22. Rasa Favorit

4 1 0
                                    

Di sepanjang perjalanan hingga kami sampai di rumah, saya dan Rumi tidak terlibat percakapan apa pun. Sebetulnya, dia yang terlihat enggan bicara. Saya bisa merasakan dengan jelas keengganan itu. Pakaian kami yang basah, kering oleh angin jalanan. Tapi situasi di antara kami justru beku.

"Lo izin aja hari ini, Yan, ntar gue yang bilang ke Bos, biar lo bisa istirahat dulu."

Saya hendak menolak saran dari laki-laki yang turut mengantar saya sampai depan pagar rumah bersama kekasihnya itu. Namun seolah tahu saya tidak akan sepaham, dia menyela cepat. "Nggak usah keras kepala deh, lo hampir mati gitu masih aja mikirin kerjaan. Noh, lihat Rumi, pasti shock berat, mending lo temenin dia dulu hari ini."

"Iya, Bian, izin nggak masuk sehari doang gapapa kok." Kali ini Nomi tidak ragu mendukung sang kekasih. Muka masamnya hilang entah ke mana. Bahkan di sepanjang perjalanan tadi, mereka tampak begitu lengket seolah tubuh mereka baru saja dibaluri lem terkuat di dunia.

Namun perkataan Ben barusan sepertinya cukup berhasil membuat saya goyah. Saya melirik Rumi yang berdiri di sebelah saya. Wajahnya pias, tatapannya kosong. Bahkan saya sangsi dia menangkap seluruh pembicaraan kami.

Sejoli itu segera pamit setelah saya memutuskan untuk satu suara dengan mereka. Tinggal lah saya dan Rumi dan kecanggungan yang pekat.

"Kamu masuk duluan aja, saya mau masukin motor dulu." Saya akhirnya mendorong pintu pagar, memberi dia akses untuk masuk lebih dulu. Dia hanya menurut tanpa bicara sepatah kata pun. Dengan langkah yang terasa mengambang, dia melewati halaman rumah kemudian hilang di balik pintu. Saya mendesah pelan, beranjak membawa si vespa ke lorong samping.

~

Pemandangan pertama yang saya dapatkan setelah membuka pintu rumah adalah Rumi yang tengah berdiri membelakangi pintu, dengan punggung—yang masih menggendong tas tempurung yang dihuni Rubi—sedikit berguncang dan kedua telapak tangan yang tampak menutupi wajahnya. Segera saja saya tahu, dia sedang menangis. Saya tahu, saya tahu diamnya sedari tadi adalah caranya untuk menahan sesuatu. Untuk menahan tangisnya yang entah diperuntukkan untuk apa.

Saya menutup pintu dengan perlahan, kemudian melangkah mendekat. Saya meraih kedua tangannya, menyingkirkannya dari wajahnya yang kini tampak memerah dan penuh jejak air mata.

"Kenapa?" tanya saya lembut.

Dia menggeleng, namun air matanya justru mengucur semakin deras.

"Saya nggak tau harus apa kalau kamu nggak ngasih tau kamu kenapa, Rum."

Dia berusaha keras menahan isakannya. Sampai kemudian dia menyebut nama saya dengan suara bergetar dan mata penuh cairan bening. "Bian ... aku ... aku minta maaf," ujarnya tersendat-sendat. "Gara-gara aku ... gara-gara aku kamu jad—"

Saya segera mengerti apa yang membuat dia seperti ini. Apa yang sedang bergejolak di hatinya. Maka sebelum dia berhasil menyelesaikan kalimatnya, saya telah merengkuh tubuhnya. Tidakkah dia tahu, dengan dia bertingkah seperti ini justru semakin membuat saya kesulitan? Tidakkah dia tahu, betapa gelisahnya saya sekarang? Betapa berisiknya kepala dan hati saya, betapa saya kebingungan harus memandang dia seperti apa, harus menerjemahkan segala perasaan asing ini dengan bahasa seperti apa.

"Kalau kamu lagi ngerasa bersalah dan nuduh diri kamu sendiri sebagai penyebab saya hampir tenggelam, tolong berhenti lakuin itu, Rum." Saya menghela napas samar, meletakkan sebelah pipi di puncak kepalanya. "Kamu nggak salah. Itu murni reaksi saya buat nyelametin Rubi."

Tangisnya mengencang. Kedua tangannya mencengkeram baju saya.

"Saya yakin kamu tadi berusaha keras buat nyelametin saya sampai akhirnya saya bisa selamat, ya kan? Karena itu, nggak perlu melimpahkan kesalahan ke siapa pun, apalagi ke diri kamu sendiri, Rum."

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang