~XXIII~

2.5K 83 2
                                        

Bunga bertemu Tio di lobi rumah sakit, awalnya Bunga tak menyadari keberadaan Tio, tapi berkat panggilan juga tepukan halus di pundaknya. Mereka bisa bicara lagi setelah pertemuan beberapa hari yang lalu.

"Sedang apa kamu disini, apa kamu sakit?" pertanyaan yang terlontar dari mulut Tio malah membuat Bunga teringat mengapa dia bisa berdiri disana. Penolakan yang dia terima masih terasa begitu menyakitkan. "Apa kamu benar-benar sakit?"

Tio tak sabar karena Bunga tidak juga menjawab pertanyaan yang dia tanyakan. "Tidak. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang menjenguk seseorang disini. Bagaimana denganmu?"

Pertanyaan basa-basi yang sebenarnya tak ingin Bunga tanyakan, sudah terlihat sangat jelas kalau Tio berniat menjenguk seseorang dari parsel buah yang dia bawa. Siapa pun dia, Bunga sedang tak memiliki semangat untuk mengetahuinya.

"Bosku, katanya dia mengalami musibah. Aku berniat menjenguknya." jawab Tio jujur. "Oh, kuharap bosmu lekas sembuh."

"Ya, aku juga berharap hal yang sama. Kebetulan aku belum melihat secara lagsung jadi belum tahu apapun. Semoga saja keadaannya tidak parah." harap Tio tulus.

Hening sesaat, "Setelah ini, kamu mau kemana?"

"Aku tidak tahu." jawab Bunga setengah ragu.

"Apa kamu bisa menungguku? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." Bunga terdiam sejenak, hingga akhirnya dia mengangguk. Dia sendiri tak tahu tujuan, mungkin dengan pergi bersama Tio dia bisa lebih baik. " Kalau begitu, aku tak akan lama."

Detik berikutnya, Tio telah menghilang.

***

"Apa yang terjadi, kenapa Bunga terlihat sedih setelah keluar dari sini. Apa kamu mengusirnya?" cecar Feri setelah Andi menutup pintu.

Farhan tak merespon, tatapannya tertuju pada tembok putih yang berdiri kokoh tepat di depannya. Dia sendiri masih mengingat setiap ekspresi yang Bunga tunjukkan saat mereka bertemu. Ada sedikit penyesalan, tapi Farhan merasa bahwa apa yang dia lakukan adalah yang terbaik.

"Dia merasa kalau dirinyalah penyebab kejadian yang menimpamu saat ini. Apa kamu tak kasihan padanya?" Feri tak habis pikir akan pemikiran Farhan, perlu usaha sangat keras baginya hingga dapat sampai pada tahap itu. Tapi dalam sekejap mata, dia ingin mengakhiri semua.

"Berhenti menekannya, Farhan baru saja sadar. Apa kamu ingin dia semakin sakit?" walaupun Andi membela Farhan tapi sebagian dari dirinya nenyetujui ucapan Feri yang memang masuk akal.

"Aku tidak mau Farhan menyesal. Untuk apa mempertahankan, tapi pada akhirnya harus dilepas, disaat dia sadar akan kesalahannya. Dia ingin menebus semua, tapi dengan mudah kamu memutuskan untuk membuangnya. Jadi untuk apa usaha yang telah kamu lakukan selama ini?" nasihat Feri penuh kekesalan.

"Aku tidak mau dia terluka. Semakin lama dia dekat denganku, semakin sulit bagiku untuk melepaskannya. Aku baru sadar bahwa berada bersamaku tak akan membuat dia bahagia. Tak akan pernah." nada putus asa itu membuat Feri semakin kesal, tapi dia mengerti bahwa tak semudah itu memutuskan mengingat ibu tirinya dapat menggunakan Bunga kapan saja jika dia tahu keberadaannya.

"Apa kamu menyerah?" tanya Feri dengan nada datar.

"Sudahlah Feri, bukannya dulu kamu sendiri yang bilang bahwa pilihan Farhan adalah kesalahan, kenapa sekarang kamu malah membela perempuan itu." Andi mulai merasa kalau Feri jadi agak berlebihan. Walaupun pilihan itu salah, Farhan sendiri yang akan memutuskan. Tidak pantas, jika Feri bersikukuh pada pendapatnya sendiri.

"Itu karena aku pikir ini yang memang Farhan butuhkan, dia membutuhkan Bunga disampingnya. Berkat ucapanmu juga aku berubah pikiran." tepat sekali, bila Andi tak menceritakan apa pun tentang Tio dan hubungan rumit diantara ketiganya, ada kemungkinan Feri tak akan ikut campur sekarang.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang