5

181 16 0
                                    

Kantin Arkasa kembali riuh dengan suara tawa, obrolan, dan suara sendok garpu yang saling beradu. Namun, di sudut kantin yang sepi itu, Saka dan Alen masih duduk berseberangan, menikmati keheningan yang entah kenapa terasa begitu damai. Keadaan ini berbeda dari biasanya, di mana Saka selalu merasa terisolasi, bahkan di tengah keramaian. Alka yang duduk di sampingnya pun menyadari perubahan kecil yang terjadi, meskipun Saka tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Saka, lo nggak ngerasa aneh gitu, ya?" tanya Alka, perlahan sambil menatap Saka dengan penasaran. "Biasanya lo jauh banget dari orang lain, tapi sekarang lo malah ada di sini, bantuin Alen."

Saka memandangi Alka dengan tatapan datar, tidak bisa menutupi sedikit kebingungannya. "Nggak ada yang aneh. Kadang, lo cuma perlu ada di sini buat orang yang butuh, itu aja," jawabnya dengan suara yang tenang.

Alka tersenyum tipis, meskipun dia tahu ada lebih dari itu. Saka, yang selalu tertutup, sekarang seolah memberi kesempatan untuk dirinya merasa sedikit lebih terhubung dengan orang lain. Namun, perasaan itu bertolak belakang dengan apa yang Saka rasakan dalam hati. Setiap kali dia melangkah lebih jauh untuk peduli pada seseorang, rasa sakit dari masa lalu kembali menghantuinya, seperti bayangan yang tak pernah hilang. Keseimbangan yang rapuh ini hampir membuatnya terjatuh ke dalam kegelapan yang sudah lama ia coba hindari.

Di sisi lain, Geng Antares terus mengamati dengan tatapan tajam. Jarvian masih mempertahankan sikap dinginnya, namun kini ada sedikit kecurigaan yang mulai terlukis di wajahnya. "Saka mulai berubah, ya?" gumamnya kepada Bintang yang duduk di sebelahnya.

Bintang mengangguk pelan. "Iya, ada sesuatu yang beda sama dia. Biasanya lo nggak bakal lihat dia terlibat dalam urusan orang lain, tapi sekarang..."

"Lo pikir dia bisa jadi ancaman buat kita?" tanya Rizky, memiringkan kepalanya.

Jarvian mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada Saka. "Mungkin. Tapi kita juga harus berhati-hati. Siapa tahu, ini cuma fase yang lewat. Kita nggak bisa terburu-buru menilai."

Sementara itu, Clarisa yang sebelumnya sibuk mencari perhatian di meja lain, mendengar percakapan mereka dan langsung berbalik ke arah Saka. Wajahnya tampak kecewa, jelas terlihat dari ekspresi palsunya yang mulai pudar. "Ice Prince mulai peduli sama orang lain, ya?" ujar Clarisa dengan suara manis, tetapi ada nada tajam yang terselip di baliknya. "Gue nggak tahu apakah itu keputusan yang bijak, Saka."

Saka yang mendengar itu hanya diam, matanya tetap datar. Clarisa, dengan senyum liciknya, semakin mendekat. "Apa lo nggak takut, Saka? Kalau lo terlalu dekat sama Alen, gue bisa bilang ke semua orang kalau lo punya... *minat* tertentu sama dia."

Alka yang berada di samping Saka langsung merasakan ketegangan yang meningkat. "Clarisa, lo nggak tahu apa yang lo omongin. Lo pikir lo bisa seenaknya bikin orang takut sama Saka? Lo harusnya tahu, dia nggak takut sama apapun."

Clarisa tertawa kecil, matanya menyipit. "Oh, tapi gue tahu lo nggak bisa bertahan lama, kan, Saka? Lo terlalu dingin untuk orang-orang di sini. Itu bakal jadi masalah besar buat lo sendiri, kalau lo terus terlibat dengan orang seperti Alen."

Saka, yang mendengarkan sindiran itu, tetap tak tergoyahkan. "Lo nggak ngerti apa-apa, Clarisa. Dan lo nggak akan pernah tahu."

Namun, jauh di dalam dirinya, Saka merasa sedikit goyah. Kenapa dia merasa seperti ini? Kenapa hanya dengan sedikit perhatian terhadap orang lain, rasa sakit dan trauma dari masa lalunya tiba-tiba muncul begitu saja? Dia menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang mulai menguasai dirinya.

Alen, yang duduk di seberangnya, merasakan ketegangan itu. Meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti situasi yang sedang berlangsung, ia bisa merasakan adanya kecanggungan antara Saka dan Clarisa. Alen menatap Saka dengan tatapan khawatir. "Saka, lo baik-baik aja?"

Saka mengangkat kepala, menatap Alen dengan tatapan kosong. "Ya, gue baik-baik aja. Jangan khawatir."

Alen tidak bisa berkata-kata lagi, hanya bisa menatap Saka dengan sedikit kebingungannya. Ada sesuatu di mata Saka yang seolah bercerita lebih banyak daripada kata-kata yang ia ucapkan. Alen tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun ia tahu satu hal—Saka adalah seseorang yang harus dihargai, meskipun di balik sikap dinginnya ada sebuah luka yang dalam.

Di saat itu, Geng Zargio yang duduk di meja lain, memperhatikan situasi tersebut dengan diam. Mereka melihat bagaimana Clarisa mencoba menggoyahkan posisi Saka di antara teman-temannya. Narendra Zervio, ketua geng Zargio, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi serius. "Clarisa benar-benar nggak tahu diri. Tapi kalau Ice Prince mulai terlibat dalam masalah ini, kita harus ikut campur."

Ezra Janendra Zervio, wakil geng Zargio yang duduk di sebelah Narendra, memandang ke arah Saka dengan rasa penasaran. "Lo pikir, dia bakal jadi masalah besar untuk geng kita?"

Narendra mengangkat bahu, tatapannya penuh perhitungan. "Kita lihat saja. Saka bukan orang yang gampang dikendalikan. Tapi, dia punya potensi yang bisa kita manfaatkan."

Sementara itu, suasana di kantin semakin tegang, dan meskipun Saka tetap diam dengan ekspresi datarnya, dalam hatinya ada perasaan yang semakin sulit ditahan. Perasaan yang sudah lama ia kubur, dan kini mulai muncul ke permukaan—perasaan yang bisa menghancurkan dinding es yang selama ini melindunginya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana ia bisa bertahan dengan rasa sakit ini tanpa kehilangan dirinya sendiri?

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang