Bunga selesai dengan pekerjaannya saat pukul setengah tiga. Wajahnya muram, setiap hari harus pulang pagi, belum lagi kuliah, dan itu tentu saja membuatnya mengantuk saat menjalani proses belajar mengajar.
Berjalan di pagi buta sendirian sambil merasakan dinginnya udara malam menjadi sebuah kebiasaan dan itu membuat Bunga mulai mengenal dunia malam, dunia yang sering orang bilang sebagai dunia yang penuh kegelapan dan keras.
Bunga terduduk lemas di pinggir jalan sambil menatap jalanan yang tidak terlalu ramai. Ingatannya berputar di masa lalu, dia dulu tidak seperti itu. Dia dulu masih bisa tersenyum tapi entah mengapa semuanya tiba-tiba berubah. Kenangan itu yang selalu membuatnya terluka dan meneteskan air mata sepanjang malam.
Disaat dia tengah duduk dengan air mata yang terus meluncur dari balik matanya, seseorang menghampirinya.
"Menangis lagi?" ujarnya.
Orang itu duduk disamping Bunga yang segera menghapus air matanya, tapi sekalipun di tutupi, mata Bunga tidak bisa berbohong.
"Setiap kamu melewati tempat ini, kamu selalu duduk disini dan menyempatkan diri untuk menangis. Apa gunanya?" komentarnya sarkastik.
Bunga memandang orang disampingnyanya sesaat. Dia hanya bisa menunduk setelahnya. Bunga mengenalnya sejak dia mulai bekerja di klub malam. Tapi itu pertama kalinya lelaki itu menghampiri lalu mengajak dia bicara. Perkenalan mereka diawali sebuah insiden menegangkan saat dirinya di kejar-kejar oleh pria mabuk. Dia menolong Bunga yang ketakutan.
Dia adalah laki-laki yang bisa disebut preman, namanya Tio. Penampilannya kumal dengan jeans robek-robek dan dua buah anting yang menghiasi sebelah telinganya. Rambutnya yang tidak terlalu panjang acak-acakan seperti seminggu tidak keramas. Tapi, dia preman berhati baik. Umurnya masih muda hanya beberapa tahun diatas Bunga.
"Meratapi nasib tak akan pernah membuatmu bahagia. Jalani saja. Apa yang terjadi nanti, biar kamu pikirkan nanti." nasehatnya.
Bunga tidak bisa mengerti, baginya mengatakan hal seperti itu sangatlah mudah dibanding menjalaninya.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa tidak ada yang bisa kamu kerjakan selain menjadi seorang preman jalanan?" tanya Bunga datar tatapannya lurus menembus setiap kendaraan yang lewat.
Tio tidak merasa itu sebagai pertanyaan, melainkan sindiran. Hanya dia mengerti, bagaimana perasaan Bunga saat itu.
"Karena ini pilihanku, ini yang aku inginkan. Aku merasa bebas seperti ini. Bagiku yang terpenting adalah menjalani semuanya seadanya, apa pun resiko yang kuterima itu menjadi urusan nanti." jawabnya santai.
Bunga tidak mengerti, jalan pikirannya dengan laki-laki itu berbeda. Dia memandang hidup lebih pada satu keadaan yang baginya itu menyenangkan dan Bunga memandang setiap sisi kemungkinan yang bisa menjadi sebuah resiko di hidupnya. Pemikirannya sederhana dan bebas sedangkan Bunga tidak.
"Jadi kamu memandang hidup adalah sebuah kebebasan memilih?" ujar Bunga menyimpulkan.
Dia tidak menanggapi kesimpulan Bunga, selain berdiri dari duduknya.
"Cepat pulang!" ujarnya sebelum kemudian berjalan pergi.
Bunga berbalik memandangi Tio yang terus berjalan menjauh. Bunga tahu apa yang Tio katakan benar, tapi dia tidak bisa bersikap seperti dirinya.
Akhirnya Bunga pun pulang dan memulai aktifitas paginya, yaitu kuliah. Tempatnya lumayan jauh dari rumahnya, itu sebabnya dia tidak boleh terlambat.
***
Setibanya di kampus, Bunga duduk di mejanya seperti biasa. Hingga seorang gadis masuk membawa banyak mahasiswa ke kelas, tepatnya mereka yang mengikuti gadis itu.
Dia Avril, salah satu idola dan incaran para laki-laki di universitasnya karena kecantikan juga orang tuanya yang kaya dan cukup berpengaruh, dengan title pejabat negara. Tidak hanya ayahnya yang kaya tapi dia juga seorang model yang bisa dibilang memiliki tingkat kepopuleran yang tidak diragukan. Dengan semua yang menempel di dirinya, orang akan berpendapat gadis itu sangat beruntung. Namun tidak, bagi Avril. Dia merasa hidupnya hampa, padahal Ibu dan ayahnya sangat memperhatikannya. Hanya dua hal yang tidak bisa dia miliki, yaitu Sahabat dan Cinta. Itu terdengar tidak wajar, tapi memang itu yang tak dia miliki. Seorang sahabat dan cinta tulus, bukan karena dia cantik, kaya dan populer.
Avril duduk disamping meja Bunga. Dia menyampirkan tasnya di kursi dan menyimpan buku-buku yang tadi dipegangnya di meja.
Para mahasiswa itu pun pergi setelah Avril mengusir mereka dengan halus. Kelas cukup sepi pagi itu, mahasiswi lain belum ada yang masuk. Mahasiswi lain mungkin sedang berjalan-jalan menyusuri setiap sisi kampus dengan obrolannya.
"Ah, sial!" gerutu Avril, saat melihat keadaan kelas.
Bunga yang ada disampingnya hanya duduk diam pura-pura tidak mendengar apapun.
"Tau gini, mendingan kesiangan!" ujarnya lagi.
Avril yang menggerutu akhirnya baru menyadari keberadaan Bunga disampingnya. Dia menggeser badannya ke arah Bunga.
"Sejak kapan kamu disini?" tanya Avril menyelidik.
"Sejak tadi." jawab Bunga singkat.
"Apa yang kamu dengar?" tanyanya lagi.
"Semuanya." jawab Bunga.
"Kalau begitu, tutup mulutmu. Jangan mengatakan apa pun mengenai ucapanku tadi." perintahnya.
Bunga hanya mengangguk mengiyakan. Dia tidak banyak bicara, dia hanya fokus pada jam di dinding kelas.
"Sejak kapan kamu di kelas ini, aku tidak pernah melihatmu?" tanya Avril yang tiba-tiba ingin tahu.
"Sejak masuk, aku sudah berada disini dan duduk berdampingan meja denganmu. Kita memilih jurusan yang sama, kan!" jawab Bunga jujur.
"Kamu tidak pernah mendekatiku, iya kan!" tanya Avril yakin.
Bunga tidak menjawab, dia memang tidak pernah mencoba mendekati Avril karena Avril memiliki selera tinggi dalam memilih teman. Apalagi dengan statusnya yang tidak begitu baik di mata teman-teman yang sekelas dengannya selama ini.
"Kenapa tidak menjawab?" tanyanya lagi.
Saat itulah mahasiswa dan mahasiswi lain masuk. Membuat perhatian Avril akhirnya teralihkan.
***
"Ingat, aku butuh laporannya besok. Pilih satu temanmu untuk menjadi partner!" ujar dosen menjelaskan.
Hari yang melelahkan, Bunga akhirnya dapat pulang dan memulai lagi kebiasaannya. Kebiasaan yang tidak diinginkannya dan tambahan tugas kelompok yang selalu dia benci.
"Ril, mau satu kelompok denganku?" tawar Hani, mahasiswi terpintar dikelas.
Mendengar itu, Bunga menoleh dan ingin tahu jawaban Avril.
"Ah, tidak usah. Aku sudah punya partner sendiri. Aku sudah dengannya." tunjuknya pada Bunga.
Bunga kebingungan, kapan dia pernah bicara padanya. Kenapa dia mengakui dirinya sebagai teman mengerjakan tugasnya. Ini tidak masuk akal, itu yang bergelayut di kepalanya. Karena itu, Hani langsung memandang Bunga penuh cibiran.
"Ril, apa kamu tahu siapa dia?" cibir Hani.
"Aku tahu kok." jawab Avril santai sambil menarik Bunga keluar kelas.
Di luar,
Avril mengajak Bunga untuk menjadi partnernya secara resmi. Dia ingin mengerjakan tugasnya hari itu juga.
"Kamu tidak tahu siapa aku, kamu tidak akan menyesal?" tanya Bunga penuh keyakinan.
"Memangnya kamu siapa?" tanya Avril ingin tahu.
Bunga terdiam, bagaimana bisa dia menjelaskan semua hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang terluka
RomansaSetiap orang memiliki beban dan masalah di hidupnya. Begitupun aku, ini masalah dan hidupku.