~XXV~

2.4K 92 4
                                    

Empat hari berlalu, Bunga tak pernah absen untuk menjenguk Farhan. Tak perduli seberapa acuhnya Farhan, dia tetap datang dan mengecek kesehatannya. Menurut perawat, keadaan Farhan telah semakin membaik. Mungkin esok dia bisa pulang. Bunga cukup lega mendengar kabar baik itu.

Sayangnya beberapa hari belakangan, Bunga tak pernah bertemu dengan Feri, begitupula Andi. Mereka seakan tak diperbolehkan bertemu, Bunga tidak tahu apa waktu mereka tidak pas atau mereka memang tak pernah datang ke rumah sakit.

Bunga membuka pintu dengan perlahan takut mengganggu istirahat Farhan, setelah pintu tertutup dia duduk di sofa yang terdapat di kamar itu. Seperti biasa, dia akan pulang saat petang menjelang, tapi kali ini Bunga ingin menunggu sampai Farhan mau membuka mata. Dia ingin mengatakan sesuatu hal yang penting.

Bunga mendekati tempat tidur Farhan, berdiri untuk waktu yang lama disana. Selama ini, lelaki itu terus menerus menghindar darinya. Jika dia ingin mengakhiri semua, Bunga berharap Farhan mau melihat wajahnya sesaat, dah terserah apa yang akan terjadi kemudian, dia sama sekali tak perduli.

'Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membayar semuanya. Mungkin, aku tak dapat membayar hutang budiku. Tapi, jika kamu membutuhkanku aku akan berusaha melakukan apa pun yang kamu mau semampuku.'

Bunga ingin sekali menyentuh tangan Farhan, tapi saat ini semua jadi terasa aneh. Dia dulu yang tak perduli dan saat lelaki itu yang tak perduli, Bunga seakan tak rela. Tentu saja, setelah pertemuan mereka beberapa tahun lalu kembali dia ingat.

Bunga baru sadar bahwa Farhan adalah orang asing pertama yang bertanya keadaannya saat dia merasa ketakutan, namun pertemuan itu terlalu singkat. Waktu dan masalah pun telah mengikis ingatan itu perlahan. Jika saja Farhan tak mengingatkannya, mungkin ingatan itu akan terhapus begitu saja.

Pintu terbuka, Bunga menoleh mendapati Feri yang masuk. Lelaki itu tampak terkejut melihat Bunga masih berada disana. "Kamu belum pulang?"

"Akhirnya kita bertemu juga. Kukira kita tidak akan bertemu lagi, apa kamu sangat sibuk?" Bunga membalas Feri dengan pertanyaan. Seulas senyum terukir di wajahnya.

Feri melihat raut lelah di wajah Bunga, dia yakin semua karena rasa bersalah yang Bunga rasakan. Sebelum Farhan memaafkannya, Bunga tak akan bisa tidur dengan nyenyak. "Aku memang sibuk mengurus sesuatu. Aku datang membawa kabar baik kalau pelakunya sudah ditangkap polisi. Sudah malam, lebih baik kamu segera pulang."

"Baguslah, aku ikut senang." Bunga menatap Farhan yang masih menutup mata, dia tahu kalau lelaki itu sama sekali tak tidur. Dia hanya berpura-pura untuk menghindar, "Tadi perawat bilang, kalau dokter sudah memperbolehkan Farhan pulang besok. Sebelum itu, aku ingin berbicara dengannya."

Feri mengerutkan kening ingin tahu, "Apa ini penting?"

"Mungkin bagi Farhan ini tak penting, tapi bagiku ini sangat penting. Aku tahu kalau dia tak mau melihatku sekarang, jadi biar kamu saja yang memberitahunya nanti," jeda yang cukup panjang meninggalkan keheningan, Feri masih menunggu.

"Aku rasa, aku akan pergi menjauh. Seperti yang Farhan inginkan, aku akan mencoba untuk tak terlihat lagi dihadapannya. Tapi utang ibuku akan tetap kubayar, walaupun aku yakin butuh waktu yang lama sampai dapat terlunasi. Dan tentang ucapannya waktu itu...aku sudah mengingatnya. Aku minta maaf karena terlambat menyadarinya."

"Jika saja dia tahu, kalau dia adalah orang pertama yang memberikanku sedikit kesan baik. Dia orang pertama yang bertanya apa aku baik-baik saja. Dia yang membuatku berpikir bahwa diantara sekian juta orang yang acuh, akan ada beberapa yang perduli. Saat itu aku ingin sekali berterima kasih, tapi aku tak tahu dengan cara apa. Apalagi aku tak bisa menemuinya lagi karena keluargaku diusir dan harus menyewa rumah di tempat lain."

"Dia terlalu baik, dan itu membuatku berpikir jauh. Terlebih terlalu banyak hal yang membuatku marah, aku sangat tertekan tapi tak ada tempat untukku berbagi. Farhan sendiri hanya datang di waktu-waktu tertentu dan aku sendiri tak berani untuk mengatakannya. Jika saja dia mau membuka mata dan memintaku untuk pergi jauh, aku akan melakukanya dengan senang hati. Diacuhkan seperti ini membuatku harus sadar diri, mungkin inilah yang dia inginkan."

Feri tersentak, selama ini Bunga ingin berbagi dengannya. Ternyata bersikap dingin dan menutup celah pembicaraan adalah kesalahan fatal. Sekilas dia melirik Farhan, Feri yakin lelaki itu sama sekali tak tidur. Sampai kapan lelaki itu akan terus menutup mata dan berhenti bersikap seperti seorang pengecut.

"Aku benar-benar ingin berterima kasih, semua kebaikan yang dia tujukan padaku tak akan pernah kulupakan. Kalau begitu, aku pulang sekarang." Sebelum pergi, Bunga sempat mengecup kening Farhan. "Ini yang sering kamu berikan padaku, terima kasih." bisiknya.

Bunga pun sempat memeluk Feri mengucapkan kalimat perpisahan, "Aku harap kita masih bisa bertemu. Ini lucu, aku bahkan tidak akan pergi jauh." ungkapnya diiringi tawa getir.

Pintu tertutup, Farhan membuka matanya. Dia seakan menerawang jauh, "Kamu pasti mendengar semuanya, aku tak perlu mengatakan apapun. Pilihan ada di tanganmu, dia sudah berkata jujur."

***

Bunga pulang ke kontrakan Avril dengan mata sembab. Tak perlu banyak bertanya, cerita mengalir begitu saja dari mulut Bunga. Avril menduga kalau temannya itu baru sadar bahwa sesuatu yang berharga akan terasa penting saat dia pergi. 'Apa Bunga mulai menyukai Farhan?' batin Avril.

Tio muncul dengan muka kusut, tak kalah kacaunya dengan Bunga. "Apa yang terjadi?"

Tio menjawab pertanyaan Avril seadanya, "Sebenarnya kenapa kalian datang ke rumahku dengan membawa masalah. Aku ini bukan tong sampah masalah."

Avril masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan keras membuat keduanya saling pandang karena terkejut. "Avril kenapa?"

Bunga menggeleng tak mengerti, "Dia mungkin memiliki masalah, sama seperti kita. Tapi dia tidak punya kesempatan untuk mengatakannya. Biar kutemui dia."

Bunga pun masuk ke dalam dan mendapati Avril duduk diatas tempat tidur sambil memeluk bantal. Untuk pertama kalinya, dia melihat Avril menangis tersedu.

Bunga segera menghampiri Avril, duduk di sisi tempat tidur lalu mengelus puncak kepalanya. "Ada apa, aku juga ingin mendengar ceritamu. Aku dan Tio bisa menjadi tempatmu berbagi. Katakan padaku, ada apa?"

Avril menatap Bunga, dan tanpa aba-aba dia menghambur ke pelukannya. Lalu, mengalirlah sebuah cerita duka yang telah gadis itu tutupi selama ini padanya. Bunga ikut menangis, merasa egois karena tak sedikit pun memberikan kesempatan bagi Avril membagi bebannya.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang