Farhan hanya melirik ponselnya yang tak berhenti menyala karena panggilan masuk dari Mela. Dia sama sekali tak berniat mengangkat, apalagi melakukan panggilan balik. Memandang pintu adalah tempat yang paling tak bisa dia lewatkan, berharap seseorang memencet bel dan memberikan kabar gembira. Jika pun tidak, hanya bertatap muka saja cukup.
Namun, dengan santai Feri mengambil ponsel Farhan lalu mengangkat panggilan tersebut. Awalnya pembicaraan mereka masih wajar, hingga adu mulut antara Feri semakin menjadi. Sumpah serapah terus menerus perempuan itu layangkan, tanpa perduli pendidikan yang telah dia anyam selama ini.
Terbawa suasana, Farhan menarik ponselnya dari genggaman Feri, lalu mengiyakan permintaan Mela. Dia perlu menegaskan hubungan mereka saat ini.
"Kamu yakin?" Feri tahu betapa keras kepalanya Mela. Belakangan, dia mendengar bahwa perempuan yang mengacau di klub dan menampar Bunga adalah dirinya. Farhan sendiri sangat marah, dan berkat kejadian tersebut hubungan mereka merenggang.
"Kami perlu bertemu untuk meluruskan hubungan. Dia tak pernah ada di hatiku. Memaksakan itu hanya akan melukai diri sendiri." Farhan mengerti rasanya menjadi seseorang yang mencintai sendirian. Sebagai teman, dia mengharapkan yang terbaik bagi Mela. Tentu ada lebih banyak pria yang mampu mencintainya dengan sepenuh hati.
"Bagaimana kalau Bunga tak bisa tinggal? Apa kamu akan sendirian seumur hidup?" tantang Feri.
Farhan tersenyum tipis, "Bukan masalah, aku yakin dengan apa yang menjadi pilihanku. Dia akan tetap ada terlepas dia menerimaku kembali sebagai bagian dalam hidupnya atau melemparku jauh sebagai kenangan. Dia akan tetap menjadi Bunga yang telah meninggalkan bekas terdalam di kehidupanku."
Feri tertegun, dia percaya bunga bukan gadis yang sejahat itu. Tapi, memberikan harapan tanpa kepastian bahkan lebih menyakitkan. Seperti yang pernah Aldi katakan, jika kamu menyukainya tetaplah tinggal. Jika tidak, lebih baik pergi saja sejauh mungkin dan jangan pernah kembali.
Feri terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak sadar ketika Farhan berlalu dari sana. 'Kemana sebenarnya gadis itu. Kenapa belum datang juga, padahal dia janji akan memberikan jawaban hari ini. Tak mungkin Bunga pergi begitu saja.'
***
Setelah melalui pencarian panjang akan kepemilikan rumah peninggalan ayah angkatnya. Tio berhasil membujuk pemilik baru untuk bertemu, setelah pembicaraan yang alot lewat telepon -karena pria berusia 50-an itu bersikukuh tak mau menjual rumah yang beberapa bulan lalu dia beli.
Setelah mendapat tawaran menggiurkan, barulah pria itu setuju melakukan janji temu di salah satu cafe kecil tak jauh dari rumah yang akan mereka bicarakan.
Berulangkali lirikan tak lepas dari jam di tangannya, Tio terlambat hampir sepuluh menit karena motor yang mogok dan perlu dibawa ke bengkel lebih dulu. Dia bahkan jalan kaki, setengah berlari mengingat betapa tak menyenangkan pria itu ketika Tio melakukan sedikit kesalahan.
Namun langkah Tio terhenti saat tanpa sengaja melihat Farhan duduk berhadapan dengan seorang perempuan di cafe sebrang jalan. Dari yang terlihat, ada hal serius tengah mereka bicarakan. Dia ingin mendekat, hanya saja memiliki janji penting.
'Orang yang kita bicarakan itu atasanmu, Farhan.'
Hingga kalimat Avril tiba-tiba terngiang. Tio seperti diingatkan pada rasa penasarannya akan sosok Farhan, terdapat banyak pertanyaan yang ingin dia kemukakan. Lebih lagi, dugaan tak dapat meyakinkan Tio akan sosok laki-laki itu. Bunga tak boleh mengalami rasa sakit lagi, terutama setelah apa yang dulu pernah dia lakukan.
Setelah memikirkan berulang, janji temu yang sangat dia tunggu pun dibatalkan. Pria itu kesal dan mengancam tak akan menjual rumah itu padanya, tapi Tio tak merasa terintimidasi. Jika rumah itu memang pantas menjadi miliknya, akan ada jalan untuk mendapatkannya kembali. Jika tidak, Tio harap pemilik barunya adalah orang baik. Itu cukup.
Mengambil tempat tak jauh dari meja Farhan, dia mulai menyimak pembicaraan mereka.
'Kenapa harus dia? Perempuan yang kamu ambil dari jalanan, dan memiliki masa lalu buruk! Ini gila, apa yang dia lakukan padamu!'
'Aku ingin bersamanya, dan tak ada yang bisa merubah keputusanku. Dia spesial dengan caranya sendiri.'
'Keadaanmu sangat menyedihkan dan itu menyakitiku.'
Mela mengangkat gelas dan menyiramkan isinya pada Farhan dengan penuh emosi, uraian air mata belum juga berhenti mengalir. Biarlah perempuan itu melampiaskan seluruh emosinya sekarang, dengan tenang dia mengambil tissue dan melap wajahnya. Tatapan dan pikiran negatif orang-orang tak membuat Farhan terpancing. Setelah puas, Mela pergi dan dia lega telah mengatakan kebenarannya.
Merogoh saku celana, Farhan mengambil dompet lalu menyimpan dua lembar uang di meja. Belum juga berdiri, Tio segera memghampiri.
"Sore Pak Farhan!"
"Oh, Tio."
"Boleh saya duduk?"
Farhan tanpa sadar mengalihkan pandangan dan mendapati beberapa orang melirik penuh rasa ingin tahu. "Silahkan, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?"
Tio tertegun, Farhan sangat terus terang padahal dia baru saja duduk sesaat yang lalu. Sangat mirip dengan apa yang Avril katakan waktu itu.
"Sebelumnya maaf karena sempat menguping pembicaraan Anda tadi," Farhan tak berkomentar, dia memilih diam mendengarkan tanpa ekspresi. "Saya yakin, sebelum ini Anda sudah mengenal saya sebagai salah satu dari sampah masyarakat. Hanya ingin tahu alasan Anda mempekerjakan saya hingga kini."
Untuk sesaat Farhan menarik napas berat, ada raut bersalah dalam ekspresi yang dia tunjukkan. "Ini mungkin terdengar egois, alasannya hanya satu. Agar kamu menjauh dari Bunga. Meski sadar bahwa hal tersebut salah.
***
Sebagai awalan, aku baru bisa update pendek. Janji adalah janji, yg penting update. In syaa allah, aku update lanjutannya dlm waktu dekat.
Makasih untuk apresiasi yg udah kalian kasih, aku sangat menghargainya dan maaf untuk segala kekurangan yg ada.
Tinggalkan jejaknya, ya! Supaya semangat..
Dyahnur5
Jum'at, 30 Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang terluka
Любовные романыSetiap orang memiliki beban dan masalah di hidupnya. Begitupun aku, ini masalah dan hidupku.