15

108 14 0
                                    

Sore hari, setelah pulang sekolah, Saka mengganti seragamnya dengan pakaian kasual berwarna hitam. Sebuah lencana kecil bertuliskan "Cafe Celeste" tergantung di saku dadanya. Ia mengambil tas kecil berisi buku catatan dan barang-barang keperluannya sebelum keluar rumah. 

Cafe Celeste adalah salah satu tempat nongkrong yang cukup populer di kota, terkenal dengan suasana hangat dan menu khas yang menggugah selera. Bekerja di sana adalah pilihan yang Saka ambil untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan gaji pas-pasan, ia bisa bertahan meski harus bekerja keras. 

Sesampainya di kafe, Saka disambut oleh Lila, seorang barista senior yang ramah. "Sore, Saka! Lagi-lagi datang tepat waktu, ya? Kayaknya lo nggak pernah telat." 

Saka hanya mengangguk kecil sambil melepas jaketnya. "Nggak mau nyusahin orang lain." 

Lila tersenyum, tapi ia tahu sifat dingin Saka tidak sepenuhnya menutupi betapa rajinnya anak itu. "Oke, hari ini kita agak rame, ya. Ada beberapa pesanan khusus, jadi lo bakal sibuk di dapur dulu." 

Tanpa banyak bicara, Saka langsung masuk ke area dapur dan mulai bekerja. Tangannya lincah menyiapkan hidangan, mulai dari pasta hingga sandwich sederhana. Meski ia tidak terlalu sering menunjukkan emosinya, keahliannya dalam memasak membuat rekan-rekannya terkesan. 

***

Di meja kafe, Alka dan Alenio tiba-tiba muncul sebagai pelanggan. 

"Eh, ini tempat kerja Saka?" tanya Alka sambil melirik ke sekeliling. 

"Iya, gue dengar dari obrolan anak kelas lain. Katanya dia kerja di sini," jawab Alenio dengan nada setengah kagum. 

Mereka memilih meja di sudut ruangan dan memesan minuman. Tidak butuh waktu lama sebelum Lila mendekati mereka. "Hai, pesanan kalian akan segera diantar. Oh, kalian kenal sama Saka?" 

Alka mengangguk cepat. "Iya, dia teman sebangku gue. Dia di mana, ya? Kok nggak kelihatan?" 

Lila tertawa kecil. "Dia di dapur sekarang. Saka biasanya nggak mau ke lantai depan kecuali kalau benar-benar diperlukan." 

"Yah, pantes aja dia nggak keliatan. Bener-bener anak misterius, ya," gumam Alka sambil memutar sedotan di gelasnya. 

***

Sementara itu, di dapur, Saka sibuk mengatur piring-piring pesanan. Salah satu pelayan masuk dengan ekspresi panik. "Saka, bisa tolong bawain pesanan ke meja 15? Kita lagi kekurangan orang di depan." 

Saka mendesah pelan, tapi ia tetap mengangguk. Ia membawa nampan berisi dua gelas kopi dan beberapa camilan menuju lantai depan. Saat ia keluar, Alka langsung mengenalinya. 

"Saka!" seru Alka sambil melambaikan tangan. 

Saka menoleh, sedikit terkejut melihat mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?" 

"Makan, lah. Lo kira kita ngapain?" jawab Alka sambil tertawa kecil. 

Saka hanya menghela napas dan mengantarkan pesanan ke meja lain sebelum mendekati mereka. "Kalian nggak ada kerjaan lain, ya?" tanyanya datar. 

"Eh, jangan gitu, dong. Kita cuma penasaran sama tempat kerja lo," ujar Alenio dengan nada defensif. 

"Dan ternyata lo keren juga, ya, kerja di tempat kayak gini," tambah Alka sambil mengedarkan pandangannya. 

Saka mengangkat bahu. "Gue cuma kerja buat bayar kebutuhan. Nggak ada yang keren dari itu." 

Alka menatapnya dengan penuh rasa kagum. "Tapi lo masih sempat kerja di tengah jadwal sekolah yang padat. Itu hebat, tahu." 

Saka tidak menanggapi. Ia hanya memutar tubuhnya dan berjalan kembali ke dapur. Meski ia tidak menunjukkan apa-apa, ada sedikit perasaan hangat yang muncul di hatinya mendengar pujian dari Alka. 

***

Malam harinya, setelah kafe tutup, Saka berjalan pulang dengan langkah pelan. Lampu-lampu jalan menyinari trotoar yang sepi. Udara dingin membuat napasnya terlihat seperti kabut kecil di udara. 

Saat ia tiba di rumah, Saka langsung menuju dapur untuk menyiapkan makanan sederhana. Bayam dan telur yang ia beli beberapa hari lalu sudah habis, tapi kali ini ia punya mie instan. 

Sambil menunggu air mendidih, ia duduk di kursi dapur dan menatap kosong ke luar jendela. Pikiran tentang masa lalunya kembali menghantui. 

"Gue bisa jalan lagi... Tapi apa gunanya kalau hidup gue masih kayak gini?" gumamnya pelan. 

Namun, sebelum rasa putus asanya semakin dalam, ia teringat wajah Alka dan Alenio tadi siang. Mereka memang cerewet dan terkadang menyebalkan, tapi kehadiran mereka sedikit mengisi kekosongan dalam hidupnya. 

"Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi ke depan," pikirnya, "tapi mungkin... gue harus coba terima keberadaan mereka." 

Mie instan di panci mulai mendidih, dan Saka segera menyiapkannya di mangkuk. Meski hidupnya penuh kesendirian dan luka, ada secercah harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam hatinya. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang