3

191 18 0
                                    

Kantin Arkasa High School begitu ramai pada jam istirahat, dengan suara gelak tawa dan bisikan yang saling bersahutan. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu kejadian yang mengguncang suasana, mencuri perhatian setiap mata yang ada di sekitar.

Clarisa Dwi Angelina baru saja menyelesaikan aksinya, berjalan dengan langkah angkuh dan wajah pura-pura cemas setelah drama dengan Alen. Di belakangnya, para murid yang sebelumnya menyaksikan kejadian itu mulai berbicara. Sebagian besar terlihat mendukung Clarisa, yang selalu pandai memainkan peranannya.

"Tuh kan, si Alen itu bener-bener nggak ada hati, terus terang aja. Harusnya dia ngerti, Clarisa nggak bisa terus-terusan diperlakukan kayak gitu," ujar seorang siswi dengan suara berbisik, tetapi cukup keras untuk didengar.

“Gue juga nggak habis pikir, sih. Alen itu emang keliatan polos, tapi jangan salah, dia sering banget ngejahilin Clarisa. Cuma aja dia nggak mau ngakuin, dia pura-pura jadi korban,” sambung teman di sebelahnya dengan nada penuh keyakinan.

Suara-suara itu semakin keras, menguatkan tuduhan yang tak berdasar kepada Alen. Mereka seakan menyalahkan pemuda polos itu tanpa melihat sisi lain dari kejadian yang sebenarnya. Saka yang mendengar percakapan itu hanya bisa diam, menatap dengan hati yang mulai mendidih. Betapa mudahnya orang-orang ini terbawa arus, tanpa melihat kebenaran yang ada di baliknya.

Namun, tidak semua murid di kantin ikut serta dalam permainan ini. Beberapa dari mereka yang lebih mengenal Alen, merasa tidak nyaman dengan fitnah yang sedang beredar.

“Apa lo pada nggak lihat? Si Clarisa itu jelas-jelas cuma cari perhatian, dia tuh yang ngebuli Alen! Jangan langsung percaya dengan air mata palsunya,” ujar seorang murid laki-laki, mencoba membela Alen.

“Ya, bener! Gue tahu banget, Alen itu nggak pernah nyakitin orang, dia nggak bisa kayak gitu. Clarisa itu yang harusnya dijauhin, dia tuh jahat!” tambah seorang siswi yang juga tampak geram dengan perlakuan Clarisa.

Meskipun pembelaan terhadap Alen mulai terdengar, tapi volume suara itu kalah dengan bisikan yang mendukung Clarisa. Ada yang berbisik tentang betapa baik dan polosnya Clarisa, serta bagaimana air matanya selalu berhasil membuat orang lain merasa kasihan. Semua itu terasa begitu menyakitkan bagi Saka, yang semakin merasa terperangkap dalam dunia yang penuh kebohongan ini.

Alka, yang duduk di samping Saka, memandang Saka dengan tatapan yang mengerti. "Gimana menurut lo, Saka? Mereka pada nggak lihat yang sebenarnya," ujarnya dengan nada prihatin.

Saka mengerutkan keningnya, mencoba menahan amarah yang mulai menggelora. "Mereka cuma lihat apa yang mereka mau lihat. Nggak ada yang peduli sama kebenaran, mereka cuma ikut arus. Tapi Alen... Alen nggak pantas diperlakukan seperti ini."

Alka menghela napas panjang. "Mungkin, lo bisa bantu dia, Saka. Lo kan tau gimana rasanya nggak dihargai. Mungkin Alen juga butuh seseorang yang bisa ngerti dia."

Saka menatap Alka sejenak, dan tanpa sadar, ada rasa empati yang tumbuh di hatinya. Alka benar, meskipun Saka sering merasa terasingkan, dia bisa merasakan betapa beratnya menjadi orang yang selalu disalahpahami.

Dari kejauhan, Saka bisa melihat Alen yang duduk sendirian di meja, menatap kosong ke piring makanannya, seolah-olah dunia ini terlalu keras untuknya. Saka merasa ada sesuatu dalam dirinya yang memanggil untuk melangkah, untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Namun, bisikan-bisikan di sekitar kantin masih terus terdengar, semakin memperburuk keadaan.

"Jangan sampai Alen jadi pengganggu di sekolah ini, kita harus buat dia sadar kalau dia nggak bisa terus-terusan kayak gitu!" suara dari seorang murid perempuan yang menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain.

Saka menggigit bibirnya, berusaha menahan diri. Semakin lama, bisikan-bisikan itu semakin terdengar menusuk, seolah-olah seluruh dunia menilai kesalahan Alen tanpa memberi kesempatan untuk mendengarkan pembelaan.

Tiba-tiba, Saka merasa sebuah dorongan kuat dalam dirinya. Dengan langkah pelan namun pasti, ia bangkit dari tempat duduknya. Alka yang melihat itu, langsung mengangkat alisnya. "Lo mau ngapain?" tanyanya dengan sedikit kekhawatiran.

Saka tidak menjawab, tetapi langkahnya semakin mantap menuju meja Alen. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat daripada yang terakhir, namun ia tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melangkah. Untuk pertama kalinya, ia merasa, mungkin inilah cara untuk menyembuhkan luka yang selama ini ia pendam.

Saat Saka sampai di meja Alen, pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap Saka dengan tatapan kosong, seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Saka berdiri di depannya, lalu duduk perlahan di kursi kosong di sebelah Alen. "Lo nggak sendirian," ujar Saka dengan suara pelan, namun penuh makna.

Alen menatapnya dengan bingung, lalu perlahan senyum kecil mulai muncul di wajahnya. "Saka... lo... mau duduk sini?" tanya Alen dengan suara hampir tidak terdengar.

Saka mengangguk, dan meskipun tak banyak kata yang keluar dari bibirnya, kehadirannya sudah cukup memberikan rasa tenang bagi Alen. Bisikan-bisikan yang terdengar di sekitar mereka mulai mereda, seolah menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar gosip dan drama.

Alka, yang melihat kejadian itu, hanya bisa tersenyum sedikit. "Lo lihat nggak? Lo mungkin nggak banyak ngomong, Saka, tapi lo selalu tahu cara buat orang merasa lebih baik."

Saka hanya mengangguk perlahan, matanya masih terfokus pada Alen yang perlahan mulai merasa lebih tenang. Dalam hati, Saka menyadari satu hal—mungkin, inilah cara terbaik untuk menghentikan kebohongan yang beredar di sekitar mereka. Karena terkadang, diam bukan berarti kalah, tetapi juga bisa menjadi cara untuk membuat dunia ini sedikit lebih baik.

Jiwa Yang TerlantarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang