~XIV~

3.8K 134 0
                                    

Di depan klub,

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Feri setelah melihat Ardi.

"Aku dapat tugas mengawasi seseorang." jawab Ardi datar sambil menyandarkan diri pada mobil yang terparkir di belakangnya, tangannya terlipat di depan dada.

"Siapa? Aku?"

"Untuk apa aku mengawasimu. Pekerjaanku sudah banyak, daripada mengurusimu lebih baik aku menyelesaikan semua pekerjaanku."

"Oerintah dari Farhan lagi?"

Ardi tidak mengatakan apapun tapi Feri tahu kalau yang dia katakan benar. "Kupikir tugasmu jadi berlapis sekarang, kesetiaanmu patut dihargai. Di usiamu sekarang, apa tidak ada niat untuk merubah status?" sindir Feri santai.

Ardi melirik Feri dengan matanya yang tajam, tapi dia hanya menanggapi santai. "Aku tidak perduli mengenai hal-hal seperti itu, cinta hanya akan merusak segalanya."

"Untuk yang satu ini, kupikir kita sepaham." Ardi memandangi juniornya tanpa ekspresi.

"Setidaknya bersikaplah lebih sopan. Kamu lupa, usiaku lebih tua darimu. Farhan sudah memaklumi kebiasaanmu, tapi bagiku sangat menjengkelkan saat mendengarnya." nasehat Ardi.

Feri mendengarnya tanpa berkomentar, sejak dulu dia memang tidak pernah memanggil Ardi dan Farhan dengan awalan pak atau kak. Dia lebih suka memanggil nama langsung atau kamu. Farhan tak pernah protes dengan caranya tapi hingga saat itu, Ardi tak pernah bisa merasa nyaman.

Sikap Feri selalu dingin, tidak ada yang tahu seperti apa sifatnya. Ardi selalu curiga jika melihatnya, karena banyak hal tersembunyi dari balik ucapan atau tatapan matanya. Feri juga bukan seseorang yang bisa tersenyum saat mendengar lelucon apalagi tertawa. Jika diibaratkan tangan, Ardi adalah tangan kanan Farhan sedangkan Feri adalah tangan kirinya yang bisa melakukan beberapa hal yang tak terduga.

"Lalu siapa yang kamu awasi sekarang?" tanya Feri dingin.

"Kamu tak akan mengenalnya. Aku rasa secara tidak langsung dia bisa menjadi penghancur segalanya. Bom waktu ini tinggal menunggu saatnya untuk meledak." pikir Ardi.

Feri tertarik mendengarnya, "Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?"

"Kupikir cara cepat dan tepat adalah mematikan bom itu lalu membuangnya."

Feri memperhatikan penuturan Ardi, t atapannya dingin. Apapun yang ada dipikirannya dan Ardi, tak jauh berbeda tapi cara pandang keduanya bertolak belakang.

Bunga keluar dari dalam klub, Feri yang melihatnya segera mengikuti Bunga di belakang meninggalkan Ardi.

***

"Untuk kali ini, apa kamu bisa membiarkanku sendirian. Aku mohon padamu!" pinta Bunga tanpa berbalik menghadap Feri yang berada dibelakangnya.

Feri tak perduli dengan permintaan Bunga, dia tetap mengikutinya dari belakang.

"Tolong, beri aku sedikit waktu sendiri!" pinta Bunga dengan nada yang lebih tinggi.

Feri tak bergeming, dia tetap pada pendiriannya untuk tetap mengikuti Bunga. Bunga yang muak berbalik, dan terlihatlah pipi Bunga yang merah bekas tamparan. Air mata Bunga pun mengalir dengan deras. Feri yang melihatnya agak terkejut, tapi dia tidak berkomentar apapun apalagi bersikap perhatian.

"Untuk kali ini, beri aku sedikit ruang. Apa masih tak bisa?" Bunga benar-benar harus menenangkan diri, hatinya sedang sangat tidak baik.

"Tidak," jawab Feri datar.

Bunga tidak bisa mengatakan apa pun lagi, dia lebih memilih duduk di kursi panjang yang tersedia disana dan menangis menumpahkan bebannya. Feri ragu harus melakukan apa, akhirnya dia memilih untuk diam dan memperhatikan.

Ardi melihat itu dari kejauhan, pandangannya tak beranjak dari Feri. Dia berharap Feri tak hanya diam dan memperhatikan. Ardi memang tidak percaya cinta tapi dia tetap memiliki hati untuk tidak memperlakukan Bunga sedingin itu. Sayangnya, Ardi tidak bisa melakukan apa pun karena itu bukan tugasnya. Dia hanya berharap agar Feri bisa belajar. Akhirnya Ardi pun pergi.

Bunga masih merasakan sakit di pipinya. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan hatinya yang lebih sakit.

Flashback

Seorang wanita datang, dan tiba-tiba menamparnya. Wanita itu mengatakan hal yang tidak jelas, di telinga Bunga. Tapi ada satu nama yang sangat Bunga kenal disebut olehnya.

Di depan Bunga, dia mulai mengumpat. Dari penglihatannya, wanita itu tengah mabuk berat, karena bau alkohol yang menyengat dari mulutnya.

"Kamu tahu, kamu hanya bersembunyi dibalik topeng. Wajahmu yang terlihat polos itu benar-benar menjijikan." umpat seorang wanita yang sebenarnya tak Bunga kenal.

Awalnya Bunga diam saja mencoba sabar mendapat cacian itu, tapi tiba-tiba wanita itu mengatakan hal yang membuat kesabarannya hilang.

"Benar kata pepatah kalau buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Kamu sama saja seperti ibumu, kalian berdua sama menjijikan."

Bunga yang telah kehilangan kesabaran menampar wanita itu dan segera keluar dari dalam klub.

***

Bunga terbangun di dalam kamarnya, dia tidak ingat apa yang terjadi setelah dia menangis di pinggir jalan tadi malam. Kepalanya terasa sakit saat bangun dari tempat tidur.

Saat berjalan menuju dapur, dia melihat Feri yang tengah tidur diatas sofa. Melihatnya hanya menumbuhkan rasa kesal di benak Bunga. Awalnya Bunga pikir Feri sama sepertinya, tapi mulai saat itu dia benar-benar telah berubah pikiran.

Bunga sama sekali tidak memperdulikan Feri, dia lebih memilih untuk mengambil minum lalu pergi ke kamar mandi. Sekembalinya dari dalam kamar mandi, Feri telah bangun. Dia cukup terkejut melihat Bunga yang hanya mengenakan handuk untuk membalut tubuhnya. Bunga tidak begitu perduli dengan adanya Feri, dia memilih untuk segera masuk ke kamarnya.

Feri sedikit kaget saat mendengar panggilan telepon dari Farhan.

"Judengar ada masalah?" tanya Farhan.

Feri terdiam mengira-ngira maksud ucapan Farhan, "Aku dengar, Bunga menangis semalam. Apa yang terjadi?" ujarnya melanjutkan.

"Ini bukan masalah besar, Bunga baik-baik saja." jawab Feri yakin.

"Malam ini, aku akan kesana. Jangan katakan apa pun padanya." pesan Farhan. Hubungan telepon pun diputus.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang