28

59 7 0
                                    

Saka berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi. Dengan langkah yang lebih ringan, dia melanjutkan harinya, meski pikirannya masih saja penuh dengan kebingungan tentang pemuda tadi. Namun, seperti biasa, wajahnya tetap datar, tak ada ekspresi yang menunjukkan badai di dalam hatinya.

Ketika jam pelajaran selesai, Saka memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Tempat itu selalu menjadi pelariannya—tenang, sepi, dan jauh dari keramaian para siswa yang sering membuat kepalanya pusing.

Langkah kakinya terhenti saat ia melihat seseorang sudah ada di sana. Alenio, dengan wajah yang terlihat termenung, duduk di bangku taman, memandang ke arah kolam kecil di depannya. Saka sedikit ragu untuk mendekat, tapi pada akhirnya dia tetap melangkah.

"Lo kenapa duduk sendirian di sini?" tanya Saka sambil duduk di sebelah Alenio.

Alenio menoleh sebentar sebelum kembali menatap air di depannya. "Nggak apa-apa. Gue cuma lagi mikir aja."

"Mikir apa?"

"Kadang gue ngerasa... kayak nggak ada tempat di dunia ini buat gue," jawab Alenio pelan. Suaranya terdengar rapuh, jauh berbeda dari cara dia biasanya berbicara di kelas.

Saka terdiam. Kata-kata itu terdengar sangat familiar, seolah menggambarkan apa yang ia rasakan sejak menempati tubuh ini. Tapi, ia tidak ingin terlalu banyak bicara tentang dirinya.

"Lo ngerasa nggak dianggap, ya?" Saka akhirnya bertanya, dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

Alenio tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. "Gimana lo tahu?"

"Karena... gue juga pernah ngerasa gitu," jawab Saka singkat, tanpa berpikir panjang.

Alenio akhirnya menoleh ke arahnya. "Serius?"

Saka mengangguk, pandangannya tetap lurus ke depan. "Kadang, nggak dianggap itu rasanya lebih nyakitin daripada dimusuhin. Setidaknya kalau dimusuhin, lo tahu kalau keberadaan lo diakui, walaupun caranya salah."

Kata-kata itu membuat Alenio terdiam. Dia tidak menyangka bahwa Saka, si Ice Prince yang selalu terlihat kuat dan tak tergoyahkan, ternyata juga menyimpan luka yang sama.

"Lo tahu, gue nggak pernah benci sama lo," kata Alenio tiba-tiba, nadanya pelan tapi tegas. "Gue cuma... bingung. Lo selalu kelihatan nggak peduli, tapi ternyata lo ngerti banyak hal."

Saka hanya tersenyum tipis. "Mungkin karena gue udah kebiasa nggak peduli sama diri gue sendiri."

Alenio menghela napas panjang, mencoba mencerna kata-kata itu. "Lo tahu, Saka, gue sebenarnya pengen banget jadi orang yang bisa diandalkan. Tapi, apa gunanya kalau keluarga gue sendiri nggak pernah liat gue sebagai sesuatu yang berarti?"

Saka menoleh, menatap Alenio dengan pandangan yang lebih serius. "Lo nggak perlu pembuktian dari orang lain buat tahu kalau lo berharga. Lo cuma perlu percaya sama diri lo sendiri."

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi ada kehangatan yang membuat Alenio merasa sedikit lebih ringan. Meskipun dia tahu itu tidak akan menyelesaikan semua masalahnya, setidaknya, ada seseorang yang mengerti perasaannya.

Setelah beberapa saat, Saka berdiri. "Gue mau balik ke kelas. Lo nggak mau ikut?"

Alenio tersenyum kecil, senyum yang tulus untuk pertama kalinya hari itu. "Iya, gue ikut."

Mereka berjalan bersama, dengan langkah yang lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Meski tak banyak kata yang terucap di antara mereka, suasana di sekitar terasa lebih damai. Untuk pertama kalinya, Alenio merasa bahwa dia tidak sendirian. Begitu pula dengan Saka, meski dia tidak akan pernah mengakuinya.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang