~ XV ~

3.5K 126 6
                                        

Malam itu,  Farhan benar-benar datang ke apartemen. Melihat kedatangannya, Bunga tak kaget atau pun senang. Ekspresinya biasa saja, sambutannya pun biasa saja. Berbeda dengan Feri yang terlihat bersemangat, dia menyambut Farhan dengan sapaan walaupun masih dengan gaya kaku yang aneh bagi Bunga.

Dengan malas, Bunga membuatkan air minum untuk keduanya. Lalu mengantarkan ke tempat mereka tengah bicara. Dengan senyuman, Farhan menyambut kedatangan Bunga. Begitupun sebaliknya, Bunga membalas senyuman Farhan semanis mungkin sekalipun dalam hati dia sangat muak. Feri melihat pemandangan itu tanpa ekspresi, sekilas Bunga melirik padanya dingin.

"Aku harus pergi. Kita bisa bicara setelah urusanmu selesai." pamit Feri, baru kemudian dia pun keluar dari dalam apartemen setelah Farhan memperbolehkannya pergi.

Sebelumnya Bunga hanya berdiri, tapi akhirnya dia pun duduk disamping Farhan. Masih dengan senyumnya, Farhan mengusap rambut Bunga tapi dengan cepat Bunga menghidarinya dan mulai menjaga jarak dengan Farhan. Mendapat respon seperti itu, senyuman Farhan menghilang dia tidak mengerti.

"Ada apa, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Farhan khawatir.

"Apa yang sebenarnya tersembunyi dibalik semua ini? Sampai kapan aku harus seperti ini? Aku tahu, sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa membayar semua utang itu." ungkap Bunga tiba-tiba.

Farhan tidak mengerti, dia mencoba mendekati Bunga tapi sikap Bunga tidak berubah. Dia tetap tak mau didekati Farhan.

"Jelaskan padaku, apa sebenarnya tujuanmu melakukan ini?" Farhan terdiam, tak terpikirkan olehnya kalau Bunga akan menanyakan hal itu padanya.

"Sejak awal tujuanku hanyalah untuk membantumu." jawab Farhan menekankan.

"Apa benar hanya itu?" Bunga tak sepenuhnya percaya dengan jawaban yang terlontar dari mulut Farhan. Terlalu banyak orang yang telah menipunya, dia tak mau lagi kembali menjadi Bunga yang mencoba menjadi baik tapi selalu mendapat tanggapan buruk,

"Kupikir lebih baik kamu bunuh saja aku sekarang. Aku sudah sangat muak menghadapi semua ini. Siapa dirimu dan apa yang kamu miliki, aku sama sekali tidak perduli. Aku hanya ingin kehidupanku, walaupun hidupku tak lagi dapat kembali utuh. Setidaknya aku bisa lebih menikmati hidupku." lanjutnya.

"Aku tidak suka jika ibumu bermaksud menjaminkanmu demi uang, itu sebabnya aku memutuskan untuk menawarinya pinjaman dan dia menjaminkanmu sebagai orang yang akan membayar utang itu." ujar Farhan memberi alasan.

"Kenapa? Kenapa kamu harus tak suka? Aku sama sekali tak mengenalmu, tak seharusnya kamu begitu perduli padaku. Tujuanmu hanyalah untuk menjadikanku benda milikmu, kan! Jadi tak usah membual!" seru Bunga kesal.

Bunga berjalan cepat ke dapur mengambil pisau, lalu menggenggamkan pisau itu ke tangan Farhan. "Aku akan lebih senang jika kamu menusukku saja. Aku sudah terlalu bosan mendapat tusukan yang sama. Akhiri saja semua ini sekarang!"

Farhan tak suka sikap Bunga, dengan kasar dia melempar pisau itu ke samping lalu menarik Bunga kedalam pelukannya.

Bunga cukup terkejut, tapi dia tidak melawan dan hanya diam. "Aku memang memiliki tujuan lain selain meminjamkan ibumu uang. Sebenarnya aku berharap bisa dekat denganmu. Saat ini aku memang bisa dekat denganmu tapi hatimu entah berada dimana." gumam Farhan dalam hati.

"Aku tak pernah sekalipun mendapat perlakuan seperti ini. Aku ingin hidup bersama orang yang kucintai, sesederhana apapun, itu lebih baik. Aku tidak butuh tempat tinggal, pakaian, dan riasan yang mahal terlebih dengan makian tiada henti." ujar Bunga dalam hati, tetes air matanya mulai mengalir.

"Bunga, kapan hatimu akan terbuka untukku? Apa kamu masih berharap padanya?" tanya Farhan dalam hati.

"Tio, kamu dimana? Aku membutuhkanmu!" harap Bunga dalam hati, seakan menjawab apa yang sempat Farhan tanyakan dalam hatinya.

Farhan melepaskan pelukannya, tanpa berkata apapun. Lalu dia memilih untuk keluar dari dalam apartemen meninggalkan Bunga yang masih berdiri mematung.

Farhan tak benar-benar pergi, dia justru menuju apartemen Feri, menumpahkan seluruh kekesalan hatinya dengan memukul Feri hingga tangannya ikut terluka.

"Kamu bilang dia baik-baik saja, hah!" seru Farhan marah.

Feri menunduk menghapus darah yang mengalir dari balik bibirnya. "Kamu boleh kembali memukulku, puaskan hatimu. Pada dasarnya, semua ini bukanlah keinginanku, semua yang terjadi adalah kesalahan."

Farhan akhirnya sadar, dia pun tak melanjutkan kemarahannya. "Maafkan aku!" sesal Farhan, sambil mengacak rambutnya frustasi.

"Sebenarnya apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar bingung!" tanya Farhan, meminta pendapat Feri.

"Lepaskan dia, dan fokuslah pada tujuanmu! Hanya itu jalan terbaiknya. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah mengerti posisimu. Aku yakin itu." pendapat Feri.

"Aku tidak bisa. Aku tidak akan bisa melakukan itu. Tak akan pernah!" ujar Farhan yakin.

"Siapa sebenarnya dia? Seberapa pentingnya dia dibanding seluruh kehidupanmu? Semua ini terlalu mengada-ada. Apa yang sebenarnya kamu dapat darinya? Yang kulihat kamu hanya memiliki raganya saja." pikir Feri tak percaya, apalagi melihat Farhan bisa sekacau itu hanya karena seorang Bunga.

"Suatu saat kamu akan merasakan hal yang sama. Aku yakin!" Feri tak berharap itu terjadi padanya, maka dari itu dia selalu meyakinkan dirinya untuk menjaga semua hal tetap seperti yang dia inginkan.

Hati yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang