Bapak adalah seorang guru olahraga SMA. Dari dua anak laki-lakinya, saya adalah yang paling cupu dalam urusan fisik. Waktu SD, saya tidak pernah bisa tahan berdiri sampai seluruh rangkaian upacara bendera selesai. Karena itu setiap Senin pagi, saat mengantar saya dan Bang Ragi ke sekolah, Bapak mesti menyempatkan diri untuk menemui salah seorang guru yang dia kenal baik hanya untuk meminta permakluman agar saya bisa diizinkan kembali ke kelas lebih dulu setelah sesi pengibaran bendera. Gara-gara kelemahan itu, saya sering mendapat julukan-julukan jelek dari teman-teman sekelas. Si cupu, si anak papi, si lemah, si culun, dan sebagainya. Tidak terkecuali saat jam pelajaran olahraga, sudah barang pasti saya akan menjadi bahan tertawaan.
Tapi semua ledekan itu tidak bertahan lama berkat Bang Ragi. Kakak saya itu, meski hatinya begitu murni, dia tidak akan pernah tahan bersikap lunak pada siapa pun yang berani menyakiti keluarganya. Satu hari, di jam istirahat, dia tiba-tiba mendatangi kelas saya dan segera saja menghajar salah seorang murid laki-laki paling blangsak. Di antara semua murid yang pernah meledek saya, mulut bocah itu memang yang paling busuk.
Berkat aksi fenomenal Bang Ragi itu, tidak ada lagi yang berani mengusik saya, tapi tentu saja selalu ada ganjaran bagi pembuat keributan. Bapak mesti menghadap kepala sekolah. Rupanya cecunguk bermulut busuk itu adalah anak seorang pejabat daerah. Karena tidak mau urusan jadi panjang lebar, Bapak memutuskan mengangkut kami berdua ke sekolah lain yang jauh lebih steril dari bocah-bocah menyebalkan dengan backingan keluarga pejabat seperti laki-laki itu. Namun sayangnya, hidup saya tidak serta merta tenang setelah itu. Saya mendadak mesti menghadapi sesi lari keliling lapangan bola setiap Minggu pagi.
"Bian, kamu nggak mau kan dibully cupu lagi? Nggak mau kan bikin Bang Ragi ngehajar orang sampai bikin gigi orang itu patah? Nggak mau kan Bapak berurusan sama kepala sekolah lagi?"
Saya yang saat itu berusia delapan tahun, dan merasa adalah dalang dari segala kekacauan yang terjadi, hanya bisa mengangguk pasrah.
"Kalau gitu, mulai sekarang, setiap hari Minggu, kamu harus ikut Bang Ragi lari keliling lapangan sepak bola. Nanti kalau Bian berhasil lari satu puteran, Bapak bakal traktir es krim. Tapi kalau gagal? Ya berarti cuma Bang Ragi yang dapet es krim."
Tiga minggu pertama, saya gagal memenuhi tantangan itu. Dengan tubuh letih seperti ayam mau mati besok, saya hanya bisa meneguk ludah menyaksikan Bang Ragi menikmati es krim cokelat di sepanjang perjalanan pulang. Bang Ragi bukan abang yang kejam meski agak jahil dan nakal. Dia selalu ingin berbagi hadiah es krim cokelat itu dengan saya. Tapi Bapak tidak selunak itu. Entah bagaimana Bapak selalu berhasil menangkap momen disaat saya hendak meminta satu gigitan kecil es krim lezat milik Bang Ragi. Matanya akan langsung melotot yang berarti peringatan untuk jangan coba-coba menyentuh sesuatu yang bukan hak saya. Mulut saya yang sudah nyaris tak berjarak dengan dinginnya es krim, terpaksa mundur dengan tampang nelangsa.
Sebetulnya Bapak bukan orang tua yang galak. Tapi dia cukup disiplin dan tegas jika menyangkut karir sepak bola yang Bang Ragi impikan. Dia akan sangat rewel pada porsi latihan mandiri dan segala macam asupan gizi yang mesti Bang Ragi penuhi. Sampai sebelum tragedi yang mengharuskan saya dan Bang Ragi mesti pindah sekolah itu, saya cukup bersyukur karena Bapak hanya sibuk mengurusi kondisi fisik Bang Ragi tanpa menyeret atau menyentuh saya sedikit pun. Tapi apa boleh buat, pada akhirnya saya kena apes juga.
Pada minggu keempat, meski rasanya seperti pertaruhan antara hidup dan mati, saya akhirnya berhasil menjawab tantangan itu. Es krim cokelat super lezat yang sebelumnya hanya bisa saya bayangkan bagaimana rasanya, berhasil menjadi milik saya. Rasa letih seketika lenyap. Apa lah artinya keringat dan tulang-belulang yang serasa mau copot jika setelahnya mulut ini bisa menyesap rasa manis dan dinginnya es krim yang didambakan selama berminggu-minggu.
Namun perasaan super bahagia itu harus segera kandas ketika kaki saya tak sengaja menabrak sebuah batu yang tergeletak sembarangan di trotoar. Saya terjerembab, es krim berharga itu melayang kemudian berserakan di tanah. Alih-alih menangis kesakitan, saya justru menatap nahas es krim yang tak bisa lagi diselamatkan barang seujung lidah pun. Rasanya seperti kebahagiaan yang akhirnya saya dapatkan telah direnggut secara paksa dalam waktu yang begitu singkat.
~
Seperti itulah gambaran perasaan saya sekarang. Ketika tiba-tiba saja Rumi menarik wajah dan tubuhnya menjauh. Ketika rasa manis candu itu hilang dari jangkauan bibir saya seolah telah dengan sengaja direnggut. Seketika detak jam kembali menyapa telinga. Suara hujan di luar ... entah kapan cuaca telah berganti. Ciuman kami begitu panjang hingga saya pikir tak akan pernah ada yang bisa menemukan titik hentinya.
Namun, Rumi sendiri lah yang menyudahinya. Saya tidak akan pernah mempermasalahkan keputusannya itu kalau saja saya tidak segera mendapati kondisinya sekarang yang alih-alih tersipu malu tapi malah terguncang dan ketakutan. Apakah dia menyesal? Apakah saya telah melakukan kesalahan? Dengan perasaan campur aduk, saya hendak menyentuh tangannya. Namun itu justru membuat dia menarik jarak semakin jauh. Dengan gerakan cepat dia bangkit, tidak sedikit pun matanya mau menatap saya. Sementara di dalam dada saya, seperti ada seseorang yang sedang menancapkan benda tajam berulang-kali secara membabi buta.
Lalu entah bagaimana Rumi telah mengemasi barang-barangnya dan bersiap pergi.
"Aku nggak bisa," satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya dengan nada bergetar ketika saya sempat berhasil meraih tangannya. Lalu sosoknya tak dapat saya temukan lagi di dalam rumah ini. Saya menatap nanar daun pintu yang perlahan tertutup setelah ditinggalkan oleh gadis itu.
Tidak seperti es krim saya dua belas tahun lalu yang terjatuh dan tak bisa diselamatkan, Rumi masih bisa saya raih. Saya bergegas keluar dan sekali lagi menahan langkahnya di tengah halaman rumah, di bawah guyuran hujan yang tak deras tapi tak juga ringan.
"Kenapa? Kenapa kamu harus pergi? Kenapa ..." saya merasa terengah-engah, tidak tahu apa yang sebenarnya ingin saya katakan atau ingin saya dengar darinya. Saya butuh waktu untuk mencerna ini semua, tapi saya sadar betul, mengambil waktu sejenak hanya akan membuat Rumi berakhir seperti es krim itu.
"Kasih saya alasan, kenapa kamu tiba-tiba begini. Kenapa ... kenapa kamu tiba-tiba ngebuat saya ngerasa ditolak?"
Rumi tidak bersuara, tidak juga mau menatap mata saya. Membuat saya semakin merasa frustasi.
Saya mencengkram tangannya semakin kuat. "Saya ... bikin kamu takut?"
Tangannya seketika mengepal, dan saya menganggap itu sebagai jawabannya. Saya mengembuskan napas dan perlahan melepaskan tangannya. Meski saya tidak tahu rasa takut semacam apa yang telah saya timbulkan hingga membuatnya harus pergi seperti ini, tapi menyadari fakta bahwa dia takut karena saya, sangat melukai hati saya.
"Saya anter pulang." Tanpa menunggu persetujuannya, saya bergegas ke lorong samping untuk mengambil motor. Namun suara decit pagar yang terdengar tidak lama setelah itu, terpaksa menghentikan pergerakan saya. Rumi telah menghentikan sebuah taksi dan pergi bersamanya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...