7

140 15 0
                                    

Bel sekolah akhirnya berbunyi, menandakan waktu pulang. Suara riuh murid-murid yang berkemas memenuhi lorong-lorong Arkasa High School, bersatu dengan langkah-langkah kaki yang bergegas menuju gerbang sekolah. Namun, di tengah keramaian itu, Saka tetap berjalan pelan, wajahnya tetap tanpa ekspresi seperti biasa.

Alka berjalan di sampingnya, tangannya memegang tas dengan santai. Meski ia tak pernah bosan mencoba mencairkan suasana, Alka menyadari bahwa percakapan dengan Saka sering kali terasa seperti berbicara pada dinding. Namun, hari ini, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam keheningan Saka-lebih berat dari biasanya.

"Lo mau gue temenin pulang nggak?" Alka bertanya sambil tersenyum kecil, mencoba meringankan suasana.

Saka menggeleng pelan. "Nggak usah. Gue bisa sendiri."

Jawaban singkat itu sudah cukup bagi Alka untuk tahu bahwa Saka tidak ingin ditemani. Namun, seperti biasanya, Alka tidak menyerah begitu saja. "Saka, lo tahu kan? Kalau lo terus-terusan kayak gini, lo bisa kena sindrom *anti-sosial* akut."

Saka berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan datar. "Dan lo mikir gue peduli soal itu?"

Alka terkekeh kecil, menggaruk belakang kepalanya. "Ya, setidaknya gue udah nyoba ngingetin. Lo itu kayak robot, tau nggak? Kalau gue nggak tahu lo masih hidup, gue pasti udah ngira lo mesin."

Untuk pertama kalinya, ada sedikit gerakan di sudut bibir Saka-seperti nyaris tersenyum, tapi segera ia kembalikan ekspresi datarnya. "Lucu," katanya singkat, lalu melanjutkan langkahnya.

Alka menghela napas. Meskipun percakapan mereka selalu penuh kebuntuan, ia merasa ada kemajuan kecil hari ini.

Sementara itu, di sudut lapangan sekolah, Geng Antares terlihat masih berkumpul, tampaknya membicarakan sesuatu dengan serius. Jarvian, dengan tatapan tajamnya, memperhatikan Saka yang berjalan menuju gerbang.

"Bintang," katanya pelan, "Lo perhatiin nggak? Saka makin aneh belakangan ini."

Bintang mengangkat alis. "Aneh gimana? Emang dia pernah kelihatan normal?"

Jarvian mengabaikan candaan itu. "Serius, gue ngerasa ada sesuatu yang berat di dia. Dan kayaknya, itu lebih dari sekadar sifat dinginnya."

"Lo terlalu mikirin dia, Jarvian," Rizky menimpali sambil mengunyah permen karet. "Dia cuma cowok pendiam yang nggak suka basa-basi. Udah, gitu aja."

"Tapi ada yang beda," Vanio, anggota termuda mereka, ikut bersuara. "Gue rasa Jarvian bener. Aura dia tuh... gelap. Kayak dia nyimpen sesuatu yang nggak mau dia bagi ke siapa pun."

Mereka semua terdiam sejenak, memikirkan kata-kata itu. Namun, sebelum pembicaraan mereka berlanjut, suara langkah kaki Clarisa terdengar mendekat.

"Jarvian," panggilnya dengan nada manis, senyumnya menghiasi wajahnya yang cantik. "Gue cuma mau ngingetin soal acara nanti malam. Jangan lupa dateng, ya?"

Jarvian hanya mengangguk singkat, wajahnya tetap datar. Clarisa tampak kecewa dengan respon dingin itu, tapi ia tetap tersenyum sebelum pergi.

"Kenapa sih dia nggak pernah nyerah?" Rizky bergumam sambil menggeleng. "Padahal lo udah jelas-jelas nggak tertarik."

Jarvian hanya mengangkat bahu. "Clarisa cuma seneng cari perhatian. Gue nggak punya waktu buat orang kayak dia."

Di sisi lain, Saka akhirnya mencapai gerbang sekolah. Langit sore berwarna oranye keemasan, memberikan suasana tenang yang bertolak belakang dengan keramaian di sekitarnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir segala pikiran yang membebani dirinya.

Namun, saat ia melangkah keluar, suara langkah kecil terdengar di belakangnya. Alen berdiri di sana, menatap Saka dengan sedikit ragu.

"Saka, lo mau pulang bareng gue?" tanyanya pelan.

Saka menoleh, menatap Alen sejenak. "Gue nggak butuh temen pulang," jawabnya singkat.

Tapi Alen tidak menyerah. "Gue nggak tanya apa lo butuh atau nggak. Gue cuma nawarin."

Untuk pertama kalinya, Saka tidak membalas. Ia hanya menghela napas dan melanjutkan langkahnya, membiarkan Alen berjalan di sampingnya tanpa mengatakan apapun.

Dalam keheningan itu, Alen akhirnya berbicara lagi. "Lo tahu nggak, gue selalu pengen punya saudara. Tapi kenyataannya, gue malah sering ngerasa sendirian."

Saka meliriknya sekilas, tapi tetap diam.

"Lo mungkin nggak percaya," lanjut Alen, "tapi gue rasa kita nggak terlalu beda. Lo juga kelihatan kayak orang yang udah terbiasa sendirian."

Langkah Saka melambat sedikit, tapi ia tetap tidak menjawab. Kata-kata Alen mulai menyentuh sesuatu yang sudah lama ia coba abaikan-rasa sakit karena ditinggalkan, rasa kosong karena tidak pernah merasa diterima.

Namun, seperti biasa, ia menutup rapat-rapat perasaannya. Satu hal yang ia tahu pasti adalah bahwa dunia ini tidak pernah benar-benar memberi ruang bagi orang sepertinya.

Mereka berdua akhirnya berpisah di persimpangan jalan, dengan Alen yang masih mencoba tersenyum. "Sampai besok, Saka."

Saka hanya mengangguk pelan sebelum melanjutkan perjalanannya. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa kehadiran seseorang-sekecil apapun itu-membuat perjalanan pulangnya sedikit lebih ringan.

Langit mulai gelap, dan Saka akhirnya tiba di rumahnya. Rumah minimalis yang sunyi, tanpa kehangatan, tanpa suara. Ia membuka pintu, meletakkan tasnya, dan duduk di ruang tamu. Dalam diam, ia memandang dinding kosong di depannya, pikirannya kembali tenggelam dalam bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.

Entah bagaimana, bayangan Alen dan kata-katanya tadi sore terus muncul di benaknya. Dan untuk pertama kalinya, Saka mulai bertanya-tanya-apakah benar dia tidak lagi sendiri?

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang