25. Langit Koridor yang Muram

3 1 0
                                    

Jangan lagi.

Jangan ada lagi yang pergi.

Meski pergi pada akhirnya akan menjadi takdir paling pasti bagi setiap orang, tapi jangan. Jangan ada lagi yang lenyap begitu cepat.

"Kenapa ya orang-orang bisa seegois itu?! Mati, mati, mati!"

Kalimat yang Rumi katakan penuh kemarahan hari itu, terngiang di dalam kepala saya. Rupanya meski telah kehilangan Bang Ragi dengan cara tak wajar, selama ini saya belum cukup berani untuk melabeli kakak saya itu sebagai manusia egois. Seperti kata Rumi, egois karena telah memutuskan untuk mati tanpa memikirkan perasaan orang-orang yang akan ditinggalkan. Mungkin karena saya terlalu menyayangi Bang Ragi, mungkin karena ada terlalu banyak hal baik dari dirinya yang melekat di ingatan, keputusannya untuk mengakhiri hidup, selalu saya maklumi tanpa memberi sedikit pun kesempatan bagi diri saya untuk marah, benci, atau mengutuk keputusannya.

Padahal, saya berhak marah dan kecewa. Saya berhak mencaci-maki kuburannya. Saya seharusnya melakukan itu di hari pemakamannya. Saya seharusnya mengutuknya selama sisa hidup saya karena telah membuat Bapak ikut pergi dan Ibu jadi seperti ini! Tapi ... tapi apa lah gunanya itu semua jika tak bisa membuat dia bangkit kembali. Jika tidak bisa membuat segala yang hilang kembali seperti semula.

Hari ini saya menyadari, rupanya selama ini saya tidak benar-benar paham betapa menakutkannya sebuah kehilangan atas kematian seseorang. Betapa mengerikannya ketika itu terjadi untuk kedua bahkan kesekian kali. Betapa saya tak akan sanggup menanggung beban rasa bersalah yang terlalu besar untuk seumur hidup.

Aroma obat-obatan, suara rintihan, langkah tergesa dokter dan perawat yang menyambangi ranjang di ujung ruangan. Seorang remaja baru saja mengalami kecelakaan, begitu informasi yang tak sengaja saya dengar dari seseorang yang berdiri tak jauh dari tempat saya berada. Saya menghela napas, kembali memandangi Ibu yang tergeletak lemas. Di antara keriuhan ruang UGD, hanya wajahnya yang tampak tenang. Rambutnya kusut berantakan, bibirnya pucat, tubuh kurusnya semakin menyedihkan jika dilihat dalam posisi terbaring seperti ini. Terlalu tenang seolah apa yang dia lakukan beberapa saat lalu tidak akan memengaruhi hidup siapa pun. Seolah tak akan ada yang terluka dan gemetar ketakutan.

Lihat, Rum ... ada satu lagi manusia egois di sini.

Pandangan saya turun ke pergelangan tangan kirinya yang terbalut perban. Tarikan napas berat kembali saya lakukan tanpa sadar. Hari ini saya masih bisa melihatnya bernapas. Bagaimana kalau besok lusa para petugas panti melewatkan tindakan berbahaya lain yang mungkin akan Ibu lakukan? Bagaimana kalau kabar yang saya dapatkan dari Sus Na bukan lagi Ibu yang dilarikan ke rumah sakit, melainkan Ibu yang telah tiada?

Saya mengusap wajah dengan telapak tangan sebelum Sus Na tiba-tiba muncul di sebelah saya.

~

Koridor rumah sakit, lengang. Jemari saya tak henti-hentinya saling memilin dengan gelisah. Isi kepala saya ... terlalu rumit untuk diidentifikasi.

"Saya minta maaf, Mas Bian."

Saya segera menoleh. Sus Na yang turut bersama saya di kursi koridor, akhirnya bicara setelah memberi saya waktu untuk bergulat dengan isi kepala. Melihat wajah wanita itu yang digelayuti penyesalan, saya tidak punya cukup keangkuhan untuk mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. Saya menghela napas panjang, mencoba merileksnya tubuh dengan menempelkan punggung di sandaran kursi.

"Ibu melukai tangannya pakai apa, Sus? Seingat saya, di setiap kamar pasien nggak boleh ada benda tajam dan berbahaya."

Cekungan kecil di antara alis Sus Na masih dihiasi kerutan.

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang