~VI~

5.7K 227 3
                                    

"Ada apa denganmu, Ril? Ingat kamu harus fokus!" nasehat managernya.

Avril melirik managernya sekilas, dia tidak perduli dengan ucapan managernya itu. Baginya, apa pun harus dilakukan sesuai keinginannya. Bukan oranglain, bahkan orangtua apalagi managernya.

Setelah fashion show itu, sambil duduk menghadap ke meja rias, Avril memainkan lipstick di meja. Dia masih memikirkan mengenai kebenaran ucapan Hani tadi siang. Dia benar-benar penasaran.

***

Sebelum klub di tutup, Adi menyuruh Bunga datang menemuinya. Mengetahui perintah itu dari bos, Bunga segera menemui bosnya.

"Ada apa, pak?" tanya Bunga setelah diperbolehkan duduk.

"Apa kamu mengenal Farhan?" tanya Adi ingin tahu.

Bunga terdiam, dia mencoba mengingat nama itu. Sekilas, dia ingat. Tapi, kapan tepatnya dia lupa.

"Kamu tidak kenal?" tanyanya lagi.

Bunga masih diam, hingga dia ingat orang yang pernah menolongnya membawa Tio ke rumah sakit.

"Ya, kemarin ada orang yang menolongku. Namanya sama seperti yang bapak sebutkan." jawabnya jujur.

"Apa ada hubungan spesial diantara kalian?"

"Spesial. Maksud bapak apa?" Bunga jelas tidak mengerti, karena memang tak ada hubungan diantara mereka.

Adi mengerti, mereka hanya sebatas kenal. Tidak lebih dari itu. Tapi yang membuat Adi ingin tahu adalah kenapa Farhan tertarik pada pelayan.

Adi mengenal Bunga, dia tidak pernah mau diajak pergi oleh satu pun pengunjung klub. Mungkin itu sebabnya Farhan menawarinya kesepakatan.

"Pak!" panggil Bunga.

Adi tersadar, dia lupa masih ada seseorang dihadapannya.

"Aku ingin menawarimu pekerjaan. Kamu mau?" tawar Adi tiba-tiba.

"Pekerjaan apa?" tanya Bunga antusias.

"Melayani seseorang."

Mendengar kalimat itu, Bunga mulai merasa tidak nyaman. Dia yakin, pekerjaan ini lebih buruk dibandingkan menjadi pelayan di klub malam.

"Sepertinya tidak, pak. Terima kasih atas tawarannya." jawab Bunga penuh keyakinan.

Adi sudah dapat menebak jawaban Bunga, dan dia harus mencari cara lain agar bisa membuat Bunga mau melakukan itu.

"Apa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, pak?" tanya Bunga.

Adi mengangguk, sebelum itu dia mengeluarkan sebuah amplop coklat. Kemudian, memberikan amplop itu pada Bunga.

"Gajimu." ujarnya.

Bunga berterimakasih lalu permisi keluar ruangan. Bunga sudah berencana menggunakan uang itu untuk membayar kuliah.

***

Bunga berjalan pulang sendirian, dengan mata yang selalu waspada. Dia tidak mau kejadian tidak diinginkan terjadi padanya.

Karena terlalu waspada dengan orang sekitar, dia bahkan tidak sadar ada sebuah mobil yang terus mengikuti dari belakang.

Sambil berjalan, Bunga menatap tempatnya dulu pernah berbicara untuk pertama kali dengan Tio, dia berharap dapat kembali berbincang dengannya. Bunga justru tidak melanjutkan perjalanan pulang dan duduk di tempat itu, menatap sekitar. Berharap ada Tio.

Kepala Bunga tertunduk, dia sangat kecewa. Orang yang dia harapkan menghampiri dan bisa menghiburnya tidak ada.

"Aku ingin bicara dengannya." gumam Bunga.

Saat itu, Sebuah tangan menyentuh pundaknya, dan Bunga menoleh. "Ti..o."

Tio tidak berkata apa pun selain duduk disampingnya. Bunga benar-benar sangat bahagia, wajahnya cerah seketika.

"Kenapa kamu pergi dari rumah sakit?" tanya Bunga.

"Aku merasa sudah lebih baik. Lebih lama di rumah sakit hanya membuang uang." jawab Tio santai.

"Aku pikir, kamu pergi karena tidak suka dengan kata-kataku." pikir Bunga.

"Aku memang tidak suka dengan pertanyaanmu. Tapi, lebih dari itu. Aku sangat berterimakasih." ujar Tio tulus.

Bunga menatap Tio sejak kedatangannya, dan Tio pun membalas tatapan Bunga setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Pipi Bunga tiba-tiba memanas. Merasakan itu, Bunga segera mengalihkan pandangan dan jadi salah tingkah.

Disampingnya, Tio hanya bisa tersenyum. Tapi, senyuman itu tidak bertahan lama. Raut wajah Tio berubah menjadi datar.

Dibalik itu, seseorang di dalam mobil terus memperhatikan apa yang mereka lakukan.

"Lebih baik kamu segera pulang. Bukannya kamu harus kuliah!" ujarnya mengingatkan.

Bunga mengerti, "Aku harap besok masih bisa bertemu lagi." dia lalu berjalan pergi.

Dia menatap kepergian Bunga dengan perasaan bersalah sambil menggenggam amplop coklat di tangannya.

'Maaf, aku sangat membutuhkan uang ini. Aku berjanji akan menggantinya.' ujarnya dalam hati.

Setelah pertemuan dengan Bunga, Tio pergi menemui preman-preman yang kemarin memukulinya. Dia memberikan uang Bunga yang telah dia curi.

"Sekarang, hutangku lunas." ujar Tio setelah melemparkan amplop ke meja.

Salah satu preman membuka amplop dan menghitung uang yang diberikan Tio.

"Oke. Hutangmu lunas, tapi lain kali jangan minjem kalo ngerasa gak punya duit." pesan preman itu sebelum pergi.

***

Bunga pulang, dengan penuh sukacita. Dia membuka tasnya setelah sampai di rumah, untuk menghitung gajinya. Tapi, Bunga tidak menemukan amplopnya. Isi tasnya bahkan sudah dia keluarkan semua, tapi amplop yang dia cari tidak dia temukan.

Bunga sangat bingung, kesal sekaligus sedih. Uang yang dia cari dengan susah payah, dengan keringat dan air mata. Justru hilang entah kemana. Bunga akhirnya menangis hingga pagi karena dia tidak bisa merealisasikan niat dengan uang itu.

Namun, meski masih sedih dan kecewa. Bunga tetap berangkat untuk kuliah. Dia tidak boleh menyerah hanya karena uangnya hilang.

Sampai di kelas Avril menyapa Bunga, dan Bunga membalas sapaannya lalu duduk.

"Matamu agak aneh, baru menangis?" tanya Avril.

Bunga hanya diam, dia malu mengakuinya.

"Aku sebenarnya ingin menanyakan sesuatu padamu. Kenapa mahasiswa di kelas ini seperti menjauhimu?"

Bunga tersenyum. Dia tahu, seiring berjalannya waktu, Avril pasti akan tahu seperti apa dirinya.

"Menurutmu, apa yang menyebabkan mereka menjauhiku?" Bunga justru membalik pertanyaan Avril.

"Menurut salah satu teman, kamu bekerja di klub malam." asumsi Avril.

Bunga menarik napas panjang, "Itu memang benar."

Avril kaget sekaligus bingung, kenapa Bunga justru mengakuinya tanpa sedikit pun sangkalan.

"Kenapa kamu mengakuinya?" tanyanya.

"Untuk apa berbohong. Kalau akhirnya akan ketahuan juga. Berbohong hanya akan membuatku menderita karena harus menutupi kebohongan yang lain." jawab Bunga seadanya.

Avril tidak bertanya lagi, dia sangat kecewa Bunga mengakuinya. Dia berpikir, Bunga bisa menutupi semua itu dan Avril akan berpura-pura tidak tahu.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang