Ketika mereka berjalan menyusuri jalan pulang, suasana kota di malam hari terasa semakin lengang. Lampu-lampu jalan bersinar temaram, menerangi langkah mereka. Saka membawa kantung berisi buku yang baru saja dibelinya, sementara Alen berjalan di sebelahnya dengan kedua tangan di saku jaketnya.
“Eh, Saka,” panggil Alen sambil melirik Saka sekilas. “Lo udah lama tinggal sendirian di rumah itu, ya?”
Saka tidak langsung menjawab. Ia memandang jalan di depannya, lalu mengangguk pelan. “Iya. Kenapa?”
“Enggak, gue cuma penasaran aja. Gue sih nggak kebayang gimana rasanya tinggal sendirian tanpa siapa-siapa,” ujar Alen dengan nada ringan. “Kalau gue, pasti udah stress berat. Mungkin tiap malam nangis di pojokan.”
“Lo terlalu banyak drama,” balas Saka tanpa ekspresi. Namun, nada suaranya terdengar sedikit lebih ringan dari biasanya.
Alen tertawa kecil. “Ya gimana nggak? Gue nggak kuat kesepian, tahu. Lo hebat juga bisa bertahan kayak gitu.”
Saka menghela napas, menatap Alen sejenak. “Kadang lo nggak punya pilihan selain bertahan, Alen.”
Alen terdiam, menyadari ada sesuatu yang dalam di balik kata-kata Saka. Dia tahu betul bahwa teman sebangkunya ini bukan tipe orang yang banyak bicara soal dirinya sendiri, apalagi soal masa lalu. Tapi, ucapan sederhana itu terasa penuh makna.
“Gue ngerti,” ujar Alen akhirnya. “Mungkin lo pikir gue nggak tahu rasanya, tapi… ya, gue juga pernah merasa sendirian.”
Saka menoleh, menatap Alen dengan alis sedikit terangkat. “Beneran?”
Alen mengangguk pelan. “Keluarga gue... mereka nggak sempurna. Gue punya kakak-kakak yang selalu bikin gue ngerasa nggak cukup baik. Kadang gue merasa gue cuma tambahan yang nggak diinginkan.”
Saka tidak langsung merespons, tapi ada kilatan pemahaman di matanya. Kata-kata Alen seolah menggambarkan sebagian kecil dari perasaan yang ia rasakan sendiri, baik sebagai dirinya maupun sebagai pemilik raga yang kini ia tinggali.
“Mungkin kita lebih mirip daripada yang gue kira,” kata Saka pelan.
Alen menoleh, tampak terkejut. “Mirip? Gimana maksud lo?”
“Lo bilang lo ngerasa nggak cukup baik. Gue juga pernah ngerasa begitu,” jawab Saka. “Tapi pada akhirnya, semua itu cuma... suara di kepala lo sendiri. Orang lain mungkin nggak peduli sebanyak itu.”
Alen tersenyum kecil. “Lo bener, sih. Tapi tetap aja nggak gampang ngusir suara-suara itu, ya?”
Saka mengangguk, lalu kembali memandang jalan. Mereka terus berjalan dalam diam, tapi kali ini keheningan di antara mereka terasa lebih akrab. Ada pemahaman diam-diam yang menghubungkan mereka, sesuatu yang tidak membutuhkan kata-kata lebih lanjut.
Ketika mereka sampai di persimpangan jalan, Alen berhenti. “Rumah gue ke arah sana,” katanya sambil menunjuk jalan di sebelah kiri. “Lo aman pulang sendirian, kan?”
Saka mengangguk. “Gue aman.”
Alen tersenyum dan menepuk bahu Saka. “Baiklah, sampai besok di sekolah, ya. Jangan lupa bawa buku baru lo itu, siapa tahu gue mau pinjem.”
“Lo bahkan nggak suka baca,” balas Saka datar, tapi ada sedikit nada bercanda di suaranya.
“Hei, siapa tahu gue berubah!” Alen tertawa sebelum melambaikan tangan dan berjalan menjauh.
Saka memperhatikan Alen menghilang di ujung jalan sebelum melanjutkan langkahnya sendiri. Langit malam yang gelap terasa sedikit lebih terang, meskipun bulan sudah mulai tertutup awan tipis. Di dalam hatinya, Saka merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Persahabatan yang tulus, meskipun sederhana, ternyata memiliki cara untuk menyembuhkan luka yang tersembunyi.
***
Sesampainya di rumah, Saka langsung masuk ke kamarnya dan meletakkan buku yang ia beli di atas meja. Ia menatap buku itu sejenak, lalu tersenyum tipis. Dunia baru menunggunya di dalam buku itu, tapi untuk malam ini, ia merasa cukup. Ia menutup mata, mencoba merasakan ketenangan yang jarang ia temukan.
Namun, pikiran tentang hidup barunya kembali menghantui. Kenangan tentang raga lamanya, perjuangan yang ia alami, dan semua kesedihan yang ia pendam tiba-tiba kembali muncul.
“Gue nggak bisa terus begini,” gumamnya pelan, hampir seperti berbisik. “Gue harus mulai menemukan tujuan di hidup ini.”
Malam itu, di bawah sinar bulan yang redup, Saka membuat janji dengan dirinya sendiri. Janji untuk tidak lagi terperangkap dalam luka masa lalu, baik luka miliknya maupun luka pemilik raga yang ia tempati. Ia akan mencari cara untuk hidup lebih baik, meskipun ia belum tahu bagaimana caranya.
Di luar jendela, angin malam berembus pelan, membawa ketenangan yang seolah menyelimuti seluruh ruangan. Saka tertidur dengan pikiran yang lebih ringan, meski perjalanan panjang masih menantinya. Perjalanan untuk menemukan dirinya sendiri, dan mungkin, kebahagiaan yang selama ini terasa begitu jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa Yang Terlantar
Teen FictionSaka Rajendra Aksara hanyalah seorang remaja yang berusaha lari dari bayang-bayang kelam hidupnya. Ketika laut yang dalam memanggilnya untuk mengakhiri segalanya, ia mendapati dirinya terbangun di tubuh orang lain-seorang pemuda dengan nama yang sam...