23

97 11 0
                                    

Hari demi hari berlalu dengan perlahan, dan meskipun Saka tetap terlihat dingin dan tertutup, ia mulai merasakan perubahan kecil dalam dirinya. Alen, yang meski tidak mengungkapkan banyak kata-kata, selalu ada di sisinya. Keberadaan Alen membuatnya merasa lebih tenang, seolah ada seseorang yang memahami kekosongan yang sering ia rasakan.

Pada suatu hari setelah latihan, Saka dan Alen duduk di tepi lapangan, menikmati senja yang perlahan turun. Tidak ada yang banyak dibicarakan, namun keduanya merasa nyaman dengan keheningan itu.

"Saka, lo tahu nggak sih, kenapa gue betah latihan sama lo?" tanya Alen, sambil menatap matahari yang mulai tenggelam.

Saka menoleh sedikit, memberi perhatian pada Alen meskipun ia tidak langsung memberi respons. "Kenapa?" jawabnya datar, seperti biasa.

Alen tertawa kecil. "Karena lo nggak pernah ngeluh. Lo tuh punya kekuatan dalam diam lo. Itu yang gue butuhin. Gue nggak suka orang yang terlalu banyak ngomong atau mengeluh, tapi lo... lo beda. Lo diem-diem bisa ngasih pengaruh."

Saka hanya diam sejenak, mencoba memahami maksud Alen. “Gue nggak punya pilihan. Gue udah terbiasa hidup sendirian.”

"Ya, kadang hidup emang kayak gitu," Alen mengangguk, "tapi itu bukan berarti kita nggak bisa punya teman. Mungkin, lo nggak pernah minta bantuan, tapi bukan berarti lo harus bertahan sendirian selamanya."

Kata-kata Alen menggema di benak Saka. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli, meskipun hanya dalam keheningan yang sederhana.

Di sisi lain, kehidupan di sekolah Arkasa semakin terasa menegangkan. Geng Antares dan Geng Zargio masih terus berkonflik, dan Clarisa yang terus mencari perhatian mulai semakin mencolok. Namun, meskipun begitu, Saka semakin jarang terlibat dalam masalah-masalah itu. Hatinya mulai tertutup rapat terhadap konflik yang tak ada habisnya. Ia lebih memilih berfokus pada latihan dan menjaga jarak dengan orang-orang yang hanya membawa drama dalam hidupnya.

Suatu sore, saat Saka dan Alen sedang berjalan menuju parkir setelah latihan, Clarisa tiba-tiba muncul di hadapan mereka dengan ekspresi manisnya yang tidak bisa diprediksi.

"Heii, Alen! Saka!" Clarisa menyapa dengan suara manja, melambai-lambai ke arah mereka. "Kalian latihan terus ya, keren banget! Boleh dong, kalau aku jadi penonton kalian?"

Saka menatapnya dengan tatapan datar, tidak ada reaksi berarti, sedangkan Alen hanya tersenyum tipis, tampak tidak terlalu tertarik. "Clarisa, kita nggak butuh penonton," jawab Alen singkat, meskipun nada suaranya tetap sopan.

Clarisa terkekeh, tetapi Saka bisa melihat dengan jelas bahwa ekspresi manisnya hanya topeng. Di balik itu, Clarisa sangat pandai memainkan drama. "Oh, ya ampun, kok kalian gitu sih? Gue cuma ingin dekat sama kalian!" kata Clarisa sambil berusaha memikat perhatian, melirik ke arah Alen.

Saka hanya mengangguk pelan, tidak tertarik untuk melibatkan diri lebih jauh. "Lo cuma mau cari perhatian," gumamnya dengan suara rendah, hanya cukup terdengar oleh Alen. Alen menatap Saka sejenak, lalu tertawa kecil.

"Kok bisa lo tahu?" tanya Alen, sambil menyikut Saka pelan.

Saka menoleh dan sedikit tersenyum, meskipun senyumnya hampir tak terlihat. "Gue udah tahu dari dulu."

Clarisa, yang mendengar gumaman itu, langsung berubah ekspresi. Ia jelas tidak suka dengan kenyataan bahwa Saka bisa membaca niatnya. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. "Ya udah deh, kalau kalian nggak mau, gue nggak maksa," katanya sambil pergi dengan langkah kecewa, tetapi Saka tahu bahwa itu hanya sementara. Clarisa pasti akan kembali lagi.

Setelah Clarisa pergi, Alen dan Saka berjalan menuju mobil dengan langkah santai. "Gue rasa Clarisa emang nggak akan berhenti, ya," kata Alen sambil melirik ke belakang.

"Dia cuma cari perhatian," jawab Saka dengan suara yang datar, meskipun ada sedikit rasa geli yang terasa di dalam hatinya.

"Lo bener," kata Alen, "tapi jangan terlalu dipikirin, Saka. Kadang, orang yang paling suka cari perhatian itu justru yang paling kosong."

Saka terdiam sejenak, merenung. Ada benarnya juga kata-kata Alen. Clarisa mungkin terlihat penuh dengan tawa dan perhatian, tapi Saka bisa merasakan bahwa di balik itu semua, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang ia sendiri pahami.

Di tengah kesibukan sekolah, latihan, dan interaksi dengan orang-orang sekitar, Saka mulai merasakan adanya sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Sebuah persahabatan yang tulus, meskipun ia jarang mengungkapkannya secara verbal. Alen adalah orang yang membuatnya merasa sedikit lebih hidup, bahkan di tengah kesepian yang ia alami.

Suatu malam, ketika Saka sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat, pikirannya melayang jauh. Ia ingat betul masa-masa sulitnya dulu. Insiden yang membuatnya kehilangan kepercayaan diri dan mengurung dirinya dalam dunia yang penuh dengan kegelapan. Tetapi sekarang, meskipun dia masih sering merasa kosong, ada sesuatu yang berbeda. Ada secercah harapan, yang muncul lewat persahabatan dengan Alen, yang mungkin, sedikit banyak, telah merubah pandangannya terhadap hidup.

"Terima kasih, Alen," gumam Saka pelan, meskipun tak ada yang mendengarnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa persahabatan ini adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya.

Hari-hari berikutnya pun berlalu dengan penuh latihan dan kedekatan yang semakin tumbuh di antara mereka. Namun, di dalam hati Saka, ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Namun setidaknya, ia kini tidak lagi berjalan sendirian.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang