Di timur perempatan jalan besar, di sebelah toko pakaian dengan gedung cukup besar yang berdampingan dengan gedung hotel paling tinggi di daerah ini, ada deretan ruko-ruko yang lebih menjorok ke dalam, punya lahan parkir yang jauh lebih luas. Ada sekitar lima toko. Yang paling ujung, tepat di sebelah jalan tikus, adalah toko tempat menjual kamera sekaligus penyedia jasa foto studio. Saya berdiri di parkirannya, menatap plang nama berwarna merah marun yang memudar.
Mutiara Foto. Tempat ini cukup bersejarah bagi saya. Dulu Bapak selalu mengajak saya dan Bang Ragi ke sini untuk membuat pas foto untuk keperluan administrasi sekolah. Bahkan hampir seluruh foto keluarga kami dilakukan di tempat ini. Tidak banyak berubah. Hanya trotoar dan lahan parkirnya yang jadi lebih rapi dan sudah menggunakan paping blok. Saya ingat dulu tempat yang saya pijaki ini hanyalah tanah dengan kerikil jarang-jarang yang kalau hujan akan membuat lantai toko dipenuhi jejak kaki berlumpur. Biasanya akan disediakan lembaran-lembaran kardus di depan pintu masuk, agar pelanggan bisa membersihkan sepatu atau sandalnya yang kotor. Tapi tetap saja lantai toko tak bisa menghindar dari kedekilan kaki-kaki itu.
Oh, ya, tentu saja gedung toko ini beberapa kali pernah mengalami perbaikan dan peremajaan. Tapi ya, di mata saya terlihat sama saja. Kondisi tembok luar lantai duanya juga tidak jauh berbeda dari kebanyakan gedung-gedung tua di daerah ini. Kusam, berlumut, terkelupas. Mungkin itulah daya tarik daerah ini. Manusia modern yang hidup berdampingan dengan masa lalu. Entah dalam artian positif atau sebaliknya, tegantung bagaimana setiap orang memaknai kehidupan mereka di kota ini.
Kaki saya akhirnya punya keberanian untuk melangkah masuk. Interior dan suasana di dalam toko tidak banyak berubah. Setiap dinding dipenuhi figura dengan berbagai macam ukuran. Rasanya seperti baru kemarin kami berempat datang ke tempat ini dengan pakaian super rapi dan sibuk membahas nanti harus memasang gaya seperti apa supaya hasil fotonya lebih oke dari foto keluarga kami sebelumnya. Lalu Bang Ragi akan mulai bertingkah konyol, memberi kami rekomendasi gaya-gaya nyeleneh yang bahkan berhasil mengundang gelak tawa para karyawan dan pelanggan yang juga sedang menunggu giliran foto. Bagaimana bisa, bagaimana bisa saya hidup di sebuah kota yang setiap sudutnya menyimpan kenangan bersama Bapak, Ibu, dan Bang Ragi?
Lamunan saya buyar ketika salah seorang karyawan toko bertanya perihal apa yang bisa dia bantu, apa yang saya perlukan. Pria gemuk berjanggut itu tersenyum, melempar tatapan familiar, mungkin dia ingat wajah saya. Namun dia tidak sampai membawa saya pada situasi basa-basi dengan bertanya ini dan itu yang segera saja saya syukuri. Saya hanya ingin membeli rol film kemudian pergi.
Beberapa merek rol film segera saja dipamerkan di hadapan saya, diletakkan di atas etalase kaca. Saya pikir ini akan jadi perkara mudah, tapi ternyata tidak. Seharusnya saya melalukan riset terlebih dahulu sebelum datang kemari. Tapi sudah terlambat untuk menyesal. Saya meminta penjelasan singkat perihal keunggulan, kekurangan, perbedaan, hingga rekomendasi rol film mana yang sekiranya cocok digunakan untuk kamera saya. Ya, saya turut serta membawa kamera Bapak untuk berjaga-jaga. Dan berkat pria tambun ini pula saya jadi tahu jenis kamera analog apa yang saya bawa. Fuji DL-10, katanya.
Kurang lebih lima belas menit kuliah singkat perihal per-rol-film-an, saya memutuskan membungkus dua rol film: satu rekomendasi dari pria gemuk berjanggut itu, satu lagi pilihan saya sendiri yang didasarkan atas feeling bahwa hasilnya akan bagus—yang timbul setelah mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap deskripsi yang diberikan oleh pria itu.
~
Mata saya menangkap pemandangan yang cukup aneh bahkan sebelum roda sepeda menyentuh parkiran kafe. Rumi dan Ben tampak duduk berdua di teras. Sebetulnya melihat Ben bergabung di meja pelanggan bukan lah sesuatu yang baru atau aneh. Dia cukup sering melakukannya, entah ketika kebetulan si pelanggan ada seseorang yang dikenalnya, entah karena sifat sok kenal dan sok dekatnya ternyata disambut baik oleh si pelanggan yang menjadikan mereka kawan nongkrong dalam waktu singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...