Saka terkejut saat sebuah tangan tiba-tiba menahannya, membuat langkahnya terhenti. Sebelum dia sempat berbalik, tubuhnya sudah terdorong ke dinding dengan kekuatan yang cukup untuk membuatnya kehilangan keseimbangan. Saka menatap tajam pemuda yang ada di depannya, yang sedikit lebih tinggi darinya. Pemuda itu menghadapnya dengan ekspresi penuh tantangan, seolah sedang mencari perhatian.
"Jadi ini dia, si Ice Prince yang selalu terlihat dingin, ya?" suara pemuda itu penuh dengan nada mengejek, seolah ingin merendahkan Saka. Saka bisa merasakan tatapan tajam pemuda itu yang menyelidiki dirinya, dari ujung kepala hingga kaki.
Saka menahan napas, berusaha untuk tetap tenang meskipun ada rasa ketegangan di dalam dirinya. "Ada apa, nih?" jawabnya datar, berusaha menyembunyikan kebingungannya.
Pemuda itu tersenyum tipis, seperti menemukan sesuatu yang menarik. "Aku nggak nyangka lo beneran si Ice Prince yang orang-orang omongin," ujarnya dengan tawa kecil yang sinis. "Tapi gue ingat sesuatu yang lebih menarik."
Saka mengernyitkan dahi, bingung dengan kata-kata pemuda ini. "Apa maksud lo?" tanya Saka, suara tetap datar meskipun di dalam hatinya mulai merasa ada sesuatu yang ganjil.
Pemuda itu menatapnya lebih intens, lalu melanjutkan. "Ibu tiriku, dia sering banget menyimpan foto seorang pemuda yang... persis seperti lo. Bahkan sampai aku ngerasa dia punya obsesi aneh sama foto itu."
Saka merasa hatinya berdegup kencang. Pikiran-pikirannya mulai kacau, dan tubuhnya terasa sedikit kaku. “Lo... lo ngomong apa?” jawabnya dengan nada yang lebih serius, sedikit mengubah ekspresinya yang biasanya datar.
Pemuda itu mengangkat bahu seolah tak peduli. "Ah, entahlah, gue cuma teringat aja waktu dia diam-diam menunjukkan foto itu ke gue. Katanya, pemuda itu mirip banget dengan seseorang yang dia kenal... mungkin ini cuma kebetulan, ya."
Saka mulai merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang aneh di balik kata-kata pemuda ini. Foto? Ibu tiri? Semua ini terasa seperti bagian dari teka-teki yang belum terungkap. Tapi di sisi lain, dia merasa ada sesuatu yang mengganggu. Kenapa pemuda ini tahu tentang hal itu?
"Lo nggak tahu apa-apa tentang gue," kata Saka pelan, namun dengan suara yang mengandung peringatan. "Lo nggak punya hak buat ngomongin hal kayak gitu."
Pemuda itu hanya tertawa dengan nada sinis, melepaskan genggamannya di pergelangan tangan Saka. "Oke, oke. Gue cuma ngomong apa yang gue denger. Tapi ingat, gue nggak akan diam kalau gue tahu ada sesuatu yang lebih besar yang lo sembunyiin."
Saka menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. "Gue nggak perlu jawab sama lo." Dengan itu, dia menggerakkan tubuhnya untuk melewati pemuda itu dan melanjutkan langkahnya menuju kelas. Perasaan aneh yang mengganggu di dalam hatinya tetap ada, seperti bayangan yang menunggu untuk diungkapkan.
Namun, pemuda itu hanya berdiri di sana, menatap punggung Saka yang semakin menjauh, dengan senyum penuh misteri.
***
Saka melangkah perlahan menuju kelasnya, namun pikirannya tak bisa lepas dari apa yang baru saja diucapkan pemuda itu. Kata-kata "ibu tiri" terus berputar di benaknya, seperti memicu kenangan-kenangan lama yang bahkan dia sendiri jarang ingin ingat. Meskipun tubuhnya berjalan dengan langkah tenang, hatinya terasa seperti dihimpit batu besar.
"Sepertinya, pemuda itu tahu lebih banyak dari yang aku duga," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Matanya yang biasanya datar kini tampak lebih jauh, seperti menatap ke ruang kosong di depannya.
Saka sudah mulai menebak apa yang dimaksud oleh pemuda itu—tentang ibu tiri yang selalu menyimpan foto seseorang yang sangat mirip dengan dirinya. Itu adalah ibu kandung dari raga yang ia tempati sekarang, Saka asli. Saka tahu betul bahwa orang tua dari pemuda itu sudah lama meninggalkannya, hidup dengan keluarga masing-masing. Mereka berpisah setelah perceraiannya, dan tidak ada lagi yang ingat pada anak mereka yang terlantar. Semua kenangan itu seakan terkubur bersama rasa sakit yang dalam di hati Raga asli.
Saka tersenyum miris, tidak tahu harus merasa apa. Dulu, saat masih hidup di raganya yang asli, Saka merasa bahwa keluarganya adalah bagian dari dunia yang asing baginya. Ibunya dan ayahnya tidak pernah peduli, bahkan mungkin tidak pernah ada rasa cinta yang bisa menghubungkan mereka. Mereka berdua seperti bayangan yang terlepas begitu saja—hidup dengan pasangan baru, melupakan anak yang tak berdaya.
"Sama seperti aku," pikirnya dalam hati. "Luka yang sama, rasa yang sama—kehilangan dan ditinggalkan. Saka... apakah kamu pernah merasakannya seperti aku?"
Mengingat hal itu membuat dada Saka terasa sesak. Seperti ada sebuah tangan yang meremas hatinya, membuatnya kesulitan untuk bernafas. Dia tidak ingin menyentuh masa lalu itu, namun setiap kali dia mencoba untuk melupakan, itu selalu datang kembali seperti bayangan yang tak bisa dihindari.
"Sebuah kehidupan yang terlantar... yang tak pernah dipedulikan," Saka berbicara pada dirinya sendiri, meski suaranya hampir tidak terdengar. "Begitu mirip dengan hidupku yang dulu."
Ketika dia tiba di depan kelas, Saka menarik napas panjang, berusaha untuk menenangkan diri. Namun, senyum miris itu tak bisa hilang. Apakah ini takdir yang harus ia jalani? Menempati tubuh seseorang yang juga memiliki luka yang sama? Ataukah ini hanya sebuah kebetulan yang memilukan?
Saka berjalan memasuki kelas, melihat Alka yang sudah duduk di tempatnya dengan tatapan penasaran. Namun, kali ini Saka tak bisa menyembunyikan perasaan yang tengah menguasai dirinya.
"Lo kenapa, Saka?" tanya Alka dengan nada cemas, menyadari ekspresi berbeda pada wajah temannya.
Saka hanya menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan kegelisahan di dalam hatinya. "Nggak ada apa-apa, Alka. Cuma... sedikit capek aja," jawabnya datar.
Tapi Alka tahu, Saka tidak pernah mengungkapkan perasaannya begitu saja. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu temannya, dan itu pasti lebih dari sekadar kelelahan.
"Lo nggak bisa sembunyiin itu, Saka. Lo nggak sendiri," kata Alka pelan, berusaha memberi dukungan meskipun ia tahu Saka tak akan membuka diri.
Saka menatap Alka sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Rasa itu masih ada, semakin menekan. Dia ingin sekali berteriak, ingin melarikan diri dari semua rasa sakit ini. Namun, dia hanya bisa terdiam, menatap dunia luar yang tampak tak peduli dengan apa yang sedang dirasakannya.
"Ini bukan cuma soal gue, Alka," jawab Saka pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Ini soal semua yang udah terlambat... terlambat untuk disembuhkan."
Alka hanya bisa menatapnya dengan prihatin, tidak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka yang bahkan Saka sendiri tidak mau menghadapinya.
Namun, satu hal yang pasti—di dunia ini, ada sedikit cahaya yang bersinar dalam kegelapan, dan Saka tahu, bahwa di tengah semua kehampaan yang ia rasakan, ada seseorang yang selalu siap untuk mendengarkan, meskipun ia tak pernah meminta.
Namun, saat Saka berusaha menenangkan diri, dia tahu bahwa semua ini masih jauh dari selesai. Luka itu masih menganga, dan takdir yang mengikat dirinya dengan Raga tidak akan mudah untuk dilepaskan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Terlantar
Novela JuvenilSaka Rajendra Aksara hanyalah seorang remaja yang berusaha lari dari bayang-bayang kelam hidupnya. Ketika laut yang dalam memanggilnya untuk mengakhiri segalanya, ia mendapati dirinya terbangun di tubuh orang lain-seorang pemuda dengan nama yang sam...