Hari itu, Avril dipanggil oleh manager restoran. Dia tak tahu tujuan lelaki berumur 40 tahun itu, yang jelas bukan pembagian gaji karena belum waktunya. Tak ingin membuat atasannya kesal, dia segera menuju ruangannya.
'Mana temanmu, beberapa hari ini dia tidak masuk?' Avril telah masuk dan dipersilahkan duduk.
'Sepertinya dia tidak dapat lagi bekerja pak, ada masalah pribadi yang perlu dia selesaikan. Mewakili dia, saya minta maaf.' Avril menundukkan kepala tanda penyesalan.
Manager restoran berdiri menghampiri Avril, lalu mengelus bahunya. Sontak dia terkejut dan menatap managernya yang tengah memandang Avril penuh minat, "Itu bukan masalah. Apa kamu tahu, selama ini aku tertarik sama kamu. Kalau bukan karena dia temanmu, mana mungkin aku bersedia menerimanya.'
Avril merasa sangat tak nyaman dengan tangan managernya. Sekalipun hanya sebuah rangkulan tapi hal tersebut bukanlah sikap yang baik mengingat beliau telah memiliki seorang istri dan anak. Baru kali ini dia melihat atasannya bersikap kurang ajar sepergi itu.
'Maaf pak,' Avril melepaskan rangkulannya, berdiri dan mulai menjaga jarak. 'Anda tidak pantas mengatakan itu, ingat istri dan anak anda di rumah.'
Manager itu tersenyum sinis, 'Kenapa! Apa yang salah! Kamu bisa menjadi simpananku. Atau, kamu ingin aku menceraikannya?' ucapannya begitu ringan, seakan lupa pada usia.
Avril mulai tersulut emosi mendengar penuturan tak beradab pria itu. Reflek dia menamparnya keras, mungkin saja akan terdengar hingga keluar ruangan tapi Avril tak perduli. Pria yang tak tahu diri tak pantas untuk dihormati, lupa bahwa dia adalah atasannya.
'Gadis kurang ajar!' pria itu mendorong Avril kasar hingga tembok dengan emosi. Dia memaksa untuk mencium Avril, apalagi melihat gadis itu berniat berteriak. Tanpa dapat dicegah kejadian buruk terjadi, Avril tak mampu untuk melawan selain menangis.
Hingga tak lama berselang, pintu dibuka oleh seorang pelayan lelaki. Mereka terkejut dan si manager malah menuduh Avril yang telah menggodanya, walaupun pelayan lelaki itu tahu pasti bahwa pria itulah yang telah memaksakan kehendak. Karena airmata Avril menunjukkan segalanya, tentu pemaksaanlah jawaban paling tepat.
Avril yang terlanjur malu, dan terluka hanya dapat berlari pergi bersama isak tangis yang tak kunjung berhenti sampai esok menjelang di kontrakannya sendirian.
***
Setiap kali satu masalah hampir terselesaikan, maka masalah baru muncul begitu saja. Bunga tidak mengerti mengapa hal tersebut seringkali terjadi. Avril telah menceritakan mengenai masalahnya di restoran, pelecehan yang dilakukan oleh manager restoran membuat dia tak mau lagi bekerja tapi mencari pekerjaan lain tak semudah membalikkan telapak tangan. Uang yang dia miliki semakin menipis, karena itulah Avril merasa tertekan ditambah lagi dengan beban masalah Bunga juga Tio.
"Kenapa tidak sejak awal kamu mengatakannya padaku, kita harus menuntut dan meminta pertanggungjawaban." seru Bunga penuh emosi.
"Apanya yang perlu dituntut dan dipertanggungjawabkan. Tak ada saksi, tak ada yang bisa membelaku, kemudian aku akan jadi semakin malu." ungkap Avril disela isak tangisnya.
Ya, Bunga tersenyum kecut mengingat bahwa saat ini uanglah yang berkuasa. Bukan lagi kebenaran apalagi hati nurani. Dia justru seperti lupa akan hal itu. Tanpa mampu dicegah dia ikut menangis bersama Avril dan memeluknya erat.
"Vril, apa kamu ingin memulai kehidupan baru?" tanya Bunga setelah keduanya melepas pelukan mereka.
Avril menatap ekspresi Bunga yang begitu serius dan dingin. Untuk pertama kali, dia melihat sosok orang lain. Seakan dia bukan temannya yang rapuh. "Jika bisa, aku sangat ingin hal itu terjadi."
"Kalau begitu, kita pindah saja ke luar kota. Melupakan kenangan pahit disini dan memulai hidup baru di tempat yang juga baru, hubungan baru juga pribadi baru." usulnya tanpa pikir panjang.
"Maksudmu, kamu ingin kita pergi jauh! Kita jelas tak memiliki uang yang cukup untuk itu." ucapan itu membuat semangat Bunga sedikit memudar, tapi tak cukup untuk merubah keinginannya. "Aku akan mengusahakannya, kamu mau kan?"
Avril menimbang-nimbang lagi, ibunya sendiri telah tinggal di desa bersama sang nenek. Dia butuh penghasilan untuk mengiriminya uang, agar tak menjadi beban. Keputusan pergi dari kota itu memanglah pilihan terbaik, mencari kesempatan baru mungkin bisa ikut merubah nasib.
"Baiklah."
***
"Bagaimana? Apa yang terjadi pada Avril?" tanya Tio antusias saat Bunga membuka pintu lalu duduk dihadapannya. Terasa sepi, tak ada satu pun tetangga yang lewat. Mungkin karena jam sudah menunjuk angka delapan dan malam semakin larut.
"Avril berhenti bekerja sejak beberapa hari belakangan. Ada masalah dengan manager restoran." ungkap Bunga datar. Dia tak berniat membicarakan secara rinci kejadiannya, karena Avril belum tentu mengizinkan.
Hening.
"Masalah seperti apa itu, bisa jelaskan lebih jelas?" Tio tentu ingin tahu. Jika bisa, dia ingin ikut andil dalam membantu.
"Tio, apa kamu bisa meminjamkan kami uang?" daripada menjawab, pertanyaanlah yang terlontar, membuat Tio cukup terkejut. Ucapannya terlalu diluar dugaan dan mendadak, "Untuk apa?"
"Kami sudah sangat lelah, kami ingin pindah ke luar kota memulai kehidupan baru. Terlalu banyak kenangan buruk yang kami miliki disini." ungkap Bunga setengah menerawang.
"Aku tidak tahu. Seberapa besar yang kamu butuhkan? Sejauh mana kalian akan pergi?" cecar Tio tanpa sadar.
"Sejauh mungkin. Kalau perlu keluar pulau, tapi akan sulit bagi Avril untuk bertemu ibunya. Jadi, tentu masih mudah dijangkau olehmu." senyum hambar dia tunjukkan pada Tio yang justru tak berselera membalas, apalagi setelah mendengar keputusan mendadak mereka. Dalam hati dia sangat ingin melarang, tapi pilihan mereka bukanlah jalan yang terlalu buruk.
"Ya itu terserah kalian saja. Tapi, jangan putuskan hubungan kalian denganku. Mengenai uang, kurasa aku memilikinya. Jangan khawatir!" ungkap Tio mencoba melapangkan hati.
***
Farhan telah keluar dari rumah sakit, dan kembali tinggal di apartemen. Hatinya terasa semakin kosong saat setiap sisi rumah itu seakan menujukkan kenangan manis saat Bunga masih tinggal. Pembicaraan juga aktivitas mereka saat bersama seperti sebuah mimpi setelah gadis itu lari pergi dari sana dan memilih jalannya sendiri.
Kali ini, dia tak ingin lagi bersikap egois. Cukup dengan melihat Bunga tersenyum dan merasa lebih bebas itu akan melegakan batinnya. Terlebih, ibu dan saudara tirinya telah mendekam di penjara.
Bel berbunyi, lamunan Farhan pun seketika beterbangan. Dengan langkah lambat dia menghampiri pintu dan melihat tamunya dari layar datar didekat pintu. Feri berdiri diluar sana dengan napas terengah seakan baru dikejar hantu.
Setelah pintu terbuka, Feri masuk menuju lemari pendingin dan mengambil air mineral. "Ada apa denganmu?" tanya Farhan setelah kembali menutup pintu. Dia duduk diatas sofa, lalu menyalakan televisi.
"Aku mendengar berita mengejutkan." Feri ikut duduk di pegangan kursi. Farhan lebih fokus memilah-milah acara yang menarik.
"Bunga sepertinya akan pergi jauh." seketika tubuh Farhan menegang, tanpa sadar dia berhenti menekan tombol pindah pada remote yang tengah dia pegang. "Apa yang akan kamu lakukan?"
____________________
Tak perlu basa-basi lagi, aku cuma mau mengucapkan maaf karena telat update. Akhir-akhir ini aku terlalu sering mengingkari janji. Rasanya gak enak banget X(
Tolong maklumi typo-nya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang terluka
RomanceSetiap orang memiliki beban dan masalah di hidupnya. Begitupun aku, ini masalah dan hidupku.