya yang ada di kulkas hanyalah mie instan dan sebotol air mineral. Tanpa pikir panjang, Saka merebus mie dan duduk di meja sambil menatap kosong ke arah panci mendidih. 

Pikirannya kembali ke masa lalu—ingatan yang terus menghantui, mengingatkan pada rasa sakit yang tidak pernah benar-benar hilang. Namun kini, ingatan itu bercampur dengan fragmen kehidupan pemilik tubuh aslinya. 

"Kenapa hidup kita begitu mirip?" gumam Saka pelan. 

Malam itu, Saka tidur lebih awal. Namun, pikirannya tetap dipenuhi dengan bayangan Alenio dan bagaimana Clarisa terus menyakiti orang-orang dengan kebohongannya. 

***

Keesokan paginya, suasana sekolah terasa lebih tegang. Berita tentang drama di koridor kemarin sudah menyebar ke seluruh siswa. Bahkan beberapa guru pun terdengar membicarakannya. 

Di kelas, Alka seperti biasa menjadi sumber kegaduhan. 

"Sak, lo harus lihat ini!" kata Alka sambil mengacungkan ponselnya ke arah Saka. 

"Apa lagi?" tanya Saka dengan nada malas. 

"Video Clarisa nangis di taman belakang. Udah viral di grup sekolah! Komentar-komentarnya lucu banget," ujar Alka sambil tertawa. 

Saka hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada bukunya. Tapi Alka tidak menyerah. 

"Lo tahu, gue heran kenapa masih ada yang percaya sama dia. Maksud gue, dia jelas-jelas akting, tapi orang-orang masih aja tertipu." 

"Orang suka drama," jawab Saka singkat. 

Alka tertawa lagi. "Bener banget, bro. Makanya gue bilang, kalau lo bikin drama, lo bakal jadi selebriti." 

Saka tidak menanggapi. Namun, dalam hati ia tahu bahwa drama ini belum selesai. Clarisa mungkin licik, tapi ia tidak akan membiarkan kebohongan terus menguasai sekolah ini. 

Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi ia merasa perlu melakukan sesuatu—bukan hanya untuk Alenio, tapi juga untuk dirinya sendiri. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang