17

102 15 0
                                    

Setelah kejadian itu, ketiganya kembali ke kelas dengan suasana yang sedikit berbeda. Alka, seperti biasa, mencoba mencairkan suasana dengan candaan ringan. 

"Eh, Alen, gue nggak nyangka lo bisa punya bodyguard kayak Saka, loh! Kalau gue yang jadi lo, pasti gue bakal sombong abis," ujar Alka sambil tertawa. 

Alenio hanya tersenyum tipis. "Bodyguard, ya? Kayaknya lebih tepat disebut... temen aja, deh." 

Saka, yang mendengar itu, hanya mendengus kecil. "Gue nggak jadi bodyguard siapa pun. Gue cuma nggak suka liat orang yang nggak salah ditindas." 

"Lo keren banget, Saka! Kalau ini novel, lo pasti jadi pemeran utama yang selalu dingin tapi diam-diam perhatian," goda Alka sambil menepuk bahu Saka. 

"Lo kebanyakan baca novel," balas Saka singkat, membuat Alka tertawa keras. 

Sementara itu, Alenio tampak lebih santai dibandingkan sebelumnya. Meski ia tidak banyak bicara, keberadaan Saka dan Alka di sisinya membuatnya merasa lebih dihargai. 

***

Hari berlalu dengan cepat, dan seperti biasa, Saka langsung pergi ke kafe tempatnya bekerja setelah pulang sekolah. Kafe itu tidak terlalu besar, tapi cukup ramai karena lokasinya strategis di pusat kota. 

Saka mengganti seragamnya dengan celemek hitam dan segera mulai bekerja. Tangannya cekatan meracik pesanan pelanggan, sementara wajahnya tetap tanpa ekspresi seperti biasanya. 

"Hei, Saka," panggil salah satu rekannya, seorang barista bernama Lia yang usianya sedikit lebih tua darinya. "Kamu selalu serius banget, sih. Senyum dikit kek, biar pelanggan nggak kabur." 

Saka menoleh sebentar. "Mereka datang untuk kopi, bukan buat lihat gue senyum." 

Lia tertawa kecil. "Kamu bener juga. Tapi serius, kadang aku kasihan sama kamu. Masih muda, tapi udah kerja keras kayak gini." 

"Kasihan itu buat orang yang butuh simpati," balas Saka tanpa basa-basi, membuat Lia hanya bisa menggeleng pelan. 

Di tengah kesibukan kafe, Saka tak sengaja mendengar percakapan sekelompok pelanggan yang duduk di pojok ruangan. 

"Eh, lo tau nggak? Geng Antares katanya bakal ngadain acara rahasia minggu depan." 
"Serius? Wah, pasti seru, tuh. Gue yakin bakal banyak drama." 

Saka tak terlalu mempedulikan gosip itu, tapi nama Geng Antares cukup menarik perhatiannya. Ia tahu geng itu memiliki pengaruh besar di sekolah, dan sering kali konflik mereka dengan Geng Zargio melibatkan banyak siswa lain. 

***

Keesokan harinya di sekolah, suasana kembali normal. Namun, rumor tentang acara rahasia Geng Antares mulai tersebar di kalangan siswa. Alka, yang selalu up-to-date dengan berita sekolah, langsung mendekati Saka begitu mereka duduk di bangku kelas. 

"Saka! Lo udah denger tentang acara Geng Antares, belum?" 

"Belum, dan gue nggak peduli," jawab Saka tanpa mengangkat kepala dari bukunya. 

"Eh, lo beneran nggak penasaran? Katanya mereka bakal bikin sesuatu yang gede, dan mungkin bakal melibatkan semua siswa di sekolah!" 

"Kalau melibatkan gue tanpa izin, mereka bakal gue hadapin," balas Saka dengan nada datar, membuat Alka terdiam sejenak sebelum tertawa. 

"Lo emang beda, Saka. Gue suka gaya lo yang kayak nggak peduli sama apa pun, tapi tetep keren." 

Di sela-sela obrolan mereka, seorang siswa dari kelas lain tiba-tiba masuk ke kelas mereka dengan wajah panik. 

"Clarisa pingsan di taman sekolah!" teriaknya, membuat suasana kelas mendadak riuh. 

Alka langsung berdiri. "Wah, ada apa lagi, nih? Lo mau liat, Saka?" 

"Tidak," jawab Saka singkat. Tapi Alka tetap menarik tangannya. 

"Lo nggak bisa terus-terusan menghindar dari drama sekolah, bro. Ayo, ikut gue!" 

***

Di taman, kerumunan siswa sudah mengelilingi Clarisa yang tergeletak di bangku taman. Wajahnya pucat, dan beberapa siswa mencoba membangunkannya. 

"Dia pingsan setelah ngomong sama Alen," bisik seorang siswi. 

Saka langsung menyipitkan mata. "Lagi-lagi dia." 

Alka, yang mendengar itu, menatap Saka dengan penasaran. "Lo mikir apa, Saka?" 

Saka mengabaikan pertanyaan Alka dan mendekati Alenio, yang berdiri tak jauh dari kerumunan. "Apa yang terjadi?" 

Alenio tampak gugup. "Gue cuma jalan di sini, terus dia datang dan mulai ngomong soal kemarin. Gue nggak sempat bilang apa-apa sebelum dia tiba-tiba pingsan." 

Saka mengangguk pelan. "Jangan terlalu dipikirin. Ini bukan salah lo." 

Tiba-tiba, suara salah satu siswa terdengar. "Kita panggil siapa buat bawa dia ke UKS?" 

Saka, yang sebenarnya tidak ingin terlibat, akhirnya melangkah maju. "Gue yang bawa." 

Kerumunan langsung hening. Melihat Ice Prince bersedia membantu seseorang adalah pemandangan langka. 

"Saka, lo serius?" tanya Alka dengan nada tak percaya. 

Saka mengangkat bahu. "Daripada nunggu dia bangun sendiri di sini." 

Ia dengan mudah mengangkat Clarisa dan membawanya ke UKS. Di sepanjang perjalanan, tatapan siswa yang penasaran mengikutinya. 

Setelah memastikan Clarisa dirawat oleh petugas UKS, Saka kembali ke kelas tanpa banyak bicara. Namun, pikirannya terusik oleh drama yang sepertinya selalu melibatkan Alenio. 

"Ada sesuatu yang nggak beres," gumamnya pelan. 

Alka, yang duduk di sebelahnya, mendengar itu. "Apa maksud lo, Saka?" 

"Clarisa. Dia terlalu sering cari masalah sama Alen." 

"Ya, gue juga mikir gitu. Tapi kenapa?" 

Saka terdiam. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan hanya soal gosip atau drama biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, dan ia merasa dirinya tak bisa mengabaikannya begitu saja. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang