20. Pasangan di Ujung Perpisahan

4 1 0
                                    

Hari-hari setelahnya berjalan biasa-biasa saja. Saya tetap dengan rutinitas kerja yang padat, Rumi tetap dengan keteguhannya menepati poin-poin perjanjian kami, terutama perihal makan saya. Rasa masakannya mengalami cukup peningkatan, beberapa kali dia mencoba menu-menu dari negara lain seperti tonkatsu dari Jepang, gimbap dari Korea, pasta dari Italia, dan sebagainya. Dia punya kebiasaan meninggalkan catatan kecil di atas kotak bekal perihal nama makanan beserta penjelasan singkat tentang makanan tersebut. Tidak lupa tulisan "Selamat Makan!" yang diikuti emoji menggemaskan hasil gambarannya sendiri. Mungkin dia tidak tahu, semua post-it itu saya simpan di sebuah kotak kecil terbuat dari kayu yang saya letakkan di meja belajar kamar saya. Kenapa? Ya ... karena sayang saja kalau dibuang.

Dan hari itu pun tiba. Hari piknik yang Rumi tunggu-tunggu. Saya sampai di depan pagar kosnya pukul enam pagi. Langit pagi ini cerah tanpa awan, sesuai dengan prediksi cuaca di aplikasi ponsel yang sempat saya cek semalam. Katanya, kemungkinan sore nanti hujan baru turun. Sepertinya semesta begitu menyayangi gadis itu. Dua hari terakhir hujan mengguyur kota nyaris seharian penuh, disertai petir dahsyat dan angin kencang. Pohon tumbang kembali menjadi trending topic di portal-portal berita lokal. Saya sempat pesimis rencana piknik hari ini akan berhasil.

"Sorry lama." Yang ditunggu akhirnya muncul dari balik pintu pagar putih tinggi dengan keranjang piknik besar yang sesak. Saya segera mengambil alih keranjang itu dari tangannya yang terlihat cukup menderita menahan beban berat itu, kemudian meletakkannya di depan.

"Ben mana? Dia jadi ikut kan?"

Saya mengangguk sementara dia mulai sibuk melepaskan tas menyerupai termpurung yang saya kenakan. Bagian depannya transparan dan memiliki beberapa lubang udara. Ada Rubi di dalamnya, duduk anteng dan sempat menjadi primadona di antara pengendara lain setiap kali saya berhenti di lampu merah. Ada saja inovasi dari para penggemar kucing. Dan tentu saja Rumi lah yang meminta saya melakukan ini semua. Kalau saja dia tahu betapa sulitnya saya memasukan makhluk berbulu itu ke dalam tas tempurung ini tiga puluh menit yang lalu. "Nanti ketemu di Bundaran Metro," kata saya.

Dia mengangguk sembari melampirkan tas tempurung itu di punggungnya, kemudian naik ke jok belakang. "Kita mau ke pantai mana, Bi?"

"Nanti juga tau." Saya menyalakan mesin motor ketika saya dengar dia mendengkus.

"Awas aja kalau jelek," ancamnya mulai bertingkah sok galak lagi. Tidakkah dia ingat betapa tak berdayanya dia ketika menghadapi ancaman 'jambak rambut' dari Ben?

"Memangnya ada pantai yang jelek di sini? Kamu bilang, tempat ini terkenal sama pantainya yang cantik kan?" Saya memberi isyarat agar dia berpegangan.

Dia mencengkram sisi kanan dan kiri jaket saya. "Dan kamu bilang nggak semua kata internet itu bener."

Saya menyeringai. "Bawel," menarik gas.

~

Rumi berteriak-teriak heboh ketika kami melewati jalanan di atas perbukitan yang bersanding dengan pemandangan pantai dengan hamparan air berwarna biru mengkilap di sebelah kiri. Kedua tangannya dia rentangkan ke atas sambil berseru, "Woohooo!" Saya terkekeh-kekeh.

"Neng, kurang-kurangin noraknya!" Ben mencibir sebelum berhasil menyalip kami. Entah apa yang akhirnya laki-laki itu lakukan hingga mampu membawa serta pacarnya di perjalanan ini. Tapi satu yang bisa saya pastikan, belum ada kata damai di antara mereka. Sang pacar bahkan terlihat tidak sudi memeluk pinggang laki-laki itu dan hanya duduk dengan kedua tangan terlipat dan wajah tertekuk. Bahkan pemandangan seindah yang terhampar di sisi kiri kami pun tidak mampu meruntuhkan wajah masamnya itu.

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang