~VII~

5.4K 186 5
                                    

Farhan menatap jalanan melalui jendela mobilnya. Supirnya hanya bisa mengawasi lewat kaca.

Farhan masih ingat percakapannya pagi itu.

'Malam tadi, lelaki yang dia kenal telah mencuri uang miliknya. Aku tidak tahu pasti siapa lelaki itu. Tapi yang jelas, dia mengenalnya. Dari sikapnya, mungkin saja dia menyukai lelaki itu.'

Farhan sangat kesal, dia tidak terima dengan sikap Bunga. Betapa bodohnya dia, hingga uang miliknya bisa diambil oleh oranglain.

Memikirkan itu membuat Farhan ingat sesuatu, dia pun segera menelpon seseorang.

***

Bunga berjalan sendirian, dia bingung apa yang harus dia lakukan. Uangnya hilang, lalu dipanggil untuk segera menyelesaikan administrasi, belum lagi keperluannya sehari-hari. Kepalanya makin pusing memikirkan itu.

Sambil berjalan, Bunga mencoba mengingat tempat terakhir dia menyimpan uang. Dan jelas, dia sangat ingat memasukkannya ke dalam tas. Lalu dia coba mengingat tempat yang kemarin dia lewati saat pulang hingga dia sadar dengan satu tempat. Mungkin, dia menjatuhkan uangnya disana.

Bunga dengan segera menuju tempat pertemuannya dengan Tio. Tapi, dicari dimana pun tidak bisa dia temukan. Jika pun benar, amplop miliknya jatuh. Dapat dipastikan uangnya sudah diambil oranglain. Akhirnya Bunga hanya bisa terduduk pasrah. Air matanya tidak bisa ditahan lagi.

Disaat itu, seorang lelaki tidak dikenal menghampirinya. "Kamu kehilangan sesuatu?" tanyanya.

Bunga terkejut, lelaki itu bisa tahu apa yang sedang dia alami. Dia pun segera berdiri dari duduknya.

"Apa kamu menemukan sesuatu disini?" tanya Bunga bersemangat.

Lelaki itu menggeleng, "Tapi, aku tahu benda apa yang sedang kamu tangisi." ujarnya santai.

"Maksudnya apa?"

lelaki itu tersenyum melihat Bunga yang semakin tertarik dengan perkataannya. "Kamu mencari amplop berisi uang, kan?"

"Kenapa kamu bisa tahu?"

"Mungkin orang yang kamu kenal mengambilnya darimu, tepat disini." ujarnya dengan sedikit penekanan diakhir kalimat.

'Orang yang aku kenal mengambilnya,' gumam Bunga.

"Siapa yang kamu maksud, kamu ingin bercanda denganku!" seru Bunga mulai kesal dan tidak percaya.

"Aku pikir kamu akan sadar sendiri, tidak ada orang yang benar-benar baik di dunia ini. Selain, orang yang berpura-pura baik. Jangan lihat dari satu sisi, tapi lihat dari banyak sisi. Maka kamu akan lihat sesuatu yang tidak akan kamu percaya." ujar lelaki itu lalu berjalan pergi, tanpa memperdulikan panggilan dari Bunga.

Lama Bunga mencoba mencerna arti pembicaraannya dengan lelaki itu, dia mulai berpikir kalau uangnya bisa saja dicuri dan satu-satunya orang yang bertemu Bunga di tempat ini hanya Tio.

Bunga tidak bisa mempercayai asumsinya. Dia tidak mungkin mencurigai orang yang selama ini selalu menolongnya. Itu tidak mungkin. Bunga dengan segera menepis pikiran negatif yang berputar di kepalanya, dan segera pulang.

***

Tio duduk di depan kontrakan kecilnya. Merenung dengan apa yang telah dia lakukan, rasa sesal menyelimuti terus pikirannya. Dia telah melakukan hal kotor.

Dulu, Tio telah berjanji pada dirinya sendiri. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan pernah melakukan hal yang tidak seharusnya. Tapi akhirnya, dia telah mengingkari janjinya sendiri. Setidaknya, dia harus mengakui perbuatannya itu dan segera mengembalikan uang Bunga. Tapi, dimana dia bisa mendapatkan uang.

Saat itu teman Tio menghampirinya, "Ngapain disini?"

Tio tidak menanggapi pertanyaan temannya itu. Dia tidak berminat mengobrol disaat saat seperti itu.

"Eh, tau gak! Tadi ada yang gebukin si Anto." ceritanya.

"Hei, Heri! Gak ada kerjaan lain apa kamu selain bergosip. Seperti ibu-ibu saja." seru Tio kesal.

"Eh, ini bukan gosip. Ini bener, si Anto digebukin sama geng Jumadi. Kata warga yang liat sih, si Jumadi bilang kalau dia udah ditipu sama Anto." ujarnya meyakinkan.

"Ya, sudahlah! Buat apa ngurusin mereka." Tio menanggapinya dengan sikap acuh.

"Eh, kusut banget tuh muka. Kenapa?" Melihat wajah Tio, Heri sudah tahu temannya itu sedang ada masalah.

"Kamu ada kerjaan gak? Aku butuh kerjaan." ujarnya.

"Jadi kuli panggul atau jadi tukang palak?"

"Aku butuh kerjaan yang duitnya agak gede. Lagian tukang palak bukan kerjaan."

"Kerja gimana lagi. Kamu mau, jadi simpenan tante-tante kesepian? Kamu kan lumayan ganteng."

"Ish, yang bener aja kalo ngasih saran."

"Nyari duit itu susah, pilihan apalagi? Jadi tukang pukul, jadi pengedar narkoba. Duitnya emang lumayan, tapi resikonya berat." nasihatnya.

Tio sadar, ucapan Heri memang benar. Sulit untuknya mencari pekerjaan, apalagi dengan keadaannya yang sekarang. Tio seakan menyesali nasibnya yang begitu tidak beruntung. Sempat terpikir dibenaknya untuk kembali menemui orangtua yang telah dia tinggalkan, tapi dia segera menepis semua pikiran itu. Baginya, semua itu hanya masa lalu dan orangtuanya sudah tidak ada.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang