~XXVIII~

4K 95 3
                                        

'Vril, apa aku perlu memberitahukan ini pada Farhan?' tanya Bunga setelah kepergian Tio.

'Kurasa iya, kamu masih memiliki utang padanya. Tidak etis jika kamu pergi begitu saja.' nasehat Avril. Bunga termenung memikirkannya.

'Nga, andai dia melarangmu pergi, apa yang akan kamu lakukan?' tanya Avril tiba-tiba, setelah hening untuk beberapa saat.

'Aku tidak tahu, mungkin aku akan tetap pergi dengan atau tanpa persetujuannya. Yang terpenting hanya pembayaran utang, kan! Dia bahkan tak mau memandangku sedikit pun, jadi kurasa mendapat persetujuannya bukanlah hal sulit.' ungkap Bunga yakin.

'Kupikir, itu bukan jawaban bijak. Jika hal itu terjadi, aku ingin kamu untuk tetap tinggal.' Bunga terkejut akan saran Avril, 'Lalu kamu? Apa kamu pun akan tetap pergi tanpaku? Itu tidak mungkin!'

Avril tersenyum lembut, 'Melihat pandangan dan sikapmu padanya, aku mengerti kalau kamu mulai menyukainya, kan!'

Bunga berniat menyangkal, tapi Avril mendahului, 'Jangan menyangkal lagi. Setidaknya berilah dirimu kesempatan untuk bahagia.'

Ingatan pembicaraan mereka waktu itu membuat Bunga bingung. Di satu sisi dia merasa senang tapi di sisi lain, Avril masih membutuhkannya setelah kejadian buruk beberapa waktu lalu.

"Tapi ... apa? Beritahu aku apa yang salah, agar sebisa mungkin akan kuperbaiki sikapku padamu. Maafkan aku, karena seringkali memaksakan kehendak."

'Dengan atau tanpamu, aku tetap akan pergi. Aku hanya minta kamu untuk sesekali mengecek keadaan ibuku dan memberitahukannya padaku. Kita bisa memulai hidup baru dengan cara masing-masing, jadi jangan pernah mencoba untuk memaksakan diri.' ucapan Avril pun kembali terngiang.

"Bunga, katakan sesuatu!" tangan Farhan mengguncang bahu Bunga penuh harap. Dia meyakinkan diri kalau kali ini adalah usaha terakhirnya.

***

Bunga melangkah pelan menyusuri jalan, dia bingung dengan keputusan yang mesti dipilihnya. Dua orang dalam hidupnya itu penting, seorang teman yang benar-benar perduli dan orang yang tanpa sadar telah mengusik hatinya sekaligus janji yang tak mungkin dia abaikan.

Dia masih menimbang, apakah dengan tetap tinggal adalah jalan terbaik sekaligus pilihan tepat. Jika dia kembali menanyakan pendapat Avril, mengingat pembicaraannya sebelum bertemu Farhan, jawabannya pastilah dukungan untuk tetap tinggal. Hanya satu nama yang terlintas dalam benaknya, Tio. Bunga berharap pemuda itu akan memberinya sedikit solusi.

Bunga segera menghubungi nomor Tio, panggilannya diangkat dalam 15 detik. "Kamu sibuk?"

'Tidak, apa terjadi sesuatu?'

"Ada sesuatu yang ingin aku katakan, bisa kita bertemu?"

'Bisa, tapi pekerjaanku belum selesai. Mungkin sejam lagi, tidak apa?'

"Oke. Tempat, kamu saja yang tentukan, kirim alamatnya lewat pesan."

Hubungan telpon pun terputus, Bunga sedikit terkejut ketika mendapati Ardi tengah berada di belakangnya. "Sedang apa kamu disini, bukannya kamu akan pergi?" tanya Ardi sinis.

"Aku belum memutuskan dengan pasti." ungkap Bunga ragu. Dia belum yakin akan perasaannya sendiri.

"Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Kurasa itu lebih baik untuk Farhan. Aku tidak suka pada gadis yang lambat berpikir. Semakin lama kamu berpikir, semakin besar pula harapan Farhan. Pilihan itu memiliki resiko masing-masing, kamu tak akan bisa menyenangkan dua sisi. Hanya satu yang bisa kamu pilih. Kanan dan kiri jelaslah berbeda meskipun sama pentingnya. Kamu harus sadar itu."

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang