~XXVII~

2.8K 100 10
                                        

"Begitukah! Kurasa itu baik untuknya."

Farhan meminimalisir rasa terkejutnya dengan ekspresi datar. Dia kira akhir yang terbaik memang dengan cara gadis itu pergi. Maka tak ada yang perlu dia takutkan lagi. Namun, di sudut hatinya yang lain ada perasaan tak rela.

"Kamu yakin?" Feri tentu tak mudah saja percaya pada ucapan Farhan yang terlalu datar seakan menutupi sesuatu.

"Itu pilihannya, aku tidak punya kepentingan untuk melarang. Dia si peminjam dan aku yang meminjamkan, hubungan diantara kita hanya sampai si peminjam mengembalikan uangnya padaku."

"Si peminjam!" Feri tak percaya, bahkan untuk mengucapkan nama Bunga secara langsung saja, Farhan seakan tak mampu. Apa yang salah dengan ekspresi dan pikirannya, mereka justru terlihat tidak sinkron. "Ini sama sekali tak lucu, tapi aku benar-benar ingin menertawakanmu saat ini. Terlihat menyedihkan!"

Farhan sendiri tak mengerti dengan apa yang tengah dia perbuat.

***

Tio, Avril, dan Bunga duduk bersama di ruang tengah. Di atas meja yang menjadi sekat diantara mereka, tergeletak amplop putih berisi uang yang dibutuhkan Bunga. "Aku hanya punya sebesar itu saja, semoga bermanfaat bagi kalian."

"Tentu saja. Kami akan menggunakannya dengan sebaik mungkin," ungkap Bunga tulus. "Ditambah uang yang Avril miliki, kurasa ini sudah cukup. Aku jadi merasa sangat bersalah karena merepotkanmu."

Tio berpikir Bunga terlalu sungkan padanya, padahal mereka sudah cukup lama berteman. Ya, melupakan kejadian buruk beberapa waktu lalu. "Terima kasih." ucap Bunga juga Avril bersamaan.

"Kira-kira, kapan kalian akan kembali?" Avril dan Bunga berpandangan, hingga keduanya menggeleng tak tahu.

"Kami tidak akan pergi terlalu jauh kok. Jangan berekspresi seakan kami berniat menjadi tenaga kerja wanita di Arab." canda Bunga.

Tio tersenyum simpul, dia mungkin terlalu berlebihan. Cukup beralasan, karena hanya merekalah teman yang Tio punya. Mereka yang memberi Tio harapan baru untuk tetap bertahan. Setelah alasannya berjuang justru hilang begitu saja.

***

Bunga menatap gedung apartemen dihadapannya sendu. Telah 10 menit berlalu semenjak dia tiba, tapi sekedar melangkah saja serasa ada bongkahan batu yang memberatkan. Dia masih mempertanyakan keputusan menemui Farhan, apa dia mesti memberitahukan kepergian ini atau tidak.

Namun, setelah memikirkannya lagi dan lagi. Bunga merasa, Farhan memiliki hak untuk tahu sedang dia wajib memberitahu karena masih ada sesuatu yang mengikat mereka. Utang. Ya, satu kata yang amat kompleks baginya.

Beruntung, Feri dengan senang hati memberitahu keberadaan Farhan setelah keluar dari rumah sakit. Beberapa kali dia sempat meminta Bunga agar membatalkan niatnya, dan dengan yakin Bunga jawab melalui gelengan. Kecewa. Itu ekspresi yang Feri tunjukkan saat itu.

Langkah Bunga terhenti di depan sebuah pintu, masih mencoba mengatur emosi terlebih dahulu sebelum menekan bel. Baru saja dia akan menekannya, Farhan membuka pintu. Dari penampilan yang terlihat, dia seperti ada urusan mendesak.

Untuk sesaat mereka hanya saling pandang, tanpa kata bahkan sekedar menggerakkan badan. "Sedang apa kamu disini?" tanya Farhan memecah keheningan.

"mmm...Kamu ada urusan?" Bunga merasa amat canggung, dia tidak bisa menahan Farhan hanya untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin menurutnya tak penting.

"Ya." Jawab Farhan pendek. Bunga menggumamkan kalimat kekesalan karena datang di saat yang tak tepat, apalagi tak ada lagi waktu baginya untuk memberitahu Farhan.

"Baiklah, karena aku tidak ingin mengganggu urusanmu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa besok aku akan..."

"Aku tahu." potong Farhan. Bunga agak terkejut saat Farhan malah memotong ucapannya.

"Jika begitu, aku tak perlu menjelaskan apapun lagi. Kamu bisa pergi sekarang sebelum terlambat." ungkap Bunga sambil melangkah mundur memberi Farhan jalan. "Ah, dan mengenai utang. Kamu tak perlu khawatir aku kabur. Nanti, setelah mendapatkan tempat tinggal kamu akan kuberitahu alamatnya. Tio yang akan jadi perantara diantara kita."

Farhan menatap Bunga lekat, melangkah dengan pasti agar mempersempit jarak diantara mereka. Bunga yang merasa salah sengaja melangkah mundur, tapi tangan Farhan menahan lengannya.

"Apa bisa, kamu berhenti membicarakan utang saat kita bertemu. Aku sangat muak mendengarnya." ungkap Farhan dingin.

"Itu karena memang kita terikat oleh u..." belum juga Bunga menyeselesaikan ucapannya, Farhan malah memeluknya erat. "Maaf. Tolong jangan pergi!"

Bunga bingung, perasaannya tiba-tiba menghangat. Tanpa sadar, dia membalas pelukan itu dan mulai meneteskan air mata. Sudah sangat lama dia tidak merasakan pelukan sehangat itu, entah mengapa semua jadi terasa berbeda, padahal bukan sekali dua kali mereka melakukan hal sama.

Masalah-masalah yang selama ini Bunga hadapi seketika berkelebatan dengan runtut, membuatnya menjadi lemah dan tak sanggup menahan air mata hingga mengalir begitu saja. "Kumohon, lupakan semua utang yang kamu pinjam dariku dan tetaplah tinggal."

Bunga mengakhiri pelukan diantara mereka. Dengan kasar dia mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya. "Apa bisa semudah itu?"

"Ya, semua akan mudah. Jika kamu mau melalui semua hal bersamaku. Memulai semua dari awal, dan menganggap semua hal buruk diantara kita tak ada. Aku sudah sangat lelah dengan semua ini. Berhenti lari dariku."

"Kamu bisa percaya pada orang-orang yang selalu mengkhianatimu. Kenapa kamu tak bisa mempercayaiku sekali saja, beri aku kesempatan dalam situasi yang lebih baik." untuk kesekian kali, Farhan kembali memohon.

"Tapi..."

XxxxxX

Aku update. Tolong tinggalkan jejak, dan berikan sedikit apresiasinya untuk cerita ini.

18/11/2015

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang