~XVI~

3.2K 114 8
                                    

Malam ini, Bunga tidak pergi ke klub. Dia lebih memilih pergi ke luar, tentu saja tanpa sepengetahuan Feri apalagi Farhan. Ini kali pertama Bunga melakukan itu. Dia sudah tak perduli lagi dengan mereka.

Bunga lebih memilih keluar dan berjalan sendirian di pinggir jalan, tak perduli akan wajahnya yang memucat dan udara yang mulai menusuk kulitnya. Karena memang, dia hanya memakai pakaian berbahan tipis tanpa menggunakan jaket.

Sepanjang jalan, Bunga hanya menatap kosong. Dia sempat melihat sepasang kekasih yang tertawa bahagia, juga keluarga yang tengah makan bersama di pinggir jalan. Tawa mereka terasa seperti duri baginya, Bunga iri pada mereka.

Bunga segera berbalik pergi, hingga jalannya terhenti di lampu merah. Tanpa sadar dia terus memandang orang yang menyebrang, hingga lampu itu berganti warna dan mereka telah berada di seberang jalan. Bunga melangkah maju, matanya mulai terpejam. Tapi tiba-tiba, Bunga tersadar dari sesuatu yang akan dia lakukan. Dia sangat kaget, tubuhnyanya gemetar. Kenapa dia bisa senekat itu?

Bunga yang tak tahan, akhirnya terduduk di pinggir jalan. Dia menutup wajah sambil menangis terisak. Orang-orang hanya bisa menoleh sesaat penuh pertanyaan, lalu melewatinya begitu saja. Begitu seterusnya, hingga seseorang menghampiri Bunga. Dia menarik lengan Bunga, membuat dia menoleh heran.

"Avril!" seru Bunga tak percaya.

***

"Apa yang kamu lakukan tadi?" tanya Avril santai.

Bunga masih belum percaya kalau dia bisa kembali bertemu Avril. Tapi, kenapa Avril membawanya ke kontrakan kecil dan sempit. Bunga tak hentinya menatap sekeliling sekaligus Avril bergantian.

"Kenapa kamu memandangku seperti itu?" tanya Avril kesal, "Iya, aku memang tak seperti dulu lagi. Apa aku harus menjelaskan hal itu padamu!"

"Aku ... maksudku bukan begitu." ujar Bunga ragu. Dia hanya bingung, kenapa Avril bisa tinggal di tempat seperti itu.

"Aku tidak suka tatapanmu itu, apa kamu mengejekku?" tuduh Avril.

"Tidak, aku tidak akan mungkin melakukan itu." sangkal Bunga cepat.

"Lalu apa?" tanya Avril ketus.

"Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu bisa mengajakku kemari?" tanya Bunga bingung.

Avril duduk dengan kasar di kursi kayu disamping Bunga, "Sepertinya ini adalah hukuman untukku karena melakukan banyak hal buruk. Ayahku tersandung kasus korupsi, harta kami disita, karier modelku pun ikut hancur, mereka yang dulu mengejarku kini menjauhiku. Aku tak percaya kalau semua itu bisa berubah dengan begitu cepat." setelah mengatakan hal itu, Avril hanya membuang napas.

Bunga tak percaya sekaligus bingung dengan apa yang didengarnya, tapi Avril terlihat tegar menghadapi kenyataan yang mengagetkan itu.

"Lalu bagaimana denganmu? apa yang kamu lakukan, dengan menangis di pinggir jalan seperti itu?" Avril tentu sangat ingin tahu, karena dia sempat melihat Bunga yang hampir saja menabrakkan diri. Awalnya, Avril pikir itu bukan Bunga tapi setelah melihat dengan seksama. Dia yakin, itu Bunga.

"Aku hanya sedang mengalami sedikit masalah. " Bunga mencoba menutupi masalahnya, karena memang sulit sekali menjelaskan masalah yang tengah dia hadapi terlebih dia belum bisa mempercayai siapapun sekarang.

Avril tersenyum, "Aku tahu kamu menutupi sesuatu dariku. Tapi, aku tak akan pernah mempermasalahkan hal itu. Kamu boleh kok tinggal disini."

Bunga sangat senang, "Makasih, Vril. Aku pikir ... kamu tidak akan menerimaku disini."

Dengan setengah tertawa, Avril merangkul pundak Bunga santai, "Sekarang aku sudah sadar, kalau teman baik adalah teman yang selalu ada di saat sulit bukan sebaliknya. Aku selalu ingat wajah menyebalkan mereka, dan itu contoh dari teman-teman yang hanya ada bersamaku disaat senang saja. Aku tidak ingin jadi seperti mereka." Bunga hanya bisa membalas rangkulan bersahabat Avril dengan pelukan.

***

Farhan kaget mendapati kamar Bunga kosong, dia tidak ada di manapun. Tentu saja, Feri yang pertama mendapat amarah dari Farhan. Sekalipun begitu, Farhan tidak tega kembali memukul Feri. Mengingat bekas pukulan dia waktu itu saja masih terlihat membekas di wajahnya.

"Cepat cari dia!" bentak Farhan.

Feri segera keluar dari dalam apartemen Bunga, tanpa mengatakan apapun. Dia bahkan sama sekali tak membela diri, karena dia merasa itu memang kesalahannya.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang