~XXII~

2.5K 83 0
                                    

Farhan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat, luka tusuk yang diterimanya cukup parah sehingga dia harus menerima perawatan intensif di rumah sakit. Feri dan Bunga hanya bisa duduk menunggu penanganan dokter selesai, sedangkan Andi datang beberapa menit kemudian setelah mendapat kabar dari Feri.

"Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa Farhan bisa mengalami hal seperti ini?" tanya Andi penuh emosi pada Feri. Feri tak mampu mengatakan apapun, dia sendiri tak tahu. Sepintas dia melirik Bunga, Andi juga tidak melewatkan hal itu.

Bunga yang ditanyai saja tak mampu menjawab selain tangisan. Tangisan yang Feri kira tulus dari hati Bunga, mungkin dia telah menyadari kesalahan yang telah dia perbuat atau karena rasa bersalah. Feri tak bisa membaca apa yang ditampilkan disana.

Andi mendekati Bunga yang tengah menunggu dengan cucuran air mata. "Ada apa dengan Farhan, kenapa dia bisa mengalami hal seperti ini?" Bunga mendongak mencoba memandang Andi yang berdiri didepannya. "Ini semua karenamu, kan!" tuduh Andi.

"Aku tidak tahu," jawab Bunga ragu. Andi tersenyum sinis, "Ck, jadi hanya ini jawabanmu?"

Bunga mengerutkan kening, tidak mengerti dengan maksud ucapan Andi. "Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan padaku?"

"Farhan mengorbankan banyak hal untukmu, apa lagi yang kamu inginkan darinya?" seru Andi penuh emosi. Dia tentu sangat terpukul, terlebih Farhan sudah seperti adik kandungnya.

Bunga mengakui kesalahan yang telah dia perbuat, karena tidak bisa memahami maksud Farhan. Dia malah fokus pada diri sendiri tanpa memikirkan orang yang memperhatikannya. Dengan penuh penyesalan Bunga menunduk sambil menangis terisak, Aku akan menebusnya, aku janji, batin Bunga.

Feri segera menghampiri Andi mencoba menjauhkan mereka, apalagi sebagian orang yang ada disana mulai tak nyaman karena mereka telah membuat keributan. "Kita belum tahu apa yang terjadi, ini pasti ulah wanita licik itu." bisik Feri.

Feri sempat melirik Bunga, tapi dia tidak bisa menghampiri ataupun menenangkan gadis itu.

***

Bunga berada di toilet, dengan tatapan nanar dia memandang kedua tangannya yang bergetar. Melihatnya hanya mengingatkan dia pada darah yang sempat berlumuran di sana. Semua yang telah Farhan lakukan untuknya tiba-tiba beterbangan seakan menuduh bahwa ini semua salahnya, jelas saja Bunga menjadi semakin merasa bersalah.

Dulu dia tidak perduli, tapi setelah mengalami hal buruk ini, barulah kesadarannya muncul kalau Farhan ternyata sangat baik. Bahkan mungkin terlalu baik. Apalagi mengingat pertemuan pertama mereka. Bunga merasa sangat marah pada dirinya sendiri, amat sangat marah.

Ucapan Farhan sebelum dia pingsan begitu menakutkan baginya, seperti kata-kata terakhir sebelum kematian menjemput. Bunga bertanya-tanya penyebab luka di tubuh Farhan tapi dia lebih khawatir akan kesembuhannya.

Setelah hampir setengah jam berdiam diri di dalam toilet, Bunga memutuskan keluar juga. Tepat di samping pintu, dia mendapati Feri yang tengah menyandarkan diri di dinding.

"Sedang apa kamu disini?" tanya Bunga bingung.

"Jangan terlalu dipikirkan, ini bukan sepenuhnya kesalahanmu. Farhan memang memiliki banyak hal yang tak kamu tahu." ungkap Feri tanpa merubah posisinya. Dia sendiri tak berniat menjawab pertanyaan Bunga.

Bunga tidak begitu mengerti, tapi dia mencoba mencernanya. "Dia pantas marah, aku mungkin mengambil bagian dari kejadian yang menimpa Farhan. Sebelum dua pergi, kami sempat bertengkar dan saat dia kembali..." Bunga tak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, segera saja dia memalingkan muka.

"Farhan tak pernah mengatakan apa pun padamu karena dia ingin kamu yang bertanya. Dia tidak mau membebanimu dengan masalahnya, yang terpenting adalah kamu hidup dengan baik walaupun aku tahu kamu tak merasa nyaman sama sekali," Feri menghadap ke arah Bunga, lalu menggenggam kedua bahunya.

"Aku tidak tahu alasannya mengejarmu, tapi cobalah untuk mengerti dia, sekalipun sedikit. Sekarang, temuilah dia di ruangannya. Mungkin dia sedang menunggumu untuk menjenguknya."

Bunga terpaku, setengah tak percaya. Dia senang sekaligus ingin menangis di waktu yang bersamaan. Segera saja dia berlari menuju ke ruang rawat Farhan. Feri yang ditinggalkan hanya dapat menatap punggung Bunga yang semakin menjauh.

Tak lama berselang, Andi menepuk pundaknya. "Apa yang kamu lakukan disini? Ada yang harus kita bicarakan."

"Mungkin aku sedang belajar mengintip." jawab Feri datar tanpa ekspresi. Seorang wanita yang baru keluar dari toilet langsung menatap mereka penuh kecurigaan, Andi yakin wanita itu mendengar ucapan Feri.

"Apa yang ingin kamu katakan?" bisik Andi jengkel, dengan keras di meninju pipi Feri cukup keras. "Apa maksudmu, itu sakit!"

"Bersikaplah lebih sopan pada orang yang lebih tua." Feri bosan mendengar nasehat Andi yang sama setiap waktu. Selalu saja mengatakan itu, aku tidak akan merubah kebiasaanku. Percuma saja menceramahiku.

Andi menarik Feri menjauh dari toilet, dia merasa sangat tidak nyaman berada disana. Mereka pun memilih berbicara di halaman rumah sakit.

"Seperti yang sudah kuperkirakan. Ini memang ulah ibu tiri Farhan, ternyata dia sudah berani bermain keras. Aku pasti sudah membalasnya lebih parah, jika saja Farhan tidak melarangku. Dia lebih memilih melaporkan kejadian ini pada polisi."

"Kupikir mereka terlalu gegabah, atau mereka punya alasan lain. Tanpa bukti dan saksi, mereka bisa dengan mudah keluar dari dalam penjara. Apalagi jika sudah menyangkut dengan uang, bebas dari penjara pun bukanlah hal yang sulit."

Andi langsung menganggukkan kepala menyetujui pendapat Feri yang ada benarnya. "Bunga tidak bersalah, kamu melihatnya sendiri kan!"

"Ya, kuakui itu benar."

====

Aku dah update, setidaknya aku perlu menepati janjiku. Ya, walopun agak meragukan kalau cerita ini bakal selesai tepat sebelum akhir Mei. Kalo ada typo aku minta maaf, tapi kalo ada yang mau kasih kririk pun aku akan selalu terbuka menerimanya :)

Tinggalkan jejak ya !!

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang