Keesokan harinya, suasana di Arkasa High School terasa lebih ramai dari biasanya. Para siswa bersiap untuk menghadapi ujian tengah semester yang akan datang, dan kecemasan mulai menghinggapi banyak orang. Namun, Saka lebih fokus pada latihan bersama Alen yang akan dilakukan setelah jam sekolah berakhir.
Di kelas, Saka duduk dengan wajah datar, matanya menatap kosong ke depan. Alka yang duduk di sebelahnya mengamati Saka dengan cermat, tampak khawatir. "Saka, lo oke? Lo kelihatan agak jauh," tanya Alka pelan, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.
Saka hanya mengangguk, tak memberikan banyak respons. Alka sudah terbiasa dengan sikap Saka yang seperti itu, tetapi tetap saja, ia merasa ada yang berbeda hari ini. "Kalau lo butuh bicara, gue ada di sini, bro," kata Alka, memberi sedikit dukungan meskipun ia tahu Saka lebih suka menjaga jarak.
Setelah beberapa saat, bel tanda pergantian jam berbunyi, dan kelas dimulai. Saka tetap menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya, tapi ia merasakan bahwa sesuatu sedang berkembang dalam dirinya. Entah kenapa, latihan bersama Alen dan percakapan sederhana yang terjadi kemarin membuatnya sedikit lebih terbuka, meskipun ia enggan mengakui perasaan itu.
Seperti biasa, setelah jam sekolah berakhir, Saka pergi ke lapangan kosong bersama Alen. Mereka berlatih dengan intens, berusaha memperbaiki teknik dan kekuatan fisik Alen. Namun, kali ini, suasana di lapangan terasa sedikit lebih ringan. Alen yang biasanya diam kini mulai terbuka, sedikit banyak berbagi tentang kehidupannya yang terluka.
"Saka, gue... gue dulu merasa kayak lo," kata Alen, suaranya rendah namun jelas. "Selalu kesepian, nggak ada yang peduli. Gue tahu lo nggak pernah ngomong banyak, tapi gue bisa ngerasain kalau lo juga ngerasain hal yang sama."
Saka berhenti sejenak, menatap Alen dengan serius. Ia tahu bahwa Alen, meski pendiam, memiliki pengalaman hidup yang berat, sama sepertinya. "Gue... nggak tahu harus ngomong apa. Kadang gue merasa kalau hidup itu nggak ada gunanya," jawab Saka pelan, seolah sedang mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ia pendam.
Alen mengangguk. "Gue ngerti. Gue juga dulu ngerasa gitu. Tapi gue coba bertahan. Kadang, kita harus berjuang walau nggak tahu apa yang ada di depan."
Saka terdiam. Kata-kata Alen menyentuh hatinya, mengingatkannya pada masa-masa sulit yang ia jalani. Namun, ia merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu. Mungkin, hidup memang penuh dengan perjuangan, dan terkadang, kita hanya butuh seseorang yang mengerti untuk bisa bertahan.
Setelah latihan selesai, Saka dan Alen duduk di bangku lapangan, saling berbicara lebih banyak. Tak ada kata-kata besar yang terucap, hanya obrolan ringan yang terasa menyenangkan.
Malam itu, Saka pulang lebih awal. Ia memutuskan untuk tidak langsung tidur, melainkan duduk di meja belajarnya. Buku catatan yang sudah penuh dengan tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikirannya itu kini terbuka di depan matanya. Ia menulis beberapa kalimat lagi, mencoba menyalurkan perasaannya.
"Kadang, kita nggak bisa menghindari kenyataan," tulisnya, "Tapi itu bukan berarti kita harus berhenti berjuang. Gue nggak tahu apa yang akan datang, tapi gue nggak akan mundur."
Saka menutup buku catatannya dan meletakkannya di atas meja. Ada rasa lega yang mengalir dalam dirinya, meskipun ia tahu perjalanannya masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih dekat dengan harapan. Dan, meskipun jalan yang akan ia tempuh tidak mudah, ia tidak lagi merasa sendirian.
Keesokan harinya, Saka dan Alen kembali bertemu di lapangan setelah jam sekolah. Mereka berdua berlatih dengan tekun, saling mendukung satu sama lain. Dan meskipun latihan itu hanya tentang teknik belaka, di dalam hati keduanya, ada semangat yang lebih besar untuk terus maju, untuk terus melawan masa lalu yang kelam dan tak terjangkau.
Mungkin, persahabatan mereka bukan hanya tentang latihan fisik. Ini adalah perjalanan untuk menemukan diri mereka yang lebih baik, dan untuk akhirnya menemukan kedamaian dalam hidup yang penuh dengan luka dan kesedihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Terlantar
Teen FictionSaka Rajendra Aksara hanyalah seorang remaja yang berusaha lari dari bayang-bayang kelam hidupnya. Ketika laut yang dalam memanggilnya untuk mengakhiri segalanya, ia mendapati dirinya terbangun di tubuh orang lain-seorang pemuda dengan nama yang sam...