Saya keluar dari ruang administrasi panti. Hari ini adalah jatuh tempo pembayaran biaya perawatan Ibu. Tapi saya tidak datang untuk melunasinya, melainkan untuk meminta keringanan karena bulan ini saya tidak mampu langsung membayar penuh. Tentu saja saya tidak mengatakan itu terjadi karena saya telah mengacaukan segalanya. Karena saya terlena untuk hidup semaunya. Karena saya telah tanpa sengaja melupakan janji saya pada Ibu. Berhubung rekam jejak saya perihal pembayaran biaya perawatan cukup baik, bagian administrasi mengabulkan permintaan saya dengan mudah.
Lantas yang mesti saya lakukan sekarang adalah ... mencari cara untuk menutupi kekurangannya. Di antara langkah kaki di selasar panti, saya mulai mengabsen benda-benda apa saja yang ada di rumah yang bisa saya jual. Tidak ada pilihan lain, itu satu-satunya solusi yang bisa saya pikirkan. Mungkin laptop? Lagi pula, setelah keluar dari kampus saya jarang menggunakannya. Kekurangannya tidak terlalu banyak mengingat selama ini saya nyaris tidak mengeluarkan uang untuk makan, tapi ada biaya rumah sakit yang mesti saya tanggung.
Di ujung selasar, saya berbelok, menuju ke kamar Ibu. Ibu baru diperbolehkan pulang dari rumah sakit semalam. Sepertinya sekarang sedang jadwal makan siang, saya tidak menemukannya di kamar. Saya beralih ke hall besar yang biasa digunakan sebagai tempat makan para pasien. Saya berdiri di pintu hall dan segera saja menemukan keberadaan Ibu di salah satu sudut ruangan bersama Sus Na yang berusaha membantu menyuapinya makan. Tapi Ibu tidak bereaksi. Terduduk lesu di kursi roda, tatapannya tetap sama seperti hari-hari kemarin ketika saya mengunjunginya. Saya pernah mendengar dari Sus Na, ketika pasien yang biasanya sulit makan akhirnya mau memakan makanan yang mereka suapi meski hanya satu sendok, adalah kebahagaian tiada tandingannya bagi para suster.
Saya bisa melihat bahu Sus Na berkali-kali merosot karena Ibu tak kunjung mau membuka mulutnya. Akhirnya saya memutuskan masuk.
"Biar saya aja, Sus," ujar saya menyentuh pelan bahu wanita itu.
Sus Na bangkit, mempersilakan saya untuk menduduki kursinya. Saya meraih piring yang isinya masih utuh.
"Bu, makan ya? Bian yang suapin." Saya mulai menyendok nasi yang diguyur kuah sayur bening. Lalu tiba-tiba saja terlintas sebuah ingatan yang berhasil membuat saya menelan ludah dengan susah payah.
"Bu, waktu ini, ada yang bilang ke Bian, katanya kalau makan disuapin itu rasanya jadi jauh lebih enak. Ibu percaya nggak? Kalau Bian ... Bian percaya karena udah buktiin sendiri. Sekarang, giliran Ibu yang buktiin omongan orang itu, gimana?"
Saya mendekatkan sendok ke mulut Ibu. Namun apa yang saya katakan barusan tidak memberi perubahan apa pun. Ibu tetap tidak peduli.
"Nggak apa-apa, Mas, biar saya aja yang lanjutin, nanti Ibu pasti mau makan kok, cuma perlu lebih sabar aja." Sus Na yang masih berdiri di sebelah saya akhirnya bersuara setelah beberapa percobaan yang saya lakukan gagal. "Mas juga pasti harus balik kerja kan?"
Saya menghela napas pasrah. Sus Na benar. Saya harus kembali fokus bekerja. Piring yang tetap tak tersentuh isinya itu kembali ke tangan Sus Na. Saya pamit.
~
Hari Minggu dan Senin yang panjang. Saya akhirnya menyusuri jalan pulang, memilih menikmati setiap detik dengan berjalan kaki sambil menggiring sepeda di trotoar yang basah selepas diguyur hujan setelah tiga hari terakhir cukup terik. Beberapa jam lalu, Sus Na menelepon, memberi kabar soal Ibu yang terdengar tak jauh berbeda dari kabar kemarin. Namun tidak seperti saat kunjungan saya kemarin, hari ini Ibu lebih mudah dibujuk untuk makan. Itu saja sudah cukup melegakan.
Langkah saya terhenti ketika sampai di depan pagar rumah. Namun saya batal membukanya ketika menyadari seseorang baru saja keluar dari rumah. Langkahnya tertahan di tengah halaman ketika mata kami bertubruk pandang. Dengan mudah saya mengetahui maksud keberadaannya di rumah ini dari tas tempurung yang menempel di pungungnya. Ya, tentu saja dia harus membawa kucing itu bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...