13

105 13 0
                                    

Saat langkah Saka menembus keramaian jalan pulang, pikirannya berputar pada kejadian tadi siang. Wajah Alenio terlintas sekilas, dengan mata penuh ketakutan yang kini tergantikan oleh rasa syukur. Saka mengepalkan tangannya. Kenapa ia peduli? Seharusnya hal seperti itu bukan urusannya.

Namun, hatinya berkata lain. Ada sesuatu tentang Alenio yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Luka yang terpendam, perasaan terasing, dan dunia yang seakan melupakan keberadaan seseorang. 

"Kenapa gue repot-repot nolongin dia?" gumam Saka sambil menatap aspal di depannya. 

Suara langkah kaki yang mendekat membuatnya tersadar. "Sak! Tunggu!" 

Saka berbalik dan menemukan Alenio berdiri beberapa meter di belakangnya, terengah-engah. Ia tampak ragu, seolah sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. 

"Ada apa?" tanya Saka dingin. 

"Aku cuma... mau bilang makasih lagi. Untuk tadi," kata Alenio pelan. 

"Udah gue bilang, nggak usah dipikirin," jawab Saka sambil melanjutkan langkahnya. 

Tapi Alenio tidak menyerah. Ia mengikuti Saka, langkahnya kecil namun penuh tekad. "Aku serius. Nggak ada orang lain yang pernah berdiri di pihakku sebelumnya. Semua orang lebih suka percaya sama Clarisa." 

Saka menghentikan langkahnya dan menoleh. "Kenapa lo nggak lawan balik? Lo biarin dia nginjak-injak lo kayak gitu?" 

Alenio tersenyum pahit. "Percuma. Orang kayak gue nggak punya tempat di sekolah itu. Kalau gue coba melawan, mereka cuma bakal menertawakan gue lebih keras." 

Saka terdiam. Ia mengenal rasa itu—ketidakberdayaan yang mencekik, membuat seseorang merasa kecil dan tidak berarti. 

"Kalau lo terus mikir kayak gitu, lo bakal kalah terus," kata Saka akhirnya. "Lo nggak butuh orang lain untuk buktiin siapa lo. Lo cuma butuh diri lo sendiri." 

Alenio terkejut mendengar kata-kata itu. Ia menatap Saka dengan penuh rasa ingin tahu, seolah mencoba memahami siapa sebenarnya orang di depannya ini. 

"Lo ngomong kayak lo tahu segalanya," gumam Alenio. 

Saka menatapnya tajam. "Mungkin gue tahu lebih dari yang lo kira." 

***

Malam itu, Saka kembali ke rumah minimalisnya yang dingin. Setelah berganti pakaian, ia merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar yang kosong. 

Pikirannya terus terusik oleh sosok Alenio dan situasi yang ia alami. Rasanya seperti melihat cerminan dirinya sendiri di masa lalu—kesepian, dihina, dan tidak punya tempat untuk berpaling. 

Namun, berbeda dengan dirinya, Alenio masih memiliki harapan di matanya, meski kecil. 

"Kalau gue nggak bisa memperbaiki hidup gue sendiri, setidaknya gue bisa bantu dia," gumam Saka pada dirinya sendiri sebelum memejamkan mata. 

***

Keesokan harinya, seperti biasa, Saka berjalan ke sekolah dengan langkah santai. Ketika sampai di gerbang, ia melihat kerumunan kecil di dekat taman sekolah. Di tengah-tengah kerumunan itu, Clarisa berdiri dengan tangan di pinggulnya, wajahnya penuh amarah. 

Saka melirik ke arah Alka yang baru saja tiba. "Apa lagi sekarang?" 

Alka tertawa kecil. "Kayaknya Clarisa ngamuk soal kejadian kemarin. Dia ngomel-ngomel ke geng Zargio supaya mereka 'urus' lo." 

Saka mengerutkan kening. "Urus gue?" 

"Ya, semacam balas dendam kecil-kecilan. Lo tahu, kan, Zargio selalu cari gara-gara sama orang yang bikin sahabat cewek mereka kesal." 

Saka mendengus. "Gue nggak takut sama mereka." 

Langkahnya mendekat ke arah kerumunan. Clarisa langsung menoleh ketika melihat Saka, dan wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh kepuasan. 

"Ah, akhirnya lo muncul juga," katanya dengan nada sinis. 

"Kenapa? Ada urusan?" tanya Saka dengan nada yang sama dinginnya. 

Clarisa tersenyum manis, tapi ada kebencian di baliknya. "Gue cuma mau ngasih tahu, hati-hati, Saka. Lo mungkin jago ngomong, tapi nggak semua orang bakal takut sama lo." 

Saka tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan mata dingin sebelum berbalik pergi. 

Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara lain menghentikannya. 

"Hey, Saka!" 

Saka menoleh dan melihat Narendra Zervio, ketua geng Zargio, berjalan mendekat dengan senyum mengejek. 

"Clarisa bilang lo bikin masalah sama dia kemarin. Gimana kalau kita selesain ini sekarang?" 

Saka menatap Narendra tanpa ekspresi. "Masalah apa? Gue cuma bilang apa yang harusnya dia dengar." 

Narendra mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Saka. "Dengerin, gue nggak peduli lo itu Ice Prince atau apa pun. Kalau lo nyakitin salah satu orang gue, lo berurusan sama gue." 

Saka tetap tenang, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. "Gue nggak takut sama lo, Narendra. Kalau lo mau cari masalah, silakan coba." 

Kerumunan langsung menjadi hening. Semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Narendra menyipitkan matanya, tampak kesal dengan ketenangan Saka. Namun sebelum ia bisa berkata apa-apa, suara lain memecah ketegangan. 

"Narendra, cukup." 

Semua orang menoleh, termasuk Saka. Di belakang kerumunan, terlihat Jarvian Axellen, ketua geng Antares, berjalan mendekat dengan ekspresi serius. 

"Masalah ini nggak ada hubungannya sama lo," kata Narendra. 

Jarvian tersenyum tipis. "Semua yang terjadi di sekolah ini adalah urusan gue. Lo tahu itu." 

Narendra menggeram pelan, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dengan enggan, ia mundur, menarik Clarisa bersamanya. 

Saka menghela napas pelan. Ia menoleh ke arah Jarvian. "Gue nggak butuh bantuan lo." 

Jarvian hanya mengangkat bahu. "Gue nggak bantu lo. Gue cuma nggak suka lihat orang kayak Narendra bertingkah." 

Tanpa menunggu balasan, Jarvian berjalan pergi, meninggalkan Saka yang masih berdiri di tempatnya. 

Di kejauhan, Alenio memperhatikan semuanya dengan mata yang penuh kekaguman. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin ada orang yang bisa ia percayai di tempat ini. 

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang