Bunga sama sekali tak bersemangat mengikuti kuliah hari itu. Dia masih ingin tetap tinggal di rumah sakit.
Setelah kelas berakhir, Avril menyapa dan menunjukkan nilai tugas mereka yang cukup bagus.
"Nilai kita cukup bagus, kan! Kalau ada tugas kelompok, aku ingin kita bareng lagi." ujar Avril.
Bunga mengiyakan dan segera berjalan pergi. Dia sama sekali tidak memperhatikan Avril yang berbicara padanya. Dia masih mengingat ucapan Tio mengenai hubungan diantara mereka.
'Kamu tidak mengenalku dan tak memiliki hubungan apa pun denganku jadi tidak usah ikut campur.' Kalimat itu yang selalu mengganggu pikirannya sejak tadi.
Avril merasa aneh dengan sikap Bunga. Dia hanya menatap Bunga yang terus berjalan menjauh. Avril semakin ingin tahu siapa dan seperti apa gadis yang menjadi teman kelompoknya itu.
Akhirnya dia pun pergi ke kantin kampus, untuk mencari salah satu teman se-jurusannya. Dan beruntung, dia melihat Hani yang sedang duduk di salah satu meja sendirian.
Avril menghampiri dan duduk di kursi yang ada di hadapannya.
"Ada apa kamu duduk disini, Ril?" tanya Hani datar.
"Aku pengen minta maaf aja sama kamu. Kamu tahu kan, aku agak kecewa dengan nilaiku hari ini yang tidak sebagus kelompokmu. Seharusnya aku sekelompok denganmu, kemarin." cerita Avril.
Mendengar itu Hani tertawa, "Aku sudah bilang. Jangan berkelompok dengannya, kamu malah berkeras. Jadinya gitu kan?" komentarnya.
"Iya sih!" Avril terpaksa mengiyakan, padahal dia tidak terlalu berminat dengan nilai tinggi. Dia hanya ingin tahu sesuatu.
"Lebih baik jangan dekati Bunga lagi. Dia itu gak baik!"
"Gak baik, maksudnya?" tanya Avril mulai tertarik.
"Bunga itu bukan gadis baik-baik. Kamu tahu, dia kerja di klub malam. Ibu dan bapaknya juga pada gak bener." cerita Hani sambil sedikit berbisik.
"Kamu tahu darimana?" tanya Avril kaget.
"Temanku tetanggaan sama keluarganya."
Antara percaya dan tidak percaya, Avril mulai mencerna ucapan Hani. Bunga memang seperti menutupi sesuatu darinya, tapi Avril tidak pernah berpikir sejauh itu.
"Kamu kaget, kan?" tanya Hani, membuyarkan lamunan pemikiran Avril.
Avril tidak bisa mengiyakan, dia hanya bisa diam untuk beberapa saat.
Tiba-tiba Avril berdiri dari duduknya, "Makasih ya, Han. Kapan-kapan aku traktir makan. Aku duluan." ujarnya lalu kemudian pergi dengan cepat.
Hani agak bingung dengan kepergian Avril yang tiba-tiba, tapi dia senang dengan janji traktiran dari Avril.
***
Sesuai ucapannya, dari kampus Bunga langsung pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Tio. Tapi sayang, Tio sudah keluar dari rumah sakit. Bunga benar-benar sangat kecewa, padahal dia sengaja datang membawa sekantung kecil buah untuknya.
"Apa dia tidak nyaman dengan keingintahuanku? Karena itukah dia seperti menjauh?" tanya Bunga dalam hati.
Bunga menatap kantung kecil yang dipegangnya, lalu menarik napas panjang.
Bunga terpaksa pulang dengan perasaan kecewa. Tepat di depan pintu, ibunya sedang melipat kedua tangannya sambil menatapnya tajam.
"Seharusnya kamu sudah pulang, darimana saja sebenarnya kamu itu?" tanya ibu Bunga dengan nada tinggi.
"Maaf, Bu." sesal Bunga.
Ibu Bunga menatap kantung keresek yang dipegang Bunga, "Apa itu?"
"Ini...ini buah, bu."
Ibu Bunga mengambilnya dan tersenyum, "Untuk apa membeli buah, dapat duit darimana?"
Bunga tidak bisa menjawab, dia hanya bisa menunduk takut.
"Yang jelas ini pasti bukan untuk ibu, kan!" selidik Ibunya.
"sebenarnya, itu...untuk teman Bunga yang sakit, bu."
Ibu Bunga berdecak kesal lalu tersenyum sinis, dia tidak banyak bicara lagi dan masuk ke dalam rumah.
Bunga mencoba menahan seluruh emosi yang menumpuk di balik tangannya yang terkepal. Dia sangat tertekan tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, sekalipun napasnya terasa sesak.
Malamnya, Bunga keluar dari kamarnya untuk pergi bekerja. Dia melihat ibunya yang duduk sendirian di kursi yang ada di depan rumah. Sekilas, ada air mata yang tertinggal di pipinya.
" Kenapa ibu dil uar, ini sudah malam!" ujar Bunga perhatian.
"Tidak usah banyak bicara. Cepat pergi kerja!" perintahnya.
Bunga akhirnya pergi tanpa mengatakan apapun. Dia melihat air mata itu, dan dia merasa sangat sedih. Hidupnya terasa begitu berat, apalagi ditambah dengan sikap Tio padanya.
***
Farhan datang ke klub malam itu, dan dia datang untuk bertemu dengan Adi.
"Kupikir kamu tidak akan pernah datang lagi kemari!" komentar Adi.
"Aku datang kemari karena aku ingin membuat sebuah kesepakatan denganmu, apa kamu bisa menyetujui persyaratan dariku?"
Adi menyipitkan matanya, "Kesepakatan?"
"Ya, bukannya kamu butuh bantuan dana. Aku akan memberimu bantuan berapa pun yang kamu butuhkan." tegas Farhan.
Adi jelas kaget mendengar itu, karena sepetahuannya Farhan bukan orang yang sangat baik hati dalam hal kerjasama.
"Lalu apa syaratmu?" tanya Adi menyelidik.
"Syaratku sangat mudah. Aku ingin salah satu pelayanmu bisa jadi milikku." Mata Farhan menunjukkan kalau dia bisa mudah mendapatkan apa yang dia inginkan dengan uang.
"Pelayanku? Maksudmu apa?" tanya Adi tidak mengerti.
Tiba-tiba dia sadar sesuatu, dan akhirnya tersenyum.
"Apa gadis-gadis kaya yang setingkat denganmu tidak bisa memuaskan hidupmu?" sindir Adi.
"Aku pikir gadis ini berbeda, aku tertarik padanya. Dan aku ingin dia bisa jadi milikku." ujar Farhan yakin.
"Baiklah, sebutkan namanya!"
"Bunga." jawabnya singkat.
Adi terdiam sesaat memikirkan sesuatu. "Baiklah, aku setuju."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang terluka
RomanceSetiap orang memiliki beban dan masalah di hidupnya. Begitupun aku, ini masalah dan hidupku.