21. Lautan dan Kilaunya

3 1 0
                                    

Kami berjalan beriringan di dekat bibir pantai. Jejak kaki kami tertinggal di atas pasir putih yang basah tiap kali kami melangkah. Air laut yang jernih membelai kaki, menghapus jejak yang tertinggal untuk kemudian kembali bergulung ke laut. Kami tidak bicara sejak meninggalkan Ben dan Nomi dan tikar piknik yang penuh kudapan yang belum satu pun saya cicipi itu.

Saya melirik Rumi entah untuk yang ke berapa kali. Gadis itu menggendong Rubi dengan tenang. Rambutnya yang terurai berkibar-kibar tersapu angin pantai.

"Kamu gapapa?" Akhirnya pertanyaan itu berhasil lolos dari mulut saya.

"Mm? Emangnya aku kelihatan kenapa-napa?"

"Pucet, diem, cukup untuk bisa ngerasa orang lain lagi kenapa-napa."

Dia terkekeh—seperti dipaksakan. "Ternyata kamu nggak kayak Ben, heh?"

"Kayak Ben gimana?"

"Cowok nggak peka."

Saya terkekeh. "Berarti beneran lagi kenapa-napa?"

Dia menggeleng. "Mungkin cuma kebawa ceritanya Nomi." Dia mengedikkan bahu seolah tak yakin dengan apa yang dia katakan. "Cewek disebut sebagai manusia perasa bukan tanpa alasan kan?" Dia tertawa garing.

Saya memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Tidak sampai Rumi tiba-tiba bertanya,

"Bi, kamu kalau jadi Ben, kira-kira bakal gimana? Maksudku, kalau seandainya kamu adalah pacarnya Nomi, dan waktu kamu lagi nongkrong sama temen-temen kamu, Nomi nelfon kamu karena dia butuh banget kamu dateng buat dia, kamu bakal ngelakuin apa?"

Saya memasukkan kedua tangan ke kantung celana pendek yang saya kenakan, mengirup aroma asin khas pantai. Sudah pukul berapa sekarang? Mungkin lewat tujuh pagi? Udaranya lumayan dingin.

"Pertama, nggak mungkin ada 'nongkrong bareng temen' di rutinitas saya karena saya nggak punya temen."

"Kan seandainya, Bi." Rumi memprotes sebal.

"Kedua, kenapa harus Nomi yang jadi 'pacar seandainya' saya?"

Langkah Rumi tiba-tiba terhenti, membuat saya otomatis melakukan hal yang sama.

"Trus maunya siapa?" tanyanya.

Gembel! Saya ngomong apa barusan? Kenapa saya harus mempersoalkan siapa yang harus jadi 'pacar seandainya' saya di pertanyaan 'seandainya' yang Rumi tanyakan? Itu kan hanya pertanyaan 'seandainya' yang seharusnya tinggal saya jawab dengan jawaban 'seandainya' juga. Karena ulah mulut saya sendiri, sekarang saya harus terjebak di pertanyaan berikutnya yang tak kalah menyulitkan.

Saya berdeham, mati kutu. "Oke, tadi pertanyaannya apa? Apa yang bakal saya lakuin kalau saya ada di posisi Ben malam itu, gitu?"

Rumi mengangguk.

Saya berpikir, meski sebenarnya kepala saya hanya berputar-putar pada kalimat 'Trus maunya siapa?' yang sempat Rumi tanyakan tadi. Merasa buntu, saya beralih menatap mata cokelat gelap milik gadis yang berdiri di hadapan saya. Dan entah mendapat keyakinan dari mana, saya akhirnya menjawab, "Saya bakal nyamperin dia saat itu juga."

Rumi tidak memberikan reaksi apa pun. Gadis itu justru termenung menatap lautan di belakang saya. Saya tidak mengerti. Saya pikir setelah mendengar jawaban saya, dia akan memuji saya sebagai laki-laki yang baik atau pacar yang baik, misalnya? Saya pikir dia akan mulai bertingkah menyebalkan dengan melemparkan berbagai macam ledekan. Tapi apa yang terjadi? Kenapa dia justru terlihat sedih?

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang