24. Seperti Tali yang Ditebas

2 1 0
                                    

"Gue tau lo emang doyan bengong, tapi akhir-akhir ini kebiasaan bengong lo itu makin parah nggak sih? Kalo kata gue, kayaknya lo mesti pergi berobat deh, Yan. Takutnya gara-gara hampir mati tenggelem ada sekrup di otak lo yang ketinggalan di laut."

Saya tidak menghiraukan celotehan Ben sampai nama itu tiba-tiba keluar dari mulutnya.

"Rumi ke mana, Yan? Perasaan setelah kita pergi piknik tu anak nggak pernah nongol lagi. Biasanya kalau nggak dia yang dateng bawain lo bekel, minimal ojol yang dia pesen lah. Lo nggak apa-apain anak orang kan? Nyebelin-nyebelin gitu, dia udah berjasa buat hubungan gue sama Nomi. Awas aja lu, sekarang gue ada di tim Rumi."

Lima hari. Sudah lima hari saya tidak melihat sosoknya lagi. Sudah lima hari saya tidak mendapat bekal darinya dan itu tidak lebih penting dari kehadirannya yang absen. Saat saya membuka mata di pagi hari, tidak saya temukan bayangannya yang buru-buru menghilang dari balik pintu rumah. Tidak juga ada makanan yang menghuni meja makan. Saat saya pulang, tidak ada tanda-tanda kehadirannya yang tersisa untuk sekedar menjenguk Rubi. Jumlah post-it berisi tulisannya di kotak kayu di atas meja belajar saya, tidak kunjung bertambah jumlahnya.

Lima hari terakhir, saya seperti baru saja terbangun dari mimpi panjang yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari kehidupan nyata. Sejenak saya mempertanyakan apakah sosok Rumi benar-benar ada? Apakah waktu yang telah kami habiskan bersama benar-benar nyata? Saya ingin menganggap seluruh memori itu sebagai bunga tidur, tapi keberadaan Rubi menepis semua itu. Rumi adalah nyata. Dan fakta bahwa kehadirannya telah berhasil mengisi kekosongan di hidup saya, adalah sesuatu yang saya syukuri dan harapkan kembali terjadi.

Bagi rumah saya, lima hari terakhir pasti lah hari-hari yang dingin dan membosankan. Karena saya kembali menjadi Bian yang tak pernah bicara. Pun Rubi, entah bagaimana kucing itu tampak murung dan tak bergairah untuk berlarian menjelajahi seisi rumah. Satu malam berhujan, dia menemani saya di sofa ruang tengah. Duduk tepat di sebelah saya seolah ikut menyaksikan sebuah siaran di televisi yang saya pilih secara acak. Meski pun saya yakin, kami berdua tidak benar-benar menyimak konten yang tengah disuguhkan oleh layar 32 inci itu. Kami hanya sedang ... merindukan sosok yang sama.

"Beneran ada masalah?"

Suara Ben berhasil meruntuhkan lamunan saya. Laki-laki yang semula berada di balik mesin esspreso, kini telah berdiri di hadapan saya.

"Lo lagi berantem sama Rumi?"

Saya hanya menatapnya sejenak. Entah ilham apa yang telah diberikan mesin kopi itu hingga Ben bisa menarik kesimpulan seperti itu.

Dia mendesah karena saya tak kunjung bicara. Seketika raut frustasi menempel di wajahnya seolah dia lah yang sedang punya masalah. Dia bersandar di meja kasir, menatap saya lekat.

"Lo habis nyatain perasaan ke dia tapi ditolak?"

Saya mengernyit karena pertanyaannya yang lebih terdengar seperti tuduhan.

"Atau setelah piknik hari itu, lo marah-marah ke dia karena udah bikin lo hampir mati?"

"Nggak usah ngasal," balas saya ketus.

Dia menghela napas tanda kebuntuan. "Trus kenapa dong? Ah elah, kalian yang berantem kenapa gue yang sedih dah. Ini kalau Nomi tau, bisa susah tidur berhari-hari dia."

Saya tidak menghiraukan lagi ocehannya. Tidak mengerti juga kenapa dia dan Nomi mesti pusing perihal hubungan saya dan Rumi.

"Ini kalau gara-gara gue sama Nomi baikan kalian malah berantem gini, mending gue sama Nomi lanjut berantem aja kali ya."

Saya memilih membuang pandangan ke dinding kaca di sebelah saya. Menatap jalanan di luar yang tiba-tiba terasa lebih menarik. Kenapa motor-motor itu mesti sibuk menyalip setiap mobil yang menghalangi jalan mereka? Memangnya semenarik apa tujuan yang menunggu mereka di ujung sana hingga mereka harus terburu-buru?

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang