21

91 10 0
                                    

Sore itu, cuaca mulai cerah setelah hujan ringan di siang hari. Saka dan Alen berjalan menuju lapangan kosong yang biasanya mereka gunakan untuk latihan. Lapangan yang sepi itu kini terasa lebih tenang, jauh dari hiruk-pikuk sekolah yang penuh dengan drama dan keramaian.

Setelah mereka sampai, Saka langsung mengambil posisi di tengah lapangan dan memandang Alen. "Oke, Alen. Kita mulai dari dasar dulu, ya? Lo udah tahu kan, gerakan dasar itu penting. Kalau lo nggak punya fondasi yang kuat, nanti akan kesulitan."

Alen mengangguk serius. "Iya, gue ngerti. Gue siap."

Saka memberi instruksi dengan sabar, mengajarkan gerakan dasar seperti posisi bertahan, pukulan, dan tendangan ringan. Ia tahu, meski tampak mudah, setiap gerakan itu membutuhkan waktu dan latihan yang tidak sedikit untuk dikuasai dengan baik.

"Jangan terlalu cepat, gerakan lo harus terkendali. Kalau lo terburu-buru, lo malah bakal kehilangan keseimbangan," ujar Saka, mengoreksi langkah Alen yang sedikit ceroboh.

Alen berhenti sejenak, menatap tanah seolah merenung, lalu mengangguk. "Gue ngerti. Mungkin gue terlalu buru-buru."

Saka tersenyum kecil, merasa sedikit lega melihat Alen yang mulai bisa mendengar dengan baik. Meskipun Alen cenderung tertutup, Saka bisa merasakan ada keinginan yang kuat di dalam diri sahabatnya itu untuk berubah. Mungkin, mereka berdua sama-sama berjuang untuk sesuatu yang lebih baik, untuk mengatasi rasa sakit dan kesepian yang menghantui.

Latihan berlangsung cukup lama. Saka memimpin dengan penuh perhatian, tak hanya mengajarkan gerakan, tetapi juga memberikan motivasi agar Alen tidak mudah menyerah. Beberapa kali, Alen terjatuh karena kurangnya keseimbangan, namun Saka tidak mengabaikannya. Ia selalu ada untuk membantu Alen bangkit lagi.

Saat latihan selesai, mereka duduk di bangku terdekat, mengambil napas dalam-dalam. Saka memandangi langit senja yang mulai berwarna merah keemasan.

"Lo udah lebih baik dari sebelumnya," kata Saka dengan nada serius. "Tapi inget, ini baru permulaan. Gue nggak bakal berhenti bantuin lo."

Alen tersenyum lemah, wajahnya terlihat sedikit lebih rileks dari sebelumnya. "Gue merasa lebih kuat, Saka. Terima kasih."

Saka menoleh ke Alen dengan ekspresi yang agak sulit dibaca. "Lo nggak perlu terima kasih sama gue. Gue cuma bantu lo karena kita teman."

"Ya, gue tahu. Tapi tetap aja, nggak semua orang mau bantu orang lain," kata Alen, matanya menatap Saka penuh makna.

Saka terdiam sejenak, mengingat kembali kata-kata Alen. Ia tahu bahwa dirinya bukan tipe orang yang mudah menunjukkan perhatian. Tetapi, entah mengapa, kali ini ia merasa bahagia bisa membantu Alen. Mungkin, inilah yang ia butuhkan—sebuah koneksi, sebuah ikatan yang membuatnya merasa tidak sendirian.

Matahari mulai tenggelam, dan Saka serta Alen berjalan kembali ke rumah masing-masing. Mereka berdua tidak berbicara banyak, tetapi ada rasa kedekatan yang terbentuk di antara mereka. Mungkin, ini adalah awal dari persahabatan yang lebih kuat. Mungkin, mereka bisa saling melengkapi satu sama lain.

Sesampainya di rumah, Saka merasa sedikit lebih tenang. Meskipun tubuhnya lelah, ada kepuasan yang luar biasa di hatinya. Ia tahu bahwa ia masih punya banyak hal yang harus dihadapi, tetapi setidaknya, kali ini ia tidak merasa seperti berjuang sendirian.

Di kamar, Saka duduk di meja belajarnya, membuka buku catatan yang sudah mulai terisi dengan banyak hal. Ia menulis beberapa kalimat, mencoba menenangkan pikirannya.

"Semuanya nggak akan mudah," tulisnya, "Tapi mungkin, gue nggak perlu takut lagi."

Malam itu, Saka merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin, hidup ini masih memiliki harapan, walaupun terkadang gelap dan penuh rasa sakit. Ia tahu, persahabatan dengan Alen adalah salah satu harapan itu, dan bersama-sama, mereka mungkin bisa menemukan jalan keluar dari segala kesulitan.

Dengan senyum kecil di wajahnya, Saka menutup buku catatan dan berbaring di tempat tidur. Malam ini, ia tidur dengan perasaan yang lebih ringan. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa bahwa dirinya memiliki tujuan yang jelas—untuk terus maju, untuk melawan masa lalu, dan untuk membantu sahabatnya.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang