~XXI~

2.8K 111 0
                                    

Bunga telah sampai di depan kontrakan Avril. Setelah pembicaraannya, Tio mengantar Bunga hingga depan gang lalu memutuskan untuk pulang. Bunga lega, setidaknya untuk saat itu dan beberapa waktu ke depan, beban yang dia tanggung sedikit lebih ringan karena masalah antara dirinya dan Tio telah selesai.

Sekalipun begitu, Bunga belum lupa mengenai utangnya pada Farhan. Dia merasa, masalah inilah yang belum ada jalan keluarnya, dia bingung dengan tindakan yang perlu dilakukan. Membayar utang? Tidak mungkin dalam waktu dekat. Kembali ke apartemen Farhan dan meminta maaf lalu melanjutkan keseharian penuh tekanan? Bunga tak sanggup. Lalu apa yang bisa Bunga lakukan untuk menebus utang ibunya? Apa yang Farhan inginkan darinya?

"Bunga!"

Bayangan-bayangan itu membuat Bunga tak fokus, dia cukup kaget saat seseorang memanggil namanya. Dia berbalik dan didapatinya Farhan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri, ekspresinya dingin dan datar.

Farhan mulai melangkah mensejajari Bunga yang terpaku tak dapat berkata apapun. Ini adalah kali pertamanya melihat sisi lain Farhan yang menurutnya agak menyeramkan.

"Kukira kamu tinggal di tempat yang lebih baik, tapi ternyata kamu malah berlari pergi dan memutuskan tinggal di tempat ini. Tak bisakah kamu menghargai usahaku!" Farhan terlihat kesal dan marah, "Beberapa waktu ini, aku berusaha dengan baik. Tapi, sikapmu begitu buruk!"

Bunga tersentak, dia memang tidak tahu diri karena lari tanpa penjelasan. Dia pikir, jalan terbaik melunasi utangnya adalah disaat uang itu telah terkumpul.

"Kenapa diam?" tanya Farhan datar. Bunga meremas pakaiannya, dia bingung harus bersikap seperti apa.

"Aku pasti akan melunasi utangku. Tapi tolong, beri aku sedikit waktu." ungkap Bunga ragu. Farhan tersenyum getir, jelas sekali dia tidak berniat untuk melakukan itu. Kakinya mulai melangkah cepat mendekati Bunga yang mundur perlahan, tapi hal itu tak berpengaruh apapun, apalagi setelah Farhan mencengkeram kedua bahunya.

"Apa kamu benar-benar tak mengingatku? Aku tahu kamu sudah cukup dewasa waktu itu, jadi mana mungkin kamu bisa lupa!" Farhan mulai mengguncang bahu Bunga.

"A-apa maksudmu?" Bunga jelas bingung, apa yang sebenarnya Farhan maksudkan. Detik berikutnya, Farhan memeluk Bunga erat. Bunga sendiri hanya bisa terdiam, samar terdengar Farhan berkata, "Kumohon kembalilah, aku membutuhkanmu!"

Semenit berlalu, Bunga berniat melepaskan pelukan Farhan darinya. Namun semua itu sia-sia saja. Suara pintu terbuka-lah yang menyelamatkan Bunga.

"Apa yang kalian lakukan? Siapa dia?" tanya Avril tanpa sungkan dari balik pintu. Belum sempat Bunga buka suara, Farhan terlebih dahulu memotong. "Maaf, tapi aku harus membawa Bunga pulang."

Tanpa menunggu reaksi Avril, Farhan terlebih dahulu menarik Bunga yang tak bisa protes. Bahkan, hingga mereka kembali sampai di depan apartemen.

"Aku tahu, kamu mengenaliku. Aku ingin kamu mengingatku. Jika memang tak bisa, setidaknya berpura-puralah ingat." ungkap Farhan tepat di depan pintu apartemen.

***

"setidaknya pura - puralah ingat? Memangnya apa yang perlu kuingat?" gumam Bunga untuk yang kesekian kalinya.

Dia penasaran dengan maksud ucapan Farhan, tapi tak ada satu hal pun terlintas dikepalanya. Mana mungkin dia mengalami amnesia, kapan kepalanya pernah terbentur? Bunga ingin menanyakan maksud penyataan Farhan itu, tapi sayang dia telah lebih dahulu pergi.

Bunga mengeluarkan ponselnya, nomor Farhan yang sejak beberapa bulan ini telah mengisi buku teleponnya seakan menjadi pajangan saja. Dia ragu, apakah nomor itu masih bisa dihubungi atau tidak, tapi mencoba bukanlah hal yang salah. Keputusan Farhan, jika dia memutuskan untuk tak mengangkatnya.

Nada sambung berbunyi, hingga beberapa waktu berlalu tak ada jawaban. Dia kembali mencoba, hingga empat kali dan hasilnya Farhan sama sekali tak mengangkat satu pun panggilan darinya.

"Apa perduliku, kenapa aku harus perduli padanya. Bukannya aku hanyalah bahan mainan untuknya, mungkin itu yang dia maksud." gumam Bunga kesal.

Bunga berbalik, dia baru sadar kalau pintu apartemen masih terkunci. "Yang benar saja, apa dia sengaja melakukan ini!" gerutu Bunga semakin kesal. "Lebih baik aku pulang ke kontrakan Avril saja,"

Baru tiga langkah Bunga berjalan, dia memutuskan untuk mengurungkan niatnya itu. Dia tidak mau ditanyai banyak hal oleh Avril, lebih baik tidur di depan pintu daripada mendapat bermacam-macam pertanyaan yang belum bisa dijawabnya.

Dua jam berlalu,

Bunga benar-benar tertidur di depan pintu apartemen, sambil duduk memeluk lututnya. Farhan baru kembali dengan penuh luka, entah apa yang telah dia perbuat.

Melihat Bunga yang tertidur di depan pintu, dia baru ingat akan kunci apartemen yang masih berada di tangannya. Seulas senyum simpul terukir tanpa sadar di wajah Farhan, setelahnya dia memilih untuk duduk disamping Bunga lalu menyandarkan diri di pintu. Rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya membuat Farhan harus menahan napas sejenak.

Bunga terbangun, dia terkejut dengan keadaan Farhan. "Apa yang terjadi!"

"Tidak ada yang terjadi, bukannya kita hanya duduk bersebelahan." jawab Farhan sedatar mungkin, walaupun rasa sakit itu membuat nada suaranya lebih rendah.

"Bukan itu. Wajahmu, apa yang terjadi padamu?" Bunga benar-benar khawatir kali ini. Dia ingin menyentuh luka Farhan, tapi takut memperparahnya. Jadi dia segera mengambil ponselnya untuk menelepon Feri, tapi Farhan melarang.

"Apa kali ini kamu tulus?" tanya Farhan, dia sangat mengharapkan jawaban yang jujur dari Bunga.

"Tulus! Kamu menanyakan hal tak penting, lukamu perlu diobati nanti bisa infeksi." jawab Bunga setengah kesal.

"Itu juga yang kamu katakan saat pertemuan pertama kita. Dulu kamu membuatku percaya kalau ayahku bisa berubah, dan karena itulah hubungan kami membaik." cerita Farhan.

Bunga terdiam, dia mulai ingat. Dulu, dia memang pernah bertemu seseorang dan mengatakan hal itu, tapi dia tak yakin kalau orang yang ditemuinya adalah Farhan. Sosok Farhan terasa begitu samar di ingatannya.

"Kita hanya bertemu dua kali, lalu setelahnya aku tak dapat bertemu denganmu lagi. Padahal aku ingin mengucapkan terima kasih dan mengatakan kalau ... aku tertarik padamu." Farhan mulai tersenyum, "sekarang aku mengatakannya, kenapa tidak sejak awal aku melakukan ini." ujar Farhan seakan bicara pada diri sendiri.

"Sudah, berhenti bicara. Suaramu semakin menghilang, ayo bangun!" Bunga menarik tangan Farhan, namun dia sangat terkejut saat melihat darah segar berlumuran di tangan Farhan, sekaligus di kemejanya. Bunga baru melihatnya karena sejak tadi Farhan menutupi luka itu dengan jaket yang dia pegang.

Bunga panik, dia segera menghubungi Feri karena hanya dia yang terlintas di kepalanya. " aku yakin, kamu akan baik-baik saja."

Bunga mencoba menenangkan, tapi dia sendiri sama sekali tak bisa tenang. Dia bahkan mengetuk pintu setiap penghuni apartemen yang terlihat matanya, tapi tak ada satupun yang membuka pintu.

"Jika memang hal ini yang bisa membuatmu bersikap tulus padaku, aku rela mengalaminya untuk yang kedua kali." ungkap Farhan, suaranya semakin melemah.

"Sudah kubilang, jangan banyak bicara!"

Farhan tertawa sambil menahan sakit, "Pandanganku mulai buram, apa ini saatnya aku pergi?" gumam Farhan. Tubuhnya pun melemas, bersamaan dengan kesadarannya yang menghilang.

Bunga kaget, mata Farhan telah tertutup sempurna. "Farhan, jangan bercanda! Hei, Farhan. Ayo bangun!" tanpa sadar airmata Bunga mulai mengalir deras.

ZZZZ

Aku dah lanjutin part selanjutnya, walaupun pasti gaje :(

Oke...aku kehilangan kata - kata, yang jelas buat yang udah ngasih vote, terutama komen makasih bangetzz!!

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang